Sudah 4-0 Kemenangan Anies Atas Jokowi, Bakal 5-0 Di Pilpres 2019
Oleh: Noval Sufriyanto Talani
(Peneliti media dan budaya, pemerhati politik)
Kemenangan Macan Kemayoran (Persija) yang menaklukan Bali United dengan skor 3-0 pada perhelatan kompetisi Piala Presiden 2018 pada 17 Februari 2018 telah menciptakan rakyat Jakarta khususnya Jak Mania bersuka cita. Eforia kemenangan begitu kentara lantaran sudah cukup usang (17 tahun) bagi klub pujian Jakarta ini tak meraih kemenangan diberbagai kompetisi domestik.
Kita patut mengapresiasi pertandingan final ini lantaran berjalan kondusif dan lancar. Namun, dibalik eforia itu ada sesuatu yang menciptakan jagat maya menjadi “rusuh”, yakni tidak diijinkannya Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan untuk ikut rombongan Presiden Joko Widodo memperlihatkan tropi kepada Persija Jakarta sebagai pemenang turnamen.
Melalui unggahan video di sosial media, kita sanggup melihat Anies ibarat dihalangi oleh seorang pria yang mengenakan pakaian hitam yang belakangan ditengarai sebagai anggota paspampres. Sontak video itu menjadi viral dan mengundang banyak reaksi negatif dari masyarakat virtual, baik “penghuni” twitter maupun facebook. Bahkan ikut mengundang komentar dari @Fahri Hamzah yang meminta setneg (Sekretariat Negara) untuk menjelaskan perihal penghalangan tersebut dan @Rocky Gerung yang menduga jangan-jangan Anies membawa kartu merah.
Sementara Anies melalui akun media sosialnya memperlihatkan jiwa besar lantaran tidak nampak protes terhadap perlakuan tersebut. Justru ia mengapresiasi pihak-pihak terkait yang mendukung kelancaran turnamen final itu.
Banyak spekulasi yang muncul dari tindakan penghalangan tersebut. Ada yang menganggap itu yakni tindakan penzaliman terhadap Anies sebagai pejabat negara yang seyogiyanya mendampingi presiden yang sedang berada di wilayah kerjanya hingga anggapan modus pencitraan Jokowi mengingat pertandingan itu disaksikan oleh puluhan ribu orang. Belum lagi jutaan penonton melalui layar televisi. Menurut saya, dalam perspektif semiotika, insiden penghalangan terhadap Anies Baswedan yakni tanda yang kesekian dari rangkaian tanda yang dimainkan oleh rezim Jokowi.
(1) Pertama, pemecatan Anies sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Pemecatan ini menjadi petanda dimulainya ketidaksukaan Jokowi terhadap Anies. Padahal kinerja kementerian yang dipimpinnya di atas rata-rata kementerian lainnya terutama kementerian di bawah komando Puan Maharani (kader PDIP).
Tindakan Jokowi ini sanggup mengingatkan publik terhadap tindakan serupa yang dilakukan Megawati Soekarnoputri terhadap Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi bedanya, Yudhoyono mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam pada Maret 2004 silam. Pengunduran diri Yudhoyono ditengarai lantaran pembatasan atas kiprahnya sebagai menteri koordinator. Sementara Anies diberhentikan menjadi menteri pada Juli 2016.
Kesan yang ditimbulkan dari tindakan presiden (Megawati maupun Jokowi) itu yakni tindakan penzaliman terhadap bawahnnya. Kesan ini sepertinya berkontribusi terhadap perolehan elektoral keduanya (Yudhoyono dan Anies). Pada Oktober 2004 Yudhoyono dilantik menjadi Presiden RI Ke-6 (7 bulan sesudah mengundurkan diri dari Menko Polkam) lantaran memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 mengalahkan Megawati. Sementara Anies Baswedan dilantik Oktober 2017 (15 bulan sesudah diberhentikan dari Mendikbud) alasannya memenangi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada pemiilihan kepala tempat serentak tahun 2017. Di sini Anies menjadi pemenang yang mengalahkan “putra mahkota” Jokowi, yakni Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Anies Menang!
(2) Kedua, peresmian Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta terpilih
Santer tersiar kabar bahwa peresmian Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022 akan menemui hambatan yang salah satunya mengenai kebijakan mereka perihal penghentian reklamasi teluk Jakarta. Luhut Binsar Pandjaitan sebagai orang paling erat dengan Jokowi (bila tak ingin disebut mendiktenya) yakni orang yang secara head to head berhadapan dengan Anies soal reklamasi. Memasang wajah bergairah sambil marah-marah dikala diwawancarai Alfito Daenova tak menciptakan Anies surut untuk mengurungkan kebijakannya soal reklamasi. Bahkan dari kegarangan itu menguak kotak Pandora perkara reklamasi yang cacat hukum. Akhirnya, kegarangan menteri “kesayangan” Jokowi ini terhempas tatkala pasca Anies dilantik, ia menghentikan reklamasi teluk Jakarta dan menteri ini tak mau lagi memasang badannya untuk kelanjutan reklamasi alasannya berdasarkan Peraturan Presiden No. 52 Tahun 1995 khususnya pasal 4 yang menyatakan bahwa wewenang dan tanggungjawab reklamasi itu ada pada Gubernur DKI Jakarta. Di sini Anies Menang!
(3) Ketiga, perkara Tim Gubernur Percepatan Pembangunan (TGUPP)
Belum usang dilantik menjadi gubernur, Anies harus segera merevisi RAPBD DKI Jakarta tahun 2018 yang akan disahkan bulan Desember 2017. Item yang menyita perhatian publik dalam RAPBD itu yakni pembiayaan TGUPP. Item ini menjadikan “perseteruan” antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan Pemprov DKI Jakarta atau “pertarungan” antara Tjahyo Kumolo yang notabenenya Mendagri dan mantan Sekjen PDIP dengan Gubernur Anies Baswedan. Kemendagri berkilah bahwa TGUPP pembiayaannya melalui dana operasional gubernur. Namun, berdasarkan Anies, penolakan Kemendagri tidak hanya sebatas pembiayaannya tetapi juga menyangkut keberadaan dari tubuh tersebut. Anies kemudian mengungkap ke publik bahwa ada diskriminasi yang dilakukan oleh Kemendagri lantaran TGUPP itu ada semenjak kurun Jokowi. Ternyata, ini menjadi “serangan” yang mematikan bagi Kemdagri lantaran pernyataan itu seolah “menelanjangi” profesionalitas sebuah forum pemerintah. Dugaan-dugaan yang muncul yakni adanya “dendam” politik yang dimainkan oleh lawan politik Anies di Pilgub DKI mengingat PDIP sebagai pengusung utama dari rivalnya (Ahok). Liarnya opini yang terkait TGUPP ini menciptakan Kemendagri yang dipimpin oleh orang erat Jokowi ini “menyerah” dan menyetujui TGUPP masuk dalam APBD DKI Jakarta tahun 2018 meski sebelumnya Anies telah menyatakan bahwa ia akan tetap melanjutkan kegiatan TGUPP, baik disetujui Kemdagri atau tidak. Lagi-lagi Anies Menang!
(4) Keempat, Anies tak diberi panggung dikala kemenangan Persija
Peristiwa ini cukup unik lantaran berdasarkan irit saya, pertandingan antara Persija Jakarta melawan Bali United ini merupakan tubruk “perebutan panggung” politik. Mengapa demikian, lantaran turnamen itu yakni turnamen Piala Presiden yang tentunya Jokowi mempunyai hajat untuk “manggung”. Sementara lokasi pertandingannya di wilayah Jakarta (stadion GBK) di mana Anies sebagai pemimpin di wilayah itu.
Klub Persija dan Bali United secara simbolik merefer kepada Anies dan Jokowi. Pertandingan keduanya seperti menjadi kompetisi perebutan “konstituen” antar Anies dan Jokowi. Persija sebagai klub asal DKI Jakarta dan Anies menjadi pembinanya sedangkan Bali United berasal dari Provinsi Bali yang merupakan basis PDIP yang notabenenya Jokowi sebagai petugas dari partai itu.
Dihalanginya Anies Baswedan untuk ikut serta mendampingi Jokowi untuk menyerahkan tropi kepada Persija Jakarta sebagaimana layaknya gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Walikota Bandung Ridwan Kamil dikala mendampingi Jokowi menyerahkan tropi kepada Persib Bandung yang menjadi pemenang Piala Presiden pada 2015 silam telah mempertontonkan diskriminasi yang dilakukan oleh panitia yang diketuai oleh Maruarar Sirait (kader PDIP).
Akan tetapi, yang menarik berdasarkan saya yakni ketika insiden itu diteropong melalui semiotika akan menghasilkan bermacam-macam makna yang salah satunya kemenangan Anies atas Jokowi.
Ketika Anies dihalangi untuk turut mendampingi Jokowi memberi tropi seolah menjadi penanda bahwa Anies harus tetap di atas sementara Jokowi yang harus turun. Artinya, secara simbolik Anies ditempatkan pada posisi superior dan Jokowi pada posisi inferior atau subordinat. Posisi Anies di atas dan Jokowi di bawah menjadi tandanya. Sementara penyerahan tropi dari Jokowi kepada Persija sanggup dimaknai sebagai penyerahan kemenangan kepada Anies alasannya ia merupakan pembinanya.
Maka tak heran, banyak orang berseloroh bahwa Jokowi secara simbolik menyerahkan kekuasaannya kepada Anies.
Pencitraan yang ingin dibangung untuk Jokowi hancur awut-awutan oleh sebuah tanda kecil, yakni DISKRIMINASI yang pada karenanya mengantarkan Anies mendapat “Piala” sebagai POLITISI TERBAIK yang BERJIWA BESAR. Sekali lagi kali ini Anies Menang!
Permainan tanda yang dilakukan rezim Jokowi terhadap Anies Baswedan sejauh ini merugikan Jokowi pada tingkatan tanda (citra). Sejumlah tanda yang dimainkan rezim, konotasinya memperlihatkan kemenangan Anies atas Jokowi. Setidaknya hingga dikala ini Anies telah menang dengan skor 4-0. Seharusnya permainan tanda itu dimenangkan oleh Jokowi tetapi kesalahan yang terjadi menciptakan beliau kehilangan poin yang cukup telak.
Apakah kemenangan Anies ini menjadi petanda berulangnya sejarah pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang sebagaimana kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono atas Megawati Soekarnoputri di Pemilihan Presiden 2004 silam? Marilah kita tunggu permainan selanjutnya.***