Politik Indonesia Wadaw Wadidaw


Politik Indonesia Wadaw Wadidaw

CHEF Juna kerap berucap wadaw wadidaw, di acara masterchef. Koki bertato itu punya banyak penggemar. Wadaw wadidaw adalah bentuk ekspresi kekagetan dari situasi yang kacau balau.



Persis seperti itulah wajah politik kita. Berantakan, tidak ubahnya seperti dapur. Sebenarnya, dapur boleh berantakan, asalkan hidangan yang disajikan rasanya maknyus. Celakanya, dapur sudah porak poranda, rasanya pun ambyar.

Politik kita diisi para sad mbois. Publik pun broken heart tiada kepalang. Di awal pembuka tahun, berbagai skandal lamat-lamat terkuak. Salah satu yang mencuri perhatian adalah soal operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terkait dengan KPU, dan melibatkan kader PDIP.

Aktivitas kerja KPK tersebut, dengan segala dinamika dan kontroversinya, memberikan berbagai ilustrasi menarik. Gebrakan paska revisi UU KPK, menimbulkan persepsi berbeda di ruang publik. Apresiasi dilayangkan, dengan berbagai catatan.

Pada ranah politik, selepas periode tahun kontestasi yang sedemikian panas di 2019, ternyata tidak menghasilkan kualitas baru dari kerangka demokrasi politik. Demokrasi menjadi rentan dalam ruang gelap permainan elite, yang mengkooptasi kepentingan publik.

Apa maknanya? Politik kita berhenti ditahap prosedural. Partisipasi dan keterlibatan tercermin melalui kampanye dan mobilisasi suara. Hal tersebut tidak mencapai tujuan besar politik, yakni emansipasi publik. Politik menjadi tersandera dan menjadi alat kepentingan, bagi segelintir elite di pusaran kekuasaan.

Walhasil wadaw wadidaw, sebagaimana olahan dapur demokrasi, maka suguhan politik kita tampak manis di permukaan, tapi masam menuju busuk didalam.

Diskoneksi Elektoral

Fenomena ini dipotret dengan terang oleh Anwar Arifin, 2017, melalui Demokrasi dalam Ancaman dan Bahaya. Pada kajian tersebut, terjadi keterputusan proses demokrasi elektoral, dengan hasil yang diperolehnya. Harapan atas penuntasan persoalan dan masalah publik, bertepuk sebelah tangan.

Diskoneksi elektoral, dibagian ujungnya hanya menghasilkan 3B: Bandar, Bandit dan Badut. Polah tingkah aktor politik yang terpilih melalui hasil pemilihan, dengan segala laku geraknya, hanya bermain pada tataran politik di kulit permukaan.

Pada gilirannya, kepentingan publik dibajak oleh elite. Mewujud dalam bentuk oligarki, dimana kekuasaan, hanya berputar di lingkaran terbatas. Di sisi lain secara bersamaan, perasaan dan emosi publik terus diaduk-aduk, bukan karena afiliasi politik, justru lebih disebabkan atas keprihatinan hilangnya moral dan etika di ruang politik.

Konsekuensinya fatal. Distrust publik. Konstruksi kasus operasi KPK pada tindakan oknum KPU, menghadirkan gambaran, sulitnya mempercayai integritas para pejabat publik. Belum lagi menyoal objektivitas, bahkan tentang netralitas.

Di wilayah politik. Merujuk pada perihal kejadian di awal tahun ini, seolah mengilustrasikan kegagalan fungsi partai politik. Sejatinya, mekanisme kepartaian yang diidealkan -das sollen, menghadirkan diri sebagai sarana dalam: (1) penjaringan aspirasi, (2) agregasi dan kanalisasi kepentingan, (3) edukasi serta sosialisasi politik hingga (4) rekrutmen politik, secara keseluruhan terbilang ambyar.

Pada kenyataannya -das sein, rekrutmen tidak mempertimbangkan kompetensi, kualitas, bahkan rekam jejak kandidat secara solid. Popularitas mengalahkan loyalitas. Termasuk, kondisi dimana kader internal, bisa jadi dikangkangi kader karbitan yang datang dengan membawa modal isi tas.

Dengan begitu, kita mudah menebak, akan kemana muara dari tujuan kehadiran kandidat yang beroleh secara mudah kursi kekuasaan, dengan menggunakan cara-cara transaksi -buying vote. Politik menjadi instrumen investasi.

Logika dari skema demokrasi liberal ini, berprinsip pada konsep ekonomi, dimana asumsinya akan mengacu nilai imbal hasil dan keuntungan secara nominal dari kepentingan investor politik. Sirkulasi kapital terjadi, dalam upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Partai politik terjebak pada pragmatisme bagi kekuasaan -office seeking.

Dengan seluruh situasi itu, demokrasi adalah barang ringkih. Kehilangan basis legitimasinya, yakni kepercayaan publik yang telah disalurkan melalui momen pemilihan. Pada kejadian awal tahun ini, publik wajib belajar. Wadaw wadidaw.

Oleh: Yudhi Hertanto
(Penulis menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid)

*Sumber: RMOL
Share Artikel: