Cacat Epistemologis Dalam Istilah “Sistem Baku Khilafah” Prof. Mahfud Md


CACAT EPISTEMOLOGIS DALAM ISTILAH “SISTEM BAKU KHILAFAH” PROF. MAHFUD MD

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI
(Pimpinan Pesantren Hamfara Jogjakarta; Anggota Komisi Fatwa MUI Propinsi DIY; Mahasiswa Doktoral Prodi Dirasah Islamiyah UIN Sunan Ampel Surabaya)

Sudah tersebar luas tantangan Prof. Mahfud MD via akun twitter dia semoga para penyeru khilafah menunjukkan sistem baku Khilafah. Prof. Mahfud MD menulis di akun twitter-nya,”Kalau mereka sanggup menunjukkan sistem baku khilafah dari Qur`an dan Hadits maka saya akan pribadi mempejuangkan khilafah bersama mereka. Ayo.” Dalam tweet dia yang lain,”Sy bilang, ayo siapa yg bs tunjukkan sistem khilafah yg baku saya akan jd pengikutnya. Tapi tdk pernah ada, tuh.”

Istilah “sistem baku” nampaknya menjadi satu terminologi kunci (keyword) dalam pernyataan Prof Mahfud MD di atas. “Sistem yang baku” secara etimologis sanggup dimaknai sebagai sistem yang pokok dan utama, atau sistem yang menjadi tolok ukur, atau sistem yang standar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata baku diartikan sebagai berikut; 1. Pokok; utama; 2. Tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas dan kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. (Lihat : https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/baku.html, diakses 9 Desember 2017, pukul 01.35 WIB).

Maka dari itu, “sistem khilafah yang baku” kurang lebih sanggup diartikan sebagai sistem khilafah yang standar yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Dengan demikian, mafhum mukhalafah-nya (pengertian sebaliknya), kalau dalam sistem khilafah terdapat suatu aturan atau opini yang tidak standar, atau tidak disepakati, yakni terdapat khilafiyah alias beberapa versi aturan atau opini dalam sistem khilafah, maka sistem khilafah itu dikatakan tidak baku.

Jika memang benar demikian yang dimaksud Prof. Mahfud MD dengan istilah “sistem baku khilafah”, maka memang benar menyerupai yang disimpulkan sendiri oleh Prof. Mahfud MD, bahwa sistem khilafah yang baku ”...tidak pernah ada, tuh.” Sebab siapapun yang mengkaji fiqih khilafah secara detail, pasti akan menjumpai banyak aturan atau opini yang khilafiyah alias tidak baku. Sebagai contoh, persyaratan seorang khalifah apakah dia harus orang Quraisy atau tidak, ada khilafiyah di sini.

Jumhur ulama mewajibkan khalifah harus orang Quraisy. Sementara sebagian ulama, menyerupai Qadhi Abu Bakar Al Baqilani, Ibnu Khaldun, dan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, tidak mewajibkan khalifah dari suku Quraisy. Identitas Quraisy bagi khalifah hanya dianggap sebagai keutamaan (afdhaliyah) saja, bukan kewajiban. (Lihat Muqaddimah Ibnu Khaldun, III/527; Fathul Bari, XVI/237).

Contoh lain, masalah apakah khilafah harus tunggal (satu) untuk seluruh dunia atau tidak, yaitu boleh berbilang (ta’addud) alias lebih dari satu, juga ada khilafiyah di sini sehingga tidak baku. Ada dua versi pendapat ulama dalam masalah ini. Jumhur ulama menyerupai imam mazhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, mewajibkan khilafah yang tunggal untuk seluruh dunia. Sementara sebagian ulama, menyerupai Imam Abu Ishaq Al Isfarayini, Abdul Qahir Al Baghdadi, dan Imam Al Haramain (Al Juwaini) beropini boleh-boleh saja ada lebih dari satu khilafah untuk seluruh dunia. (Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, Kuwait : Darul Buhuts Al ‘Ilmiyah, 1980, hlm. 314).

Dari teladan di atas, jelaslah bahwa sistem khilafah yang baku, memang tidak ada. Prof. Mahfud MD dalam hal ini benar. Karena faktanya memang terdapat beberapa versi pendapat dalam cabang-cabang aturan dalam pembahasan khilafah. Tapi pertanyaan kritisnya adalah, apakah ketika sistem khilafah yang baku itu tidak ada, kemudian khilafah itu tidak wajib secara syar’i? Apakah adanya perbedaan pendapat dalam cabang-cabang aturan khilafah itu artinya khilafah hanya berstatus mubah (boleh) saja, sehingga boleh saja khilafah ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemerintahan yang lain, semisal sistem republik?

Sesungguhnya, kalau kecerdikan budi Prof. Mahfud MD perihal “sistem yang baku” itu diikuti, pasti akan gugurlah banyak kewajiban syar’i yang ada dalam aliran Islam. Karena adanya khilafiyah tentu tidak hanya ada dalam pembahasan khilafah, tapi juga ada dalam pembahasan bab-bab fiqih yang lain, menyerupai wudhu, sholat, puasa, haji, dan sebagainya. Dalam wudhu, contohnya ada perbedaan pendapat ulama mengenai apakah menyentuh perempuan membatalkan wudhu atau tidak. Mengikuti logika Prof. Mahfud MD, berarti wudhu itu tidak baku. Dalam sholat Shubuh, ada yang membaca Qunut ada yang tidak. Artinya, berdasarkan logika Prof. Mahfud MD, sholat Shubuh tidak baku. Dalam puasa Ramadhan, Imam Malik mencukupkan niat satu kali untuk seluruh bulan Ramadhan, sementara jumhur ulama mewajibkan niat untuk setiap hari pada bulan Ramadhan. Maka mengikuti kecerdikan budi Prof. Mahfud MD, puasa Ramadhan tidak baku. Dalam haji, mazhab Syafi’i dan Maliki membolehkan perempuan yang berangkat haji meski tanpa disertai mahram atau suaminya. Sedang mazhab Hanafi dan Hambali, perempuan wajib disertai mahram atau suami. Walhasil, kalau menuruti Prof. Mahfud MD, haji tidak baku.

Nah, kalau wudhu, sholat, puasa, dan haji itu tidak baku, karena banyak khilafiyah dalam cabang-cabang hukumnya, maka berdasarkan kecerdikan budi Prof. Mahfud MD, berarti wudhu, sholat, puasa, dan haji hukumnya tidak wajib semuanya, atau mungkin hukumnya mubah (boleh) dan boleh diganti sendiri oleh insan dengan tatacara ibadah lain bikinan insan sendiri. Tapi apakah memang Prof. Mahfud MD memang ingin menggugurkan atau bahkan menghapuskan kewajiban wudhu, sholat, puasa, dan haji dari agama Islam? Tentunya jawabannya yakni negatif. Tidaklah mungkin Prof. Mahfud MD akan berani dan lancang menggugurkan kewajiban wudhu, sholat, puasa, dan haji, dengan dalih tidak ada sistem yang baku untuk masing-masingnya.

Dari sinilah nampak ada cacat atau kejanggalan dalam konstruksi argumen Prof. Mahfud MD yang memakai kata kunci “sistem baku khilafah”. Jika ditelusuri secara mendalam cara berpikir Prof. Mahfud MD, ketaknormalan argumen itu nampak dalam aspek epistemologisnya. Prof. Mahfud MD memakai logika silogisme, padahal seharusnya kalau bicara aturan Islam memakai pendekatan kecerdikan budi ushul fiqih. Di sinilah cacat epistemologis yang ada dalam kecerdikan budi Prof. Mahfud MD mengenai istilah “sistem baku khilafah”.

Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat ilmu yang bicara mengenai asal undangan (source) dari suatu pengetahuan dan bagaimana metode (method) yang digunakan untuk menemukan suatu pengetahuan. Jika bicara aturan Islam, contohnya untuk memilih status suatu perbuatan apakah ia wajib, atau sunnah, atau mubah, maka kecerdikan budi yang digunakan, yaitu proses istinbath (penyimpulan) aturan dari sumber hukumnya, semestinya memakai kecerdikan budi ushul fiqih. Inilah epistemologi yang benar, bukan memakai logika sebagaimana Prof. Mahfud MD.

Dalam istilah “sistem baku khilafah”, nampaknya Prof. Mahfud MD memakai salah satu cara inferensi (penarikan kesimpulan) yang ada dalam ilmu logika (manthiq), yaitu silogisme. Premis mayor (muqaddimah kubra) yang ada yakni : segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. Sedang premis minor (muqaddimah shughra)-nya : khilafah tidak baku. Maka kesimpulan (conclusion, natijah) yang diperolah yakni : sistem khilafah tidaklah wajib. Demikianlah kira-kira proses kecerdikan budi yang digunakan Prof. Mahfud MD.

Sebenarnya, penggunaan logika (termasuk silogisme) tidaklah selalu salah. Penggunaan logika termasuk silogisme boleh-boleh saja, tetapi ada syaratnya. Syekh Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) dalam kitabnya At Tafkiir (1973 : 13-14) membuktikan bahwa penggunaan logika disyaratkan premisnya haruslah berupa suatu proposisi yang diyakini kebenarannya atau harus merupakan suatu realitas yang terindera (al waqi’ al mahsuus). Jika tidak memenuhi syarat ini, maka suatu kecerdikan budi dengan logika akan sanggup menjadikan kesalahan kecerdikan budi atau kesesatan (qaabiliyah al dhalaal), dan bahkan sanggup menjadikan pertentangan (at tanaaqudh) dalam satu persoalan. Sebagai contoh, dalam masalah apakah Al Qur`an itu makhluk atau kalamullah, sanggup jadi seseorang berargumen begini, premis mayor : Al Qur`an itu yakni kalamullah. Premis minornya : kalamullah itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk).

Kesimpulannya, Al Alquran itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk). Pada ketika yang sama, orang lain sanggup pula memakai cara kecerdikan budi logika yang sama, tapi kesimpulannya sanggup sangat bertolak belakang. Premis mayornya: Al Qur`an itu berbahasa Arab. Premis minornya : bahasa Arab itu sesuatu yang gres (hadits). Kesimpulannya, Al Qur`an yakni sesuatu yang gres (hadits) alias makhluk. (Taqiyuddin An Nabhani, At Tafkiir, hlm. 13-14).

Kembali pada logika yang digunakan Prof. Mahfud MD. Nampak terperinci bahwa logika yang digunakan Prof. Mahduf MD ternyata memakai premis yang salah, yaitu premis mayornya yang berbunyi : segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. Inilah sumber masalahnya. Premis ini sudah dijelaskan kecacatannya di atas. Bisa kita uji premis mayor itu dengan bertanya, apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah wudhu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah sholat yang tidak baku kemudian hukumnya tidak wajib? Apakah haji yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Tidak demikian, bukan? Nah, pertanyaan yang sama sanggup pula diajukan untuk khilafah, apakah khilafah yang tidak baku berarti tidak wajib?

Dalam epistemologi aturan Islam, wajib atau tidak wajibnya suatu aturan tidaklah dilihat dari segi apakah sistem bakunya ada atau tidak ada, tetapi dilihat apakah amr (perintah) atau thalabul fi’li (tuntutan untuk berbuat) yang terdapat dalam suatu dalil (ayat Al Qur`an atau Hadits), apakah disertai indikasi (qariinah) yang menunjukkan kewajiban atau tidak. Jika amr atau thalabul fi’li yang ada disertai dengan qariinah (indikasi) yang menunjukkan wajib, contohnya ada kecaman atau celaan yang keras bagi yang meninggalkannya, berarti amr atau thalabul fi’li itu statusnya wajib. Jika tidak ada kecaman yang keras, status amr itu mungkin sanggup sunnah atau mubah, bergantung pada qariinah-nya. (Taqiyuddin An Nabhani. Al Syakhshiyah Al Islamiyah, III/39).

Sebagai contoh, ayat Al Qur`an menunjukkan ada amr atau thalabul fi’li untuk melaksanakan sholat,”Aqiimush sholaata wa aatuz zakaata warka’uu maa’r raaki’iin” yang berarti,”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'" (QS Al Baqarah [2] : 43). Ternyata amr untuk melaksanakan sholat ini disertai qariinah (indikasi petunjuk) berupa kecaman keras untuk orang yang meninggalkan sholat, yang berarti sholat itu wajib hukumnya. Misalnya firman Yang Mahakuasa SWT yang berbunyi,”Maa salakakum fii saqar, qaaluu lam naku minal musholliin,” yang artinya,"(Malaikat penjaga neraka bertanya),’

Apakah yang memasukkan kau ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43).

Inilah cara kecerdikan budi yang benar dalam proses istinbath hukum, yakni dengan memakai pendekatan ushul fiqih. Jadi, suatu aturan berstatus wajib atau tidak wajib, dilihat oleh seorang mujtahid dari segi amr yang ada, kemudian dilihat qariinah-qariinah yang ada, kemudian ditarik kesimpulan aturan syara’-nya.

Penalaran tersebut sangat berbeda dengan pendekatan manthiq (logika) yang semestinya tidak digunakan dalam aturan Islam. Orang yang semata memakai logika, boleh jadi hanya akan menilai suatu ketentuan aturan itu baku atau tidak baku. Kalau baku, hukumnya wajib, sedang kalau tidak baku, berarti tidak wajib. Dengan kecerdikan budi yang demikian, orang ini sanggup saja menyimpulkan sholat itu tidak wajib. Mengapa? Karena dia akan mendapat bahwa tatacara sholat ternyata tidak baku. Misalnya ada yang sholatnya pakai Qunut ada yang tidak Qunut. Ada yang menganggap tumakninah sebagai rukun sholat, ada yang tidak menganggap tumakninah sebagai rukun sholat (mazhab Hanafi). Ada yang menganggap membaca Al Fatihah itu rukun sholat, ada yang menyampaikan yang rukun hanyalah membaca Al Qur`an (mazhab Hanafi). Lalu dia dengan gegabah kesannya menyimpulkan, “Oh ternyata sholat itu tatacaranya tidak baku ya, kalau begitu berarti sholat itu hukumnya tidak wajib.” Jelas ini yakni kesimpulan yang sesat dan jauh dari kebenaran. Astaghfirullahal ‘azhiem, na’uuzhu billahi min dzaalik.

Jelas kecerdikan budi logika semata ketika bicara aturan Islam yakni kecerdikan budi yang cacat dan tidak pada tempatnya. Cacat epistemologis yang parah dan fatal ini sungguh tidak hanya menyesatkan orang itu sendiri, tetapi juga menyesatkan orang lain, bahkan sanggup menyesatkan berjuta-juta insan di sebuah masyarakat atau negara. Sungguh Yang Mahakuasa SWT kelak di Hari Kiamat akan meminta pertanggung tanggapan kepada orang zalim yang telah menyesatkan manusia-manusia lainnya. Firman Yang Mahakuasa SWT (artinya),”Dan janganlah kau mengikuti apa yang kau tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Israa` [17] : 36).

Ya Yang Mahakuasa lindungilah kami dari kesesatan. Tunjukilah kami selalu pada jalan-Mu yang lurus. Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah!

Yogyakarta, 9 Desember 2017

Muhammad Shiddiq Al Jawi

HP : 081328744133
E-mail : shiddiq-aljawi@protonmail.com


Share Artikel: