Peringatan! Jangan Baca Goresan Pena Ini: Buzzer Bayaran Dan Tahi Kucing Rasa Coklat


[PORTAL-ISLAM.ID]  Mohon maaf, saya bukan tak ingin anda semua membaca goresan pena ini. Justru dengan judul di atas, saya ingin menggunakan eksperimen psikologi terbalik yang dicetuskan dua orang filsuf asal Jerman Theodor Adorno dan Max Horkheimer.

Metode ini memanfaatkan emosi negatif dalam diri manusia, yang mana tiap orang punya kecenderungan untuk melawan isyarat atau perintah. Makara bergotong-royong dengan judul perintah untuk tidak membaca, saya justru ingin Anda semua untuk membaca goresan pena ini.

Alhamdulillah, hingga pada paragraf ini anda-anda masih membaca goresan pena ini. Kebetulan pula bahasan dalam goresan pena ini tersangkut paut dengan dunia psikologi.

Ini ada hubungannya pula dengan psikologi terbalik yang membalik rasionalitas. Ini terkait tingkah polah insan yang punya kecenderungan untuk berpikir irasional.

Pemenang nobel bidang ekonomi, Robert Shiller, punya sebuah teori perihal tingkah polah insan yang irasional ini. Lewat bukunya berjudul The Economics of Manipulation and Deception, Shiller menggarisbawahi bahwa tindakan irasional seorang insan sanggup dihasilkan lewat manipulasi yang dilakukan insan lain.

Shiller mencontohkan tingkah irasional insan dari sisi ekonomi. Dia menyoroti bagaimana manipulasi taktik marketing sanggup membuat insan lupa diri dalam menghabiskan seluruh uangnya. Sehingga kita kemudian mengenal istilah 'lebih besar pasak daripada tiang'. Karena terdorong emosi dan nafsu, insan jadi menomorduakan daypikir dalam mengatur keuangannya.

Shiller juga turut mengutip buku karya Robert Cialdini berjudul Influence: Science and Practice. Dalam buku dijelaskan konsep social proof. Konsep ini yaitu kecenderungan insan merasa tindakannya benar apabila mengikuti tindakan yang dilakukan orang kebanyakan.

Di Indonesia pembuktian akan konsep social proof ini cukup sederhana. Kita cukup melaksanakan eksperimen di tengah jalan raya. Saat ada lima pengendara motor yang tiba-tiba berhenti di pinggir jalan sambil memandang ke arah yang sama, pasti akan ada pengendara lain yang mengikuti tindakan kelima pengendara itu.

Tindakan ini potongan dari tingkah irasional yang kerap kita juga lakukan di jalanan. Padahal secara rasional kita sendiri tak tahu apa yang dilihat dan siapa kelima pengendara yang berhenti itu.

Konsep social proof juga sanggup berarti insan merasa benar kalau mengikuti tindakan insan lain yang diakui 'benar' oleh orang kebanyakan. Ini sanggup tercermin dengan cara marketing perusahaan yang menggunakan sosok selebritis yang punya banyak followers dalam memasarkan produknya.

Masyarakat yang jadi followers si seleb punya kecenderungan untuk tertarik lebih jauh pada produk yang diiklankan si seleb tersebut. Semua bukan sebab rasionalitas dalam menilai kualitas atau kebutuhan akan produk yang diiklankan tersebut. Melainkan sebab irasionalitas sebab ingin mengikuti atau percaya atas si seleb

Karena itu cukup umur ini kita kerap melihat banyak selebritas yang mengakibatkan akun sosial medianya untuk mengendorse sebuah produk tertentu. Semua ini jadi bukti perihal social proof yang digunakan oleh marketing sebuah perusahaan.

Walhasil, dengan taktik yang memantik irasional manusia, balasannya logika jadi nomor dua. Pada balasannya tak jarang dari konsumen yang jadi korban akhir terus mengonsumsi barang atas pertimbangan irasional tersebut. Produsen yang kaya balasannya semakin kaya, sedangkan konsumen nasibnya begitu-begitu saja.

Social proof ini balasannya mengantarkan masyarakat terperdaya oleh pencitraan dan iklan. Media pun balasannya jadi alat utama untuk melanggengkan manipulasi insan atas manusia. Secara tak sadar, media tak lagi jadi alat untuk mendidik masyarakat untuk menjadi rasional. Tapi sebaliknya, media justru punya kecenderungan menggiring masyarakat jadi irasional.

Itulah kenyataan yang semakin mewabah zaman now. Konsep yang memanfaatkan sisi irasional insan juga tak hanya terjadi di sektor ekonomi, melainkan di segala sisi, termasuk politik.

Dalam konteks politik, taktik social proof memang bukan barang baru. Ini utamanya dalam meyakinkan pemilih. Dengan kekuatan modal, seseorang sanggup membangun pencitraan positif di media. Seseorang pun sanggup menyewa buzzer-buzzer di sosial media sehingga mengesankan afiliasi politiknya sebagai arus utama.

Di Indonesia yang gres saja mengenal pemilihan eksklusif semenjak 2004, taktik social proof sudah dilakukan semenjak awal. Di 2004, kita masih mengingat bagaimana polling-polling via telepon begitu krusial dalam medongkrak elektabilitas SBY.

Memasuki periode 2009, kala polling via telepon sudah berlalu. Datanglah kala survei-survei-an forum politik. Ini pun jadi sarana untuk membentuk social proof semenjak 2009. Walhasil mulai bermunculan-lah forum survei dari yang kredibel hingga yang abal-abal.

Memasuki kala 2014, sarana social proof makin bergeser. Survei oleh lembaga-lembaga masih jadi sarana untuk mempengaruhi pemilih. Tapi muncul pula satu sarana lain via sosial media. Sarana untuk mempengaruhi itu yaitu dengan mengandalkan selebritis atau 'tentara bayaran' di media sosial. Ini guna membuat arus popularitas, atau trending di dunia maya.

Tentara bayaran ini bekerja untuk membentuk opini di media sosial. Yang celaka, tentara bayaran bahkan sanggup masuk ke dunia jurnalistik.

Dalam level yang paling rendah, tentara bayaran ini bekerja di kolom komentar laman pemberitaan. Mereka umumnya bekerja untuk mengomentari setiap isu yang terkait jagonya atau lawan politiknya.

Tapi ada level yang lebih tinggi, tentara bayaran ini sanggup membentuk laman isu sendiri. Mereka juga sanggup berubah menjadi sebagai narasumber bahkan penulis. Apa pun itu levelnya, kiprah mereka hanya dua; mengangkat gambaran atau menghancurkanya.

Ya, kala 2014 telah menghasilkan transformasi baru. Social proof tak hanya dilancarkan untuk memanipulasi rasa simpati irasional pemilih. Sebaliknya, social proof sanggup dilakukan untuk memanipulasi masyarakat untuk membenci secara irasional pula.

Rasa benci dan cinta dalam politik balasannya didasari pertimbangan irasional pula. Yang cinta merasa junjungannya selalu benar. Yang benci merasa yang dibenci selalu salah. Konsep benar salah pun diakuisisi menjadi barang privat.

Sayangnya, kenyataan ini yang kini terjadi di tengah masyarakat kita yang terbelah pada dua preferensi politik berbeda. Walhasil, situasi politik di tengah masyarakat jadi begitu semerawut, kolam benang kusut.

Suka atau tidak, fenomena benang kusut ini merupakan imbas usai Pilpres 2014. Rivalitas head to head antara Jokowi dan Prabowo masih memisahkan masyarakat pada dua kutub politik yang padat.

Masyarakat yang simpati pada Jokowi balasannya kini menjadi pro pemerintah. Sebaliknya yang tidak menentukan Jokowi mengambil posisi sebagai kekuatan oposan. Sampai pada titik ini sejatinya tak ada masalah.

Tapi buah karya tentara bayaran telah berefek pada munculnya kalangan irasional di kedua belah kubu. Celakanya jumlah simpatisan irasional di kedua kubu sama-sama besar.

Kalangan irasional di kubu pro Jokowi menganggap apa yang pemerintahan Jokowi lakukan selalu benar. Sebaliknya yang kontra menilai, semua problematika dalam negara ini yaitu salah Jokowi.

Situasi ini semakin meruncing lepas Pilkada DKI. Sekalipun polarisasinya tak 100 persen sama, tapi bunyi masyarakat irasional tetap terbelah secara identik. Pemilih irasional Jokowi yaitu pemilih irasional Ahok. Pun halnya pemilih irasional Prabowo yaitu pemilu irasional Anies Baswedan.

Lucunya situasi semakin kusut usai Pilkada DKI. Ketika Anies yang kini berkuasa, maka dua kubu ini pun ganti baju. Kubu irasional yang satu mendukung penuh Jokowi, tapi berusaha mendelegitimasi Anies di DKI. Pun sebaliknya.

Padahal kesuksesan Anies dalam membangun DKI sejatinya turut pula membantu kesuksesan Jokowi dalam membangun Indonesia. Tapi masyarakat irasional sudah tak peduli soal itu. Bagi mereka konsep kesuksesan yaitu dikala junjungannya meraih kuasa, sedangkan lawan politik porak poranda.

Banyak yang kemudian bersuara bahwa segala kesemrawutan politik terjadi sebab isu SARA ditarik ke ranah politik. Banyak kemudian yang mengaitkan hal ini dengan Pemilu DKI 2017 lalu. Padangan yang sanggup benar atau sebaliknya. Mari kita uji secara seksama.

Kapan bergotong-royong isu SARA mulai dijadikan taktik untuk menyerang lawan politik? Apakah gres dilancarkan Obor Rakyat pada Jokowi 2014 lalu?

Sejatinya pada 2009 pun isu SARA sudah dijadikan kampanye hitam di sebuah "
'surat kabar kuning'. Serangan isu hitam itu yaitu soal agama Ani Yudhoyono yang dituding non-muslim.

Tapi semenjak awal, SBY lihai dalam menempatkan strategi. Serangan hitam itu tak digubris yang membuat SBY justru menerima simpati. Isu SARA yang semenjak awal dihembuskan pada 2009, nyatanya tak pernah mempan memengaruhi pemilih.

Lantas bagaimana dengan Pilkada DKI 2017? Apakah ada isu yang menyinggung SARA yang berhembus?

Mengatakan Pilkada DKI tak ada isu SARA yaitu omong kosong. Tapi tak hanya satu pasangan yang terkena hantaman isu SARA, melainkan seluruhnya.

Ada yang dihantam soal isu Syiah, Wahabi, non-musim, hingga identitas ras. Tapi pertanyaannya kemudian apakah menentukan dengan dasar kepercayaan itu SARA? Pertanyaan yang jawabannya sanggup beragam. Yang terperinci SARA yaitu tindakan yang serius yang punya konsekuensi hukum.

Itu artinya, siapapun yang bermain SARA di DKI bukan divonis opini via social proof. SARA mesti dibuktikan secara hukum. Dan aturan Indonesia sudah menjerat siapa-siapa pelaku SARA selama Pilkada DKI kemarin. Jika mengaku cinta NKRI maka hukumlah yang dijadikan panglima, bukan justru opini apalagi social proof yang menentukan siapa pelaku SARA.

Apa pun itu, bagi pendukung yang lanjur berpikir irasional, fakta sudah tak fundamental. Mereka lanjur percaya pada opini dan social proof yang dimainkan oleh tentara bayaran.

Sejatinya dalam kondisi menyerupai ini media mesti memegang peranan penting. Memang, media bukannya tak bebas nilai. Media bukan tak boleh dalam menyikapi fenomena politik. Sah-sah saja kalau media kemudian punya preferensi. Namun semua itu harus pada pertimbangan rasionalitas dan objektivitas.

Makara celaka kalau media justru bertindak irasional dalam pemberitaannya. Saya ingin mengambil referensi dikala sebuah media mengutip pernyataan Boni Hargens yang menyatakan lawan Jokowi di 2019 yaitu kalangan radikal. Sebuah pernyataan yang sanggup dikritisi tingkat rasionalitasnya. Rasio paling gampang yaitu mempertanyakan siapakah Boni, relawan Jokowi atau pengamat?

Kedua apakah sentimen itu sesuai logika atau potongan dalam memanipulasi orang dalam berpikir irasional?

Kata demi kata pada balasannya sulit untuk menggoyahkan orang yang sudah berpikir irasional. Ibarat orang yang sudah jatuh cinta, pasti sia-sia memberi mereka nasehat.

Seperti kata Gombloh dalam lagunya berjudul Lelucon Pendek, "Kalau cinta (sudah) melekat, tai kucing (terasa) coklat."

Begitu pun kalau sudah benci sudah membara, coklat sanggup terasa menyerupai tahi kuda!
Share Artikel: