Catatan Kritis Jurnalis Untuk Program Talkshow Mata Najwa
Pelajaran dari Amanpour Ihwal Host Talkshow Televisi
Oleh: N. Syamsuddin Ch. Haesy*
(Jurnalis dan pemerhati programa siaran televisi)
REAKSI warganet (netizen) atas ‘dialog’ Gubernur Anies Baswedan dengan Najwa Shihab – host kegiatan gunemcatur (talkshow) bertajuk Mata Najwa (Rabu, 24/1/2018). Tiba-tiba mengusik saya.
Saya coba menyimak ulang kegiatan itu, melalui beberapa video rekaman yang saya minta dari beberapa teman. Termasuk infografis ‘Durasi Bicara’ dalam kegiatan tersebut dari menit dan detik, serta berapa kali Najwa melaksanakan interupsi.
Sangat usang saya tidak hidup di dunia brodkas televisi Indonesia, semenjak berhenti di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tahun 1997 awal. Boleh jadi alasannya ialah ilmu yang saya pelajari masih memegang pakem prinsip tayangan yang bersifat dinamis, medium, dan kontinu, saya sulit membayangkan, apa sungguh konsep dasar tayangan itu.
Dari apa yang pernah saya pelajari, talkshow alias gunemcatur ya talk – show, formatnya jelas: gelar wicara. Narasumber yang diundang diposisikan sebagai pusat perhatian khalayak. Terutama, alasannya ialah yang mau dilihat, disimak, dan diketahui ialah performa orisinil narasumber, bukan host.
Karenanya, ada semacam hukum tak tertulis wardrop host tak boleh lebih menonjol dari wardrop narasumber. Size visual narasumber pun diatur lebih mayoritas di layar, baik dalam size close-up, medium close-up, bahkan sekali sekala dilakukan super impossed, dikala narasumber menunjukkan pemfokusan atas pernyataan yang relevan dengan pertanyaan host.
Porsi narasumber keseluruhan frekuensi penampakan di layar, lebih banyak dibanding dengan host. Kecerdasan host akan tertampak dan terasakan dari bagaimana ia bertanya dan mempertanyakan suatu hal secara substantif dan fokus. Bukan dari bagaimana ia melaksanakan interupsi, memotong pernyataan ataupun klarifikasi narasumber.
Dari begitu banyak host kegiatan talkshow, favorit saya ialah Christiane Amanpour, semenjak ia memandu acaranya di kanal CNN internasional, yang sekarang pindah ke PBS (Public Broadcasting System) di Amerika Serikat. Juga Ted Turner yang selalu bisa menggali daya fikir nara sumber dan Oprah Winfrey yang sangat bisa menggali daya naluri dan perasaan narasumber. Amanpour memadupadan keseimbangan daya nalar, naluri, perasaan, dan indria narasumber.
Saya tak hendak membandingkan ketiga host kegiatan gunemcatur televisi itu dengan Najwa Shihab yang belakangan terkenal dengan kegiatan Mata Najwa-nya. Selain tak setara, juga tak adil untuk membandingkannya.
Amanpour lulus summa cum laude dari University of Rhode Island bergelar Bachelor of Arts in Journalism. Karirnya beranjak dari reporter. Tapi, Amanpour tak hanya itu. Dia ialah seorang penggerak hak aktif keadilan dan kesetaraan gender. Dia juga anggota Komite Perlindungan Wartawan, Pusat Integritas Publik dan Yayasan Media Perempuan Internasional.
Amanpour telah menghadirkan sosoknya melalui talkshow bertajuk Amanpour (2009) di CNN Internasional untuk meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat dunia terhadap isu-isu utama global dan hak-hak jurnalis. Tentu banyak lagi status dan fungsi sosial yang disandangnya, selain menjadi tv news anchor – telangkai isu televisi.
Amanpour telah mendapat begitu banyak penghargaan jurnalisme televisi, mulai dari kategori Berita, Dokumenter (dalam Emmy Awards), Peabody Awards, George Polk Awards, duPont Award – Columbia, dan Keberanian dalam menghadirkan prinsip-prinsiop jurnalisme yang jernih, kritis, dan independen. Bahkan, ia diangkat sebagai warga kehormatan Sarajevo dan Duta Goodwill UNESCO untuk Kebebasan Pers dan Keselamatan Jurnalis.
Dunia mengakui, Amanpour ialah satu dari sangat sedikit jurnalis televisi yang telah mendudukkan dirinya dalam posisi jurnalisme untuk menghidupkan media yang adil, beradab, dan manusiawi. Performanya sebagai host menegaskan dirinya sebagai sosok cerdas, intelektual sejati, justru alasannya ialah kemampuan yang mahir menempatkan etika dan estetika acaranya sebagai suar di tengah kecamuk simpang-siur kebebasan informasi tak berbatas.
Amanpour mengemukakan, untuk menjadi sosok matang sebagai jurnalis, sehingga ia boleh memakai namanya sebagai merk acara, melalui kesungguhan menempa diri tanpa henti.
Amanpour mengungkapkan, ia mencar ilmu lama, dan usang sekali. Dia tidak pernah menempatkan atau menyamakan narasumber sebagai ‘korban’ dan dirinya sebagai ‘penyerang.’ Bahkan, ia mengaku, dalam memandu acaranya, ia tidak pernah menciptakan kesetaraan moral atau faktual palsu. Intinya: Amanpour percaya, kegiatan yang dipandunya mesti menjadi medium bagi dirinya, narasumber, dan khalayak pemirsa menjadi jujur, dan ia mengambil jarak dengan topik yang dibahasnya.
Amanpour mengemukakan, ia sangat percaya, bahwa dirinya (sebagai host) harus berhenti ‘menghambat’ dan ‘melarang’ narasumber untuk memberikan pandangannya, sehingga khalayak memperoleh kebenaran yang mereka pahami dan yakini, sesudah menyaksikan acaranya.
Kata-kata dan keyakinan Amanpour, menjadi pameo yang banyak dikutip: “Saat ini, kita harus siap bertarung dengan keras untuk mendapat kebenaran dengan cara yang benar."
Amanpour juga menyatakan sikapnya sebagai host, bahwa ia (sebagai jurnalis) berada di tengah (dan menghadapi) krisis eksistensial (banyak kalangan). Ini ialah bahaya terhadap relevansi dan kegunaan profesi (sebagai) jurnalis.
Karenanya, dalam memandu acaranya maupun dalam menjalankan praktik jurnalistik di lapangan, ia perlu mengikuti keadaan dengan realita secara adil, proporsional, dengan menghadirkan suatu dunia nyata, di mana jurnalisme dan demokrasi berada dalam kehidupan fana.
Setiap jurnalis, berdasarkan Amanpour, harus menghentikan dan melawan (setiap kecenderungan) yang memungkinkan terjadinya perusakan kondisi masyarakat, termasuk oleh kekuatan absurd dan ‘asing’ yang membayar untuk mengaduk-aduk dan menempatkan sajian informasi palsu ini. Tidak menunjukkan ruang kebohongan di banyak media kita, dan kembali ke sistem demokrasi yang beradab.
Ketika berpidato di hadapan 20.000 orang yang berkumpul di TD Garden untuk upacara wisuda sarjana Northeastern University yang dihadiri Joseph E. Aoun - Presiden Northeastern, ia membahas tentang media dan berkembangnya kecerdasan buatan.
Dia mengajak para sarjana gres universitas itu, untuk selalu (kritis) mengenali kebenaran dari kebohongan yang tersebar di tengah prevalensi “berita palsu.”
“Jadilah generasi yang mengubah minuman beracun polarisasi dan keberpihakan yang kita hadapi, yang mengancam kita untuk menghancurkan peradaban, menghancurkan masyarakat kita dan menghancurkan demokrasi kita," seru Amanpour.
Amanpour telah mendedikasikan karir jurnalistik, termasuk kegiatan talkshow-nya bertajuk Amanpour yang mendunia, itu untuk memberantas kecenderungan ‘memaksakan’ kehendak kepada narasumber, seperti sebagai ‘fakta alternatif,’ yang tidak menguntungkan bagi narasumber dan khalayak pemirsa.
Penolakan fakta dan kebenaran, serta ilmu pengetahuan yang menyertai untuk memperoleh kebenaran hakiki, berdasarkan Amanpour merupakan ciri khas populisme masa sekarang di mana-mana. Hal itu, baginya, melepaskan usaha panjang untuk tetap jujur dalam menjalani profesi.
Tidak merasa cerdas, meski sangat cerdas. Tidak merasa lebih tahu dari siapa yang sebenarnya lebih tahu di bidang dan tanggungjawabnya.
Ini yang menghidupkan persona talkshow Amanpour yang cendekia, jernih, mengalirkan tenggang rasa dan etika programa gunemcatur televisi. Tajam bertanya, bernas mempertanyakan, tekun menyimak, sabar menyikapi narasumber, tangkas dan jernih memberikan kata akhir, dan berilmu menghormati khalayak pemirsa. Inilah pelajaran pertama menjadi host kegiatan talkshow televisi dari Amanpour.
Mudah-mudahan, kelak -- entah jika -- Mata Najwa bisa ibarat itu.|
*Sumber: http://akarpadinews.com/read/humaniora/pelajaran-dari-amanpour-ihwal-host-talkshow-televisi