JILBAB HANYA AWAL


JILBAB HANYA AWAL

27 Desember 2001, Liverpool, Inggris Raya.
Saya tak akan lupa tanggal itu. Beberapa hari sebelumnya saya menghadiri undangan Christmas Dinner dari teman mahasiswa Jepang. Besoknya saya ke salon tanpa appointment, potong rambut sampai di atas bahu. Maksudnya biar lebih ringkas dan nggak ribet. Itu ongkos salon termahal seumur hidup. £ 25; sekitar Rp 450.000,-. Lumayan berat untuk mahasiswa seperti saya.

Sejak hari itu saya maju selangkah untuk lebih taat pada perintah-Nya untuk berjilbab.
Banyak kisah dan pengalaman berharga yang saya dapat dengan penampilan yang muslimah banget seperti ini. Apalagi selama 19 tahun terakhir, saya menjalani hidup di rantau yang notabene bukan negara muslim (dengan perkecualian 3 tahun tinggal di Kuala Lumpur).

Saya merasakan bekerja di Inggris dan Norwegia, tetap dengan penampilan seperti ini. Alhamdulillah tak pernah ada yang mempertanyakan, apalagi sampai menyuruh saya membuka jilbab. Tak ada yang memperlakukan saya berbeda karena selembar kain di kepala.

Dengan hobi travelling, justru jilbab ini yang seringkali menjadi penanda kesamaan saya dengan orang lokal di negara yang saya kunjungi. Uzbekistan, Turki, Bosnia & Herzegovina, Iran, Yordania, hingga ke Alpujarra (daerah pegunungan di Andalucia, di mana tinggal sekelompok masyarakat muslim asli Spanyol penganut aliran sufisme). Mereka selalu senang ketika melihat turis muslim / muslimah. Bagaikan bertemu saudara.

Akhir-akhir ini, ke manapun saya bepergian, selain jilbab menutup kepala, saya juga gemar mengenakan batik. Dua penanda identitas saya sebagai muslimah dan orang Indonesia. Tak jarang batik yang saya pakai jadi pandangan takjub orang, yang membuat saya jadi duta kecil-kecilan untuk batik kebanggaan Indonesia.

So, siapa bilang identitas keislaman dan keindonesiaan tidak bisa dipakai secara harmonis?

Akhir-akhir ini juga, setiap ada temannya yang main ke rumah, Fatih selalu mewanti-wanti saya.
"Bunda cepetan pakai kerudung. Amar sama Styrk mau datang. Mereka sudah baligh, jadi mereka nggak boleh lihat aurat Bunda."

*

Agak sedih juga sebetulnya melihat fenomena "dehijabisasi", terlebih di negara muslim terbesar, yaitu Indonesia.

Jilbab yang sudah jelas-jelas wajib seolah ingin diturunkan statusnya menjadi, ya... Tidak wajib lagi. Tergantung maksud orang yang berwacana seperti itu.

Ada yang bilang bahwa jilbab itu tidak wajib untuk muslimah, dan bahwa hijab itu adalah selembar kayu pembatas. Dalihnya sih menerjemahkan Alquran secara kontekstual. Sayang sepertinya ilmu saya belum sampai ke maqom beliau. Saya masih memahami ayat-ayat Alquran yang mewajibkan menutup aurat secara tekstual. Sesuai dengan tuntunan para ulama hanif InsyaAllah.

Pun beberapa gelintir manusia yang mendaku diri mereka ustaz; yang justru bangga ketika istri dan anak-anak mereka sudah tidak "hijrah" lagi alias melepas jilbab mereka.

Tak sedikit yang menunjuk-nunjuk bahwa perilaku perempuan berjilbab justru banyak yang miring. Jadi pencuri, penipu, hingga pembunuh suami sendiri. Na'udzubillaahi min dzaalik. Jangan tuduh pakaiannya.

Memang jilbab itu bukan penentu kesalihan seseorang. Sama sekali bukan. Jilbab hanya permulaan. Bentuk paling awal dari ketaatan kita sebagai muslimah. Allah memerintahkan kita menutup aurat. Mengulurkan kain ke sekujur tubuh kecuali telapak tangan dan wajah. Maka sebisa mungkin taatlah. Taat dengan segala keterbatasan kita. Nggak harus dengan busana yang wah dan menghabiskan duit (meski harga kain ya jelas mahal ya, Gess). Identitas muslimah itu adalah kesederhanaan. Humility. Sederhana meski sebetulnya kita mampu hidup mewah.
Intinya tutup aurat dulu. Jilbab untuk fisik, bukan untuk hati.
Berjilbab ketika sudah baligh, bukan ketika sudah baik.

Selanjutnya perbaikilah akhlak. Terus berproses jadi baik selama ada jatah umur di dunia. Jangan melemah meski ada yang bermaksud melemahkan semangat untuk terus berjilbab.
Santuy bae. Tetap berdoa semoga istiqomah sampai akhir.
Untuk yang belum berjilbab, semoga niat itu sudah ada di hati. Semoga Allah kuatkan untuk bisa berjilbab.

Semangat, ya Ukhtiy! Tetap setrong! Terus sebar kebaikan pada sekitar. Terus berusaha untuk taat pada Yang Maha Memberi Hidup.

17/1/2020

(By Savitry 'Icha' Khairunnisa)

*dari fb penulis

Share Artikel: