Otak-atik Angka Kemiskinan, Fakta Tak Bisa Bohong
[PORTAL-ISLAM.ID] Salah satu hal yang dianggap prestasi pemerintah adalah turunnya angka kemiskinan.
Berdasarkan data BPS, persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22% atau setara dengan 24,79 juta orang. Angka tersebut turun 0,19 persen poin dibanding posisi Maret 2019 dan turun 0,44 persen poin dibanding periode yang sama tahun lalu.
Namun, jangan senang dulu. Ternyata Bank Dunia menyatakan, meski pemerintah telah berhasil menekan angka kemiskinan di bawah 10 persen, sebanyak 45 persen atau 115 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori rentan bisa kembali masuk dalam kategori miskin.
World Bank Regional Director for Equitable Growth, Finance and Institutions Hassan Zaman menjelaskan, Indonesia perlu memerbaiki iklim usaha dan investasi serta memerbaiki infrastruktur. Selain itu, pemerintah juga perlu memperluas akses penduduk terhadap jaminan sosial baik dalam hal kesehatan dan ketenagakerjaan.
Pemerintah juga perlu memperkuat kebijakan dan administrasi perpajakan agar kepatuhan kelompok menengah dalam membayar pajak juga terus meningkat. Pemerintah merespons hal ini dengan memasukkannya dalam RUU Omnibus Law.
Tak Gambarkan Realita
Apa yang dilakukan pemerintah dan Bank Dunia hanyalah otak-atik angka kemiskinan di atas kertas saja. Padahal isinya tak sesuai fakta. Agar 115 juta orang tersebut tak jatuh miskin, maka pemerintah membangun infrastruktur dan mengundang investor asing. Izin usaha dipermudah, yang artinya kontrol pemerintah makin lemah. Secara teori, seharusnya pengangguran turun. Tapi nyatanya, PHK dimana-mana.
Para mantan karyawan akhirnya tumpah di jalan menjadi pengemudi ojek online. Realita ini lah yang kita saksikan setiap hari di depan mata. Infrastruktur digeber pembangunannya, tapi yang menikmati ternyata korporasi. Kalaupun rakyat bisa menikmati, namun harus merogoh kocek dalam-dalam.
Jaminan kesehatan yang diklaim bisa melindungi rakyat rentan miskin ini ternyata justru jadi pemalak rakyat. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen tentu berdampak pada kondisi ekonomi rakyat. Rakyat dikejar pajak, hingga warteg pun dipajaki. Uang rakyat dikorek lagi.
Lantas, darimana rumusnya bisa terwujud kesejahteraan? Ibarat jauh panggang dari api. Jauh masalah dari solusi.
Sejahtera yang Hakiki
Tolok ukur sejahtera itu sederhana. Tak perlu angka-angka yang membingungkan dan menyesatkan. Cukup dilihat pada realita di lapang, berapa orang yang belum tercukupi kebutuhan primernya, yaitu sandang, pangan dan papan. Berapa orang yang tak bisa makan tiga kali sehari secara layak, berapa orang yang bajunya tak layak, berapa orang yang tak punya tempat tinggal.
Jumlah mereka semua itulah kemiskinan yang riil.
Untuk memperoleh datanya, penguasa memang harus turun ke masyarakat. Melakukan sensus secara rutin, jujur dan berkesinambungan. Sehingga didapat data yang valid. Data ini gunanya adalah untuk evaluasi efektivitas program pengentasan kemiskinan, bukan untuk pencitraan.
Dengan metode ini, akan didapatkan data ekonomi per individu rakyat. Sehingga penguasa akan tak bisa tidur nyenyak jika masih ada satu saja perut yang lapar, atau satu saja tubuh yang kedinginan karena tak punya baju dan tempat tinggal layak. Dengan demikian penyelesaian masalah kemiskinan bersifat riil, orang per orang.
Sayangnya, pendekatan pengentasan kemiskinan seperti ini tak bisa diakomodasi oleh sistem ekonomi kapitalis neoliberal sebagaimana yang dijalankan oleh Indonesia saat ini. Karena kapitalisme memandang rakyat secara agregat. Manusia dipandang hanya sebagai angka di atas kertas atau di layar monitor.
Ketika ada seorang La Udu dari Bau-bau yang selama 10 tahun tinggal di gua karena tak punya rumah, maka kapitalisme hanya memandangnya sebagai angka 1. Artinya satu orang miskin. Jika dibandingkan dengan lebih dari 200 juta rakyat Indonesia, jerit kesedihan La Udu hanya terdengar samar, lirih dan lemah. Tak menarik perhatian para pejabat di Jakarta. Demikianlah kejamnya kapitalisme dalam memandang kemiskinan. Serba angka, jauh dari realita.
Sistem Ekonomi yang Peduli Wong Cilik
Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Fakir dan miskin dalam definisi Islam itu kongkret dan jelas. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Orang fakir lebih kesusahan daripada orang miskin. Orang miskin adalah orang yang punya harta/penghasilan, namun tidak mencukupinya, sedangkan orang fakir tidak punya harta/penghasilan sama sekali.
Sistem ekonomi Islam melibatkan tiga pihak untuk mengentaskan kemiskinan. Pertama, setiap individu laki-laki dewasa yang sehat wajib bekerja. Jika tak punya keterampilan, negara mengadakan workshop pelatihan hingga terampil. Jika tak punya modal, negara memberi modal secara cuma-cuma. Baik berupa uang, barang maupun alat. Jika orangnya malas, negara akan mendidik dan memberi sanksi jika tak ada perubahan.
Kedua, masyarakat didorong untuk peduli pada lingkungan. Jika ada orang fakir atau miskin, segera dibantu. Bukan cuma diviralkan di medsos. Bantuan mereka akan menjadi amal salih. Masyarakat juga boleh membuat gerakan sedekah semisal rombong sedekah, jumat sedekah, sedekah rombongan, dan lain-lain. Namun hal ini tak mengeliminasi peran negara.
Ketiga, negara menyalurkan bantuan dari kas negara (baitul maal) baik berupa santunan, modal maupun layanan. Sumbernya bisa dari zakat, wakaf maupun keuntungan dari pengelolaan harta publik.
Islam tidak mengenal konsep kalangan menengah. Konsep ini absurd. Kalangan menengah tak disebut miskin, tapi juga tak kaya. Setiap hari bisa makan, tapi ketika ada gejolak ekonomi sedikit saja, dapur terancam tak ngebul. Islam membedakan tingkat ekonomi menjadi tiga yaitu faqir, miskin, dan kaya.
Batasan kaya adalah terpenuhi segala kebutuhan primer pada level yang layak serta masih memiliki dana menganggur dengan nominal tertentu. Dana ini bukan tabungan untuk suatu keperluan. Tapi simpanan yang akan terpakai.
Demikianlah gambaran kemiskinan yang riil dan solusinya. Tinggal kita yang menentukan, mau menyelesaikannya atau tidak. Apakah dengan sistem ekonomi Islam yang terbukti sukses menyelesaikan kemiskinan, ataukah sistem ekonomi kapitalis yang makin sempoyongan.
Penulis: Ragil Rahayu, SE