DUBES SAUDI MELANGGAR HUKUM DIPLOMATIK?


DUBES SAUDI MELANGGAR HUKUM DIPLOMATIK?

Oleh: Hazairin Pohan
(Mantan Dubes RI di Polandia, Bulgaria dan Kepala Pusdiklat Kemenlu RI)

SEBENARNYA saya sudah hampir final menulis artikel tentang usul PBNU agar Pemerinta R.I. mempersona-non-grata (memulangkan) Dubes Kingdom of Saudi Arabia (KSA) untuk Indonesia, Mr. Osamah Muhammad Al-Suaib. Namun anak saya yang membantu upload sedang keluar rumah. Oleh karena itu saya tuliskan poin-poin penting pendapat saya atas permintaan teman-teman di Twitter dan Facebook, maupun di berbagai group WA.

Tadi malam (3/12) saya dikagetkan dengan pernyataan Ketua Umum PBNU menyampaikan protes keras atas ‘campur tangan’ Dubes KSA untuk Indonesia Osamah Muhammad Al-Suaib, yang ditulisnya dalam bahasa Arab.

"Dalam pandangan kami Osamah telah melakukan pelanggaran keras diplomatik yakni mencampuri urusan politik suatu negara di luar kewenangan ini jelas mengganggu hubungan diplomatik RI - Saudi Arabia. Atas dasar ini, kami menyampaikan protes keras," ujar Ketum KH Said Aqil Siraj dalam konpres kemarin, Senin (3/12) di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta.

PBNU juga mendesak kepada pemerintah RI untuk menyampaikan nota kepada pemerintah Saudi agar memulangkan Dubes Osamah karena mencampuri urusan politik negara Indonesia. PBNU juga telah mengirim surat kepada Menlu Retno LP Marsudi menyampaikan sikapnya.

Mari kita mulai pembahasannya. Pertama, penyelenggaraan politik dan hubungan luar negeri sebesar Indonesia ini bukan perkara gampang. Negeri kita besar bukan saja kepentingan internasionalnya besar, tetapi tanggungjawabnya juga bukan ringan. Karena itu, UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri memberi tanggungjawab diplomasi itu di tangan Presiden, dan sehari-hari untuk manajemen diplomasi ditugaskan Menlu membantu.

Diplomasi itu memang ‘discreet’ tetapi pertimbangan untuk pembuatan kebijakan itu menimbang secara holistik dan masak agar tidak merugikan bahkan agar menguntungkan kepentingan nasional.  Tetapi, diplomasi dan hubungan antar negara itu berdasarkan kaidah hukum internasional, kebiasaan dan praktik antar-negara.

Kedua, mari kita ukur seberapa besar risiko jika Presiden Jokowi salah mengambil keputusan.

Hubungan antar-negara itu —sesuai bobot dan kepentingan masing-masing—berbeda satu dengan lainnya. Ada faktor leverage bermain: siapa memiliki kepentingan apa terhadap siapa.

Dalam kaitan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Kingdom of Saudi Arabia (KSA), kepentingan itu menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya termasuk pendidikan. Jujur, kepentingan kita jauh lebih besar terhadap KSA daripada kepentingan KSA terhadap Indonesia. Ini titik awal pembahasan kita.

Ketiga, apa yang akan terjadi sekiranya usul Said Aqil disetujui Presiden? Ibu Menlu Retno akan memerintahkan pengusiran (persona non-grata) Dubes Osamah. Maka, sebagai balasan Pemerintah KSA akan mengusir Dubes Indonesia dari Riyadh. Tidak berhenti di situ. Kedua negara akan menutup Embassy-nya di masing-masing ibukota.

Maka, hubungan yang menguntungkan Indonesia hancur seketika. Siapa yang rugi? Ya keduanya rugi. Gara-gara nilai setitik rusak susu sebelanga. Yang menjadi ‘nila’ itu Dubes Saudi atau Said Aqil? Siapa yang menderita paling banyak? Ya, Indonesia.

Karena itu resep terbaik adalah ibarat menarik rambut dalam tepung. Rambut tidak putus dan tepung tidak berserak. Kepentingan hubungan antar negara itu jauh di atas kepentingan sebuah parpol, apalagi hanya ormas dan lebih kecil lagi karena ego pemimpinnya terganggu atau ulah satu-dua anggota Banser yang telah dijatuhi hukuman pidana.

Sebaiknya PBNU klarifikasi (tabayyun) dulu kepada Dubes Osamah, benarkan dia bermaksud menghina PBNU?

Keempat, kita perlu meneliti apakah ada elemen “mencampuri urusan dalam-negeri Indonesia” dalam pesan Twitter yang berpotensi diplomatic fiasco ini?


Terjemahan yang beredar di media sosial berbunyi:

"Aksi jutaan orang untuk persatuan umat Islam (Reuni 212 -red) sebagai reaksi atas pembakaran bendera tauhid yang dilakukan oleh oknum dari organisasi yang menyimpang sebulan yang lalu. Acara tersebut dihadiri Gubernur DKI, Anis baswedan, juga dihadiri calon Presiden RI Jendral Prabowo serta Wakil Ketua DPR Fadli Zon.”

Tweet itu dianggap menyinggung PBNU yang menafsirkan secara eksplisit bahwa kegiatan pertemuan umat Islam di Monas pada Minggu 2 Desember 2018 merupakan balasan atas pembakaran bendera di Garut bulan lalu.

Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya menangani diplomasi belum ada kejadian gara-gara ormas tersinggung terjadi pengusiran dubes, penghentian hubungan dan kerjasama diplomatik.  Perang pengusiran diplomat dulu sering di zaman Perang Dingin antara Amerika dan Soviet. Maklum perang tidak sebatas ideologis, tetapi merambah ke persaingan kekuatan (militer), ekonomi, sistem sosial dan sebagainya.

'Kasus PBNU - Dubes KSA' ini bukan yurisdikasi ‘hukum diplomatik’ menyangkut institusi, kebijakan dan pejabat negara yang merupakan ‘first track’ diplomacy. Kasus ini melibatkan ormas, yang dalam diplomasi dikualifikasikan sebagai ‘second track’.

Pengusiran Dubes dan diplomat itu terjadi karena beberapa alasan yang dilarang oleh Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961, antara lain, menyangkut masalah dengan negara akreditasi, seperti keamanan negara, kegiatan ekonomi (dagang), campur tangan urusan dalam negeri, melanggar UU negara akreditasi, menghina ideologi dan kebijakan negara, bahkan merendahkan harkat dan martabat negara dan pejabatnya, menghasut rakyat, membiayai kegiatan politik, mencampuri proses pengadilan dan sebagainya.

Apakah unsur ‘mencampuri urusan dalam negeri’ terdapat dalam pesan Twitter Dubes Osamah?  Saya tidak melihat itu. Mari baca teks-nya.  Yang krusial adalah kata-kata: “dilakukan oleh oknum dari organisasi yang menyimpang”. Ini opini Dubes. Teks lain adalah faktual.

Saya menyarankan agar teks Twitter berbahasa Arab itu diterjemahkan secara benar. Apakah yang dituduh ‘menyimpang’ itu adalah organisasinya atau individunya? Saya juga tidak membaca penyebutan nama organisasi yang dimaksud. Apakah Anshor atau Banser? Itu hanya opini, bukan fakta.

Kelima, mari kita hitung-hitung implikasi politis, ekonomis dan sosial budaya termasuk urusan haji, umroh dan pendidikan sekiranya aksi pengusiran dubes terjadi.

Secara politis, KSA adalah sahabat sejati Indonesia sejak perjuangan kemerdekaan. Di atasnya terbentuk hubungan politik yang sangat luas dan bernilai strategis. KSA adalah salah satu negara terpenting di Timur Tengah bagi Indonesia. Di dunia Islam, KSA adalah tulang-punggung Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai negara pembayar donasi terbesar. KSA juga pemimpin Gulf Cooperation Council (GCC), organisasi kerjasama negara-negara Teluk, yang beranggotakan negara petro dolar dan berekonomi kuat: Saudi Arabia, Kuwait, United Arab Emirates, Qatar, Bahrain, dan Oman.

KSA juga negara kunci –bersama Israel—bagi Amerika Serikat dan salah satu penentu terpenting dalam penyelesaian masalah Palestina. Raja KSA kapan saja bisa menelpon Presiden Amerika.  Sekutu-sekutu terpenting Amerika di Eropa tidak mendapat hak istimewa dan kemewahan yang dinikmati KSA. Banyak yang iri.

Singkatnya, kepentingan Indonesia jauh lebih besar terhadap KSA daripada KSA terhadap Indonesia. Rusak hubungan dengan KSA akan sangat mengganggu diplomasi Indonesia di OKI dan di GCC dan di Afrika Utara di mana pengaruh KSA signifikan.

Apa komentar Dunia Islam bila terjadi diplomatic fiasco pengusiran Dubes Saudi dari Indonesia.  Bagaimana Presiden Jokowi akan menjelaskannya ke dunia internasional bahwa gara-gara pesan Twitter hubungan diplomatik RI-KSA putus? Sebegitu pentingkah nama baik sebuah ormas (yang diopinikan dihina) dibandingkan dengan kepentingan nasional menyeluruh dalam konteks hubungan dan kerjasama kita dengan KSA dari dulu hingga kini dan di masa depan?

Dari segi ekonomi, KSA adalah salah-satu importir minyak kita. Bagaimana dengan pemasaran produk Indonesia yang kian bagus di Timur Tengah via KSA. Bagaimana dengan investasi dan sumber-dana finansial dari Timur Tengah?

Bagaimana dengan kepentingan kita di bidang ketenagakerjaan, termasuk pengiriman skilled-labor yang kian meningkat bekerja di Teluk.  Berapa besar dampaknya terhadap penambahan tingkat pengangguran jika terjadi pemulanga tenaga kerja kita? Bagaimana pula dengan pengiriman devisa (remittance) para TKI ke tanah air? Apa dampak dan seberapa besar impaknya terhadap penurunan keseluruhan kinerja ekonomi kita di tengah kelesuan ekonomi global?

Dari segi sosial budaya termasuk pendidikan, bagaimana dengan kepentingan kita untuk menambah kuota haji karena kini antrian telah mencapai 10 tahun? Bagaimana dengan Umroh yang kian meningkat berkat kesadaran Islam yang kian meninggi di kalangan ummat? Bagaimana dengan kepentingan tenaga kerja dan para pelajar dan mahasiswa –termasuk penerima beasiswa KSA—yang berpotensi dipulangkan? Berapa banyak tenaga kerja di dalam negeri yang bergerak dalam urusan haji dan umroh serta pengiriman mahasiswa?

Di era persaingan global yang kian merunding, jika hubungan politik, ekonomi dan sosial budaya Indonesia – KSA memburuk maka akan ada negara-negara lain yang siap menggantikan Indonesia.  Sekali foothold ekonomi kita lepas akan sulit kembali.  Competitors kita menunggu tak sabar.

Keenam, mari kita hitung gejolak di dalam negeri. Meskipun Indonesia berpenduduk Muslim sekitar 90 persen namun ada elemen-elemen di masyarakat yang tidak suka dengan KSA dengan bermacam alasan: soal Wahabi, HAM, atau sekularisme bahkan komunisme. Kelompok-kelompok ini seakan memperoleh amunisi, melampiaskan marahnya kepada KSA. Maka akan terjadi berbagai aksi demo di Kedubes KSA di Jakarta, dengan implikasi keamanan dan chaos.

Sekiranya ancaman keamanan meningkat maka Kedubes KSA akan menghentikan pelayanannya untuk Indonesia. Maka calon tenaga kerja, calon mahasiswa dan masyarakat yang ingin menunaikan ibadah haji dan umroh tidak memperoleh visa. Bakal tidak bisa berangkat. Ini menjadi ‘tekanan’ dan kemarahan rakyat kepada Pemerintah. Ini akan menjadi amunisi tambahan “bahwa Pemerintah memang tidak berpihak pada Islam”.

Ini harus diukur benar. Hubungan diplomatik itu sensitif, karena itu harus ditangani hati-hati. Tidak boleh dengan pertimbangan ‘amok’ atau ‘pitam’. Apalagi bukan menyangkut institusi dan pejabat negara. Hanya oknum organisasi (yang diklaim dihina). Diplomasi itu tidak boleh karena sikap emosional apalagi gara-gara ketersinggungan pribadi.

Terus apa jalan keluarnya, dan apa solusi yang terbaik?

Dari awal saya khawatir jika kita ribut tetapi ternyata penyebabnya adalah salah penerjemahan yang menyebabkan kesalahfahaman. Tidak ada keanehan jika PBNU meminta klarifikasi (tabayyun) dengan Dubes Osamah. Apalagi hubungan NU beserta ulama-ulamanya dengan Kerajaan Saudi itu sudah berlangsung ratusan tahun, jauh sebelum negeri ini merdeka. Beri kesempatan Dubes Osamah untuk menjelaskan apa maksudnya dalam pesan Twitter itu. Kesempatan bermaaf-maafan lebih baik dan Islami.

Sekiranya PBNU mendesak Presiden Jokowi untuk mengusir Dubes Osamah belum tentu diterima.  Terlalu besar ongkosnya bagi Indonesia. Belum tentu pula Pemerintah R.I. berpandangan sama dengan PBNU bahwa Dubes KSA melakukan ‘campur-tangan pada urusan dalam negeri Indonesia’. Pengalaman saya dalam 33 tahun sebagai diplomat kasus seperti ini belum pernah terjadi.

PBNU itu hanya ormas dan bukan Parpol yang duduk di parlemen. PBNU atau lebih spesifik Ansor dan Banser bukanlah institusi negara. Pimpinannya juga bukan pejabat negara. Paling banter, jika benar dianggap menghina NU, yang bisa dilakukan PBNU atas nama Ansor/Banser adalah ‘memboikot komunikasi’ atau ‘menghentikan kerjasama antara PBNU dengan KSA’. Yang lain tidak usah diajak ikut.

Ini karakter hubungan ini berkarakter ‘second track’ pada unsur masyarakat di host-country, dan bukan ‘first track’, hubungan resmi antar-pemerintah atau antar-negara. Jadi tidak bisa dikualifikasi sebagai ‘campur-tangan’.

Pesan Twitter itu dari pribadi Dubes. Dia tidak mengklaim sebagai Twitter resmi Ambassador atau Embassy untuk memenuhi unsur ‘pendapat resmi’ pemerintah KSA. Pesan Twitter selalu ditulis singkat karena jumlah huruf yang terbatas. Bahasa yang digunakan juga tidak memiliki standar formal. Jadi, sulit mengualifikasi seberapa jauh telah memenuhi elemen ‘mencampuri urusan dalam negeri’ tadi.

Masalah simpel ini seyogianya bisa diselesaikan secara kekeluargaan di antara sesama Muslim yang selama ini hubungannya baik-baik saja. Kalau dengan alasan ‘ego’ pribadi atau tersinggung janganlah kepentingan PBNU yang lebih besar –apalagi kepentingan negara—dilibatkan. Saya kira ini sudah terlalu jauh menyimpang.

Taruhan pemutusan hubungan diplomatik dengan berbagai implikasi negatif dan kerugiannya bagi Indonesia harus dihitung tepat dan dengan kepala dingin, demi kepentingan nasional dalam berbagai dimensi dan jauh lebih penting.

Dan, jika terjadi pengusiran Dubes Osama diikuti dengan pemutusan hubungan diplomatik (minimal non-aktif), gara-gara pesan Twitter yang tidak jelas apa kata dunia?

Jakarta, 4 Desember 2018

Share Artikel: