Membaca Makna Tersirat Elek Yo Grup Band Bagi Lingkar Istana
[PORTAL-ISLAM.ID] Empat orang bersahabat Jokowi gres ini diundang dalam sebuah program di salah satu stasiun tv. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, memperkenalkan diri sebagai “elek yo grup band (ben)”. Dengan bunyi pas- pasan grup ini menyanyikan lagu “Bento” yang dipopulerkan oleh Virgiawan Listanto atau yang lebih dikenal dengan nama Iwan Fals.
Dalam bahasa Jawa, “elek” berarti mengerikan, tidak baik, atau jelek. Sedangkan “elek yo ben” berarti kalau buruk ya biarkan saja. Mungkin maksud “nyeleh” para menteri dan kepala tempat tersebut ialah untuk menghibur, tapi bagi saya ini menyampaikan makna tersirat.
Bagaimana tidak, ke empat orang tersebut merupakan nama yang fenomenal sekaligus kontroversial di tahun 2017 ini. Sebut saja Ganjar Pranowo, nama Gubernur Jawa Tengah ini beberapa kali disebutkan dalam persidangan diduga ikut menikmati pedoman dana dari kasus mega korupsi E-KTP yang merugikan negara sebesar 2,3 triliun rupiah. Ganjar terseret alasannya pada ketika kasus tersebut terjadi dirinya masih menjabat sebagai Wakil Komisi II dewan perwakilan rakyat RI.
Namanya disebut dalam dakwaan dua terdakwa korupsi E-KTP, Irman dan Sugiharto. Selain itu bunyi lantang Nazarudin yang selama ini menjungkalkan sejumlah politisi senior, juga menyampaikan politisi kebanggan PDI-P itu ikut menikmati uang haram tersebut. Namun di bawah rezim berkuasa, tiba- tiba namanya hilang dalam dakwaan Setya Novanto.
Banyak orang yang menduga, bahwa Ganjar dilindungi oleh Jokowi dengan alasan merupakan sama- sama kader PDI-P. Setali tiga uang, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, juga disebut mendapatkan “uang takut” dalam proyek E-KTP tersebut. Sama halnya dengan Ganjar, Yasonna untuk sementara selamat alasannya namanya tidak disebut-sebut dalam dakwaan Setya Novanto.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono pun di tahun 2017 ini termasuk “elek”, beberapa kasus suap di kementeriannya menjadi sorotan. Menteri yang tertangkap tangan melihat penampilan tari perut tersebut beberapa kali sempat di panggil forum anti rasuah atau KPK RI. Tapi lagi-lagi kasus ini menyerupai embun yang menguap, berganti gosip berganti kepentingan, semuanya hilang menguap menjadi awan.
Sementara itu, Menteri yang tidak kalah kontroversial yaitu Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Ia sempat pernah melemparkan ihwal akan menyampaikan Bandara kepada pihak asing. Tentu saja ini menjadikan kecaman, beberapa orang menilai denah yang ditawarkan menteri ini tidak lebih ialah cara untuk menjual aset negara secara perlahan.
Selain itu menteri yang sati ini juga menjadi sorotan alasannya kasus korupsi terkait perizinan dan pengadaan proyek- proyek di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut Tahun Anggaran 2016- 2017. Menteri ini juga beberapa kali bolak- balik ke KPK untuk dimintai keterangannya.
Mungkin inilah yang dimaksud “elek yo ben” (kalau buruk ya biarkan saja). Masyarakat diminta untuk memaklumi apa- apa yang telah berlalu. Ditambah lagi dengan pilihan lagu Bento yang liriknya berbunyi, “bisnisku menjagal, jagal apa saja, yang penting saya senag, saya menang, persetan orang susah alasannya aku, yang penting asik, sekali lagi asik”. Bagi saya ini semakin menguatkan, kalau hari ini rakyat sedang dikepung oleh kesenangan- kesenangan elite di bawah penderitaan rakyat dalam tiga tahun belakangan ini yang terus menderita.
Akan sangat berat jikalau kita mengharapkan pmerintah untuk sanggup membersihkan yang “elek-elek” ini, Seperti sambungan lirik lagu ini, “khotbah soal moral, omong keadilan sarapan pagiku, siapa yang mau belajar tiba padaku,” seakan mustahil seorang murid akan melawan gurunya sendiri.
Mungkin ini yang dikatan kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir dan kezhaliman akan terus ada bukan alasannya banyaknya orang- orang jahat tetapi alasannya diamnya orang- orang baik. Makara satu kata untuk semua yang “elek”, LAWAN.
Penulis: Berry Salam, Pegiat Masyarakat Berkeadilan