Pesan Kebajikan Umar Bin Khattab Untuk Donald Trump


[PORTAL-ISLAM.ID]  Yerusalem, atau yang juga dikenal dengan nama Al-Quds, menjadi topik pembicaraan hangat akhir-akhir ini, terutama sesudah Trump secara terbuka memberikan pengakuannya sebagai Ibu Kota Israel.

Pernyataan yang menyulut kemarahan banyak pihak, lantaran seolah menafikkan sejarah peradaban umat insan bahwa kota itu merupakan daerah suci bagi tiga penganut agama samawi, yaitu Islam, Katolik dan Yahudi.

Daerah inilah yang menjadi daerah tinggalnya banyak Nabi dan Rasul serta juga daerah yang menjadi awal perjalanan menuju Sidratul Muntaha oleh Rasulullah SAW ketika bencana Isra’ dan Mi’raj.

Mungkin Trump perlu berguru sejarah, setidaknya ia perlu meneladani bagaimana Khalifah Umar bin Khattab, memperlihatkan kebesarannya sebagai seorang pemimpin, penguasa sekaligus negarawan yang mulia.

Saat terjadi pertempuran pembebasan wilayah utara Timur Tengah; dari mulai wilayah Palestina, Yordania, pesisir Levantina, dan Suriah oleh pasukan Islam dari penguasaan tentara Byzantium (Kekaisaran Romawi-Yunani) yang berakhir dengan pengepungan Yerusalem pada tahun 637 M, terjadi perdebatan antara pimpinan pasukan Byzantium, Artavon dan Uskup Agung Gereja Yerusalem yaitu Patriarch Sophronius.
Artavon tidak ingin bila Yerusalem diserahkan pada pasukan Islam. Di lain sisi, Sophronius menginginkan Yerusalem diserahkan pada pasukan Islam dengan damai. Dia yakin kedatangan pasukan Islam sebagai bentuk kehendak Tuhan.

Keputusan tamat inilah yang kemudian diambil, dan hal itu kemudian disampaikan kepada pasukan Islam dengan syarat bahwa yang harus mendapatkan “kunci kota” yakni Khalifah Umar bin Khatab sendiri dari tangan Sophronius. Menerima kabar ini, maka berangkatlah Sang Khalifah dari Madinah memenuhi seruan itu menuju Yerusalem.

Yang ingin diceritakan di sini yakni bagaimana reaksi kekaguman dan rasa hormat Uskup Sophronius kepada Khalifah Umar ketika dia tiba di kota Yerusalem.

Pertama, dia sudah menyiapkan penyambutan arak-arakan yang meriah, namun terkejut ketika melihat kenyataan bahwa yang tiba yakni hanya dua orang berpakaian sederhana bersama seekor keledai. Yang satu naik di atas punggung keledai, sedangkan satunya menuntun keledainya.

Banyak orang yang menyambut ketika itu menduga bahwa  Khalifah Umar yakni yang di punggung keledai. Dugaan itu keliru, lantaran justru Sang Penguasalah yang menuntun keledai, lantaran ia memberlakukan pengawalnya secara manusiawi, artinya mereka bergantian menunggangi keledai itu selama menempuh perjalanan panjang ke kota Jerusalem. Saat itu, kebetulan giliran sang pengawallah yang menunggangi keledai.

Keduanya, dia juga terkesima ketika mengajak Khalifah Umar berkeliling kota Yerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (dalam keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di gereja ini). Karena sudah tiba waktu shalat, Uskup Sophronius mempersilakan Khalifah Umar untuk shalat di dalam gereja, namun dia serta merta menolaknya, kemudian menentukan shalat di luar gereja.

Khalifah Umar khawatir bila seandainya ia shalat di dalam gereja tersebut, nanti umat Islam yang tidak paham di masa depan akan mengubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih Khalifah Umar pernah shalat di situ. Ini dikhawatirkan akan menzalimi hak umat Nasrani. Kelak sebagai bentuk penghormatan atas kemuliaan hati sang Khalifah, di daerah dia shalat kemudian dibangunlah Masjid Umar bin Khattab ra.

Ketiga, ketika kemudian Khalifah Umar minta diantar ke Kuil Sulaiman di kompleks Al Aqsha, dia mendapati bahwa lokasi itu telah bermetamorfosis daerah penimbunan sampah yang sengaja dibuang di sana sebagai bentuk penghinaan kepada orang Yahudi yang telah membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia (namun dalam kitab Yahudi dituliskan bahwa penimbunan sampah, bahkan kotoran bulanan perempuan pun sengaja dibuang kesana, lantaran rasa kemarahan umat Katolik kepada umat Yahudi yang dianggap bertanggungjawab terhadap maut Nabi Isa Al Masih.

Sang Khalifah kemudian dengan tangannya sendiri dan dibantu pasukannya, serta masyarakat Yahudi, membersihkan lokasi tersebut dan kemudian merenovasi Komplek Al Aqsa sehingga suci kembali. Dalam penguasaan muslim selama 462 tahun kemudian, Yerusalem bermetamorfosis daerah peribadatan yang kondusif bagi tiga agama samawi, termasuk didirikannya Dome of Rock (Qubatu Shakhrah) di komplek tersebut pada tahun 691 M.

Keempat, perlakuan adil yang diberlakukan oleh Khalifah Umar dan penerusnya Bani Umayyah di wilayah Yerusalem, merupakan pengejawantahan dari perjanjian tertulis yang telah ditandatangani Khalifah Umar ketika mendapatkan kunci kota dari Uskup Sophronius, yang bunyinya antara lain yakni sbb:

“Bismillahirrahmanirrahim. Ini yakni jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Yerusalem. Umar memperlihatkan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipaksa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Yerusalem....”

Dari semua hal di atas, kita sanggup berguru bagaimana seharusnya berlaku adil dalam menghormati keyakinan agama yang berbeda-beda. Bahkan pada ketika berkuasa pun, ia akan menjamin hak masing-masing sepenuhnya secara adil, termasuk pihak minoritas sekalipun.

Kemuliaan tidak diperoleh dari perilaku kesewenang-wenangan, terutama pada ketika kekuasaan dan kekuatan di tangan kita, tetapi justru dipakai untuk melindungi hak-hak setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya.

Trump harus berguru dari perilaku elegan ini, supaya ia tidak terkubur oleh perilaku arogansi dan kesewenang-wenangannya sendiri di masa yang akan datang. Sebab  keyakinan yakni sesuatu yang tidak perlu digugat apalagi dihinakan, kecuali untuk saling dihormati dan diterima apa adanya. Semoga.
Share Artikel: