@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Membaca Pilihan Politik Prabowo Dan Gerindra Di Pilpres 2019


[PORTAL-ISLAM.ID]  Siapa yang tidak kenal Prabowo. Ketua Umum Gerindra dan tokoh oposisi. Tak hanya sanggup mengkritik, tapi juga pintar memuji dan mengapresiasi. Termasuk kepada lawan politik, yaitu Presiden Jokowi. Beginilah gambaran negarawan sejati.

Jauh dari dendam, apalagi ungkapan kata “memaki”. Tegas, tapi rendah hati. Selalu santun dan pintar menghargai. Semua pihak dihormati. Begitulah gambaran Prabowo membawa abjad diri. Tak ada sedikitpun kesan ambisi. Menghindari semua langkah yang mengarah kepada kepentingan pribadi.

Hingga ketika ini, Prabowo belum juga menyatakan diri. Pasang orang, atau harus maju sendiri. Semua mesti matang dikalkulasi. Begitulah semestinya jiwa seorang politisi.

Bimbang? Tidak! Prabowo bukan tipe insan gamang. Keputusannya selalu menurut apa yang diyakini. Insting politiknya merupakan cuilan dari keimanan yang ia percayai. Meski kadang mengundang banyak perbedaan persepsi.

Membaca situasi politik akhir-akhir ini, setidaknya ada tiga pilihan alternatif Prabowo yang sanggup diprediksi. Pertama, Prabowo jadi wakil Jokowi. “Kompromi politik” terjadi. Bersama PDIP dan sejumlah partai lain mengadu nasib dalam koalisi. Akhirnya, pragmatisme menjadi basis kalkulasi. Apa kata dunia? itu nomor sekian.

Jika Prabowo mendapatkan pinangan Jokowi, antara laba dan risiko sama-sama tinggi. Jika duet ini terjadi dan menang, Gerindra tak lagi berada di luar pemerintahan. Memang, tak gampang menjadi partai oposisi, terutama terkait biaya dan kerja konsolidasi. Disini, mungkin Prabowo dan Gerindra akan sanggup limpahan amunisi.

Duet Jokowi-Prabowo, meski 60-70% surveynya rakyat menghendaki, tapi tak otomatis bulat istana bersimpati. Bisa jadi malah antipati. Apalagi bagi partai koalisi. Ini sebuah bahaya yang menebar rasa iri. Hadirnya prabowo di kubu Jokowi akan berpotensi merubah formasi. Sejumlah kepentingan terganggu, termasuk manuver cawapres yang selama ini dilakukan sejumlah ketua partai koalisi. Akan kehilangan arah, alasannya hadirnya Prabowo jadi cawapres Jokowi akan dianggap menghalangi mereka punya ambisi.

Lebih terpuruk lagi jikalau Prabowo dikhianati. Ketika ketua Gerindra ini menyatakan siap, kemudian di tengah jalan batal alasannya aneka macam alasan, langkah Prabowo akan mati. Konstituen dan pendukungnya sanggup lari. Prabowo tak laku, Gerindra terancam bubarkan diri. Nasibnya akan menyerupai Gatot Nurmantyo. “Merasa diberi harapan”, kemudian ditinggalkan seorang diri.

Seandainya pun duet ini jadi, tidak sedikit pemilih Gerindra akan hengkang, kemudian pamit diri. Mereka setia menemani Prabowo sebagai oposisi, tapi tidak sebagai tokoh koalisi. Ternyata, hanya segitu iman dan idealismenya! Begitulah kira-kira ungkapan mereka yang kecewa Prabowo ikut koalisi. Kelompok Asal Bukan Jokowi (ABJ) yang semula simpati dipastikan akan menarik diri.

Kedua, Prabowo maju sendiri. Majunya Prabowo sanggup membantu mendongkrak bunyi partai Gerindra. Mengingat pileg dan pilpres bersamaan di 2019, maka pencapresan Prabowo akan sangat berarti. Terutama bagi eskalasi bunyi Gerindra. Setidaknya untuk 2019 nanti.

Tapi, jikalau Prabowo kalah, tokoh bangsa ini tamat riwayatnya. Gerindra juga ikut terancam nasibnya. Sebab, Prabowo-Gerindra tak sanggup dipisahkan. Kekalahan Prabowo akan menghancurkan kharisma kepemimpinan Gerindra. Rakyat semakin apatis. Tidak hanya kepada Prabowo, tapi juga kepada Gerindra.

Kekalahan Prabowo ialah kekalahan Gerindra untuk jangka panjang. Sebab, kegagalan Prabowo akan berpotensi menjadi “icon kekalahan” dalam sejarah partai Gerindra. Nama Prabowo-Gerindra akan menempel dengan kata “kalah”. Ini warisan dan jejak sejarah yang kurang baik bagi partai Gerindra kedepan.

Pasca kekalahan, menjadi oposisi kembali, terlalu berat. Masuk koalisi? Makin parah. Prabowo-Gerindra berpotensi punya nasib menyerupai Wiranto-Hanura dan Surya Paloh-Nasdem. Menjadi partai gurem. Tokohnya tak lagi layak jual dan hasilnya menyerah-kalah.

Ketiga, Prabowo pasang calon lain. Dengan mencalonkan orang lain, kharisma dan ketokohan Prabowo sebagai negarawan dan bapak bangsa terpelihara. Mirip SBY. Berada di belakang layar, tapi punya efek dan disegani. Menang, nama Prabowo semakin besar dan berkibar. Kalah, tak akan terjatuh. Yang penting pintar membawa diri. Gerindra terselamatkan. Sebab ketokohan Prabowo terjaga dan aman.

Layaknya SBY, kalahnya AHY di pilgub DKI tak banyak besar lengan berkuasa buat presiden keenam dan partai Demokrat. Tapi jikalau menang, nama SBY dan Demokrat berpotensi gemilang.

Lalu, siapa yang sempurna dimainkan Prabowo di pilpres 2019? Ada sejumlah nama. Diantaranya Anies Rasyid Baswedan, Gatot Nurmantyo, Ahmad Heryawan dan Tuan Guru Bajang. Dari nama-nama itu, sejumlah forum survey menyerupai CSIS, LSI, dan Indo Barometer merekomendasikan Anies Rasyid Baswedan. Potensinya besar, alasannya ada panggung dan punya banyak momentum. Posisinya sebagai gubernur DKI selalu “ON” untuk nge-“brand”.

Jangan lupa follow susukan Telegram kami disini


Jika Anies yang diajukan Prabowo, maka Gerindra diuntungkan: pertama, sanggup gubernur DKI. Karena Sandiaga Uno ialah kader Gerindra. Bisa dipersiapkan jadi calon presiden masa depan. Menjadi gubernur DKI sanggup jadi media untuk magang. Kedua, jikalau Anies menang, maka presiden juga punya Gerindra. Presiden dan gubernur DKI orangnya Gerindra. Dengan begitu, Gerindra, Partai asuhan Prabowo Subianto ini akan menguasai DKI dan Indonesia. Posisinya semakin kokoh. Gerindra berpeluang menjadi partai terbesar di negeri ini.

Membaca tiga alternatif di atas, secara politik, pilihan ketiga paling rasional. Plus minusnya dihitung menurut pertama, hasil survey. Kedua, potensi dan peluang kemenangan. Ketiga, positif-negatifnya bagi masa depan Gerindra.

Apapun keputusan dan pilihan Prabowo di pilpres 2019 akan berdampak besar terhadap nasib partai berlambang burung garuda ini di masa depan.

Penulis: Tony Rasyid