25 Ramadhan: '𝑨𝒊𝒏 𝑱𝒂𝒍𝒖𝒕, 𝑴𝒆𝒎𝒐𝒂𝒓 𝑷𝒂𝒔𝒖𝒌𝒂𝒏 𝑴𝒐𝒏𝒈𝒐𝒍 𝑩𝒆𝒓𝒕𝒆𝒌𝒖𝒌 𝑳𝒖𝒕𝒖𝒕


'𝑨𝒊𝒏 𝑱𝒂𝒍𝒖𝒕: 𝑴𝒆𝒎𝒐𝒂𝒓 𝑷𝒂𝒔𝒖𝒌𝒂𝒏 𝑴𝒐𝒏𝒈𝒐𝒍 𝑩𝒆𝒓𝒕𝒆𝒌𝒖𝒌 𝑳𝒖𝒕𝒖𝒕

25 Ramadan 568 H, bertepatan dengan 3 September 1260 M adalah tanggal yang dicatat oleh sejarawan tentang peristiwa besar ini.

Satu memori ingatan yang selayaknya selalu kita rawat. sebuah kemenangan di medan laga 'Ain Jalut; untuk pertama kalinya pasukan Mongol bertekuk lutut.

Perang ini dikenal dari nama tempat terjadinya medan laga pertempuran ini. Ain Jalut, sebuah daerah di daerah Nablus, Selatan Palestina, menjadi saksi perang besar yang mempertemukan 40.000 pasukan. Masing-masing pihak membawa 20.000 personil pada pertempuran ini.


Tamir Badar dalam bukunya Ayyamun La Tunsa, ia menyebutkan, bahwa pertempuran ini adalah pertempuran yang sangat menentukan dalam sejarah Islam dan kaum muslimin. (Ayyamun La Tunsa, Tamir Badar, 185)

Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa para ahli sejarah sepakat bahwa pertempuran ini terjadi di sepuluh terakhir bulan Ramadan, yang berlangsung selama tiga hari dan puncak pertempuran terjadi pada hari Jumat, 25 Ramadan 658 H. (Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir 17/399)

Pada pertempuran ini kaum muslimin dipimpin oleh Saifuddin Quthuz dan panglimanya Ruknuddin Baibars, sedangkan di pihak mongol dipimpin oleh Kitbugha salah seorang panglima dari Hulagu Khan, penguasa Mongol untuk wilayah Asia Barat.

Pertempuran Ain Jalut adalah kemenangan pertama bagi kaum muslimin, setelah sebelumnya negeri-negeri kaum muslimin jatuh dalam hinanya kekalahan. Gelombang ekspansi pasukan Mongol telah membunuh jutaan manusia, bahkan Bahgdad harus tunduk menyerah pada tahun 656 H.

Sang Khalifah, al-Musta’sim billah bahkan terbunuh, pada hari di mana Badghad diserbu 200.000 pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Keluarganya habis di bantai, sedangkan sisanya dijual sebagai budak.

Sebuah memori pedih yang pernah berlaku dalam sejarah perjalanan kaum muslimin. Satu ingatan perih, bahwa kelemahan, perpecahan, dan cinta dunia menjadi sebab runtuhnya rumah besar yang kita sebut khilafah.

Paska runtuhnya Bahgdad, bahkan kekhilafahan kaum muslimin harus ‘tertidur’ selama 3,5 tahun lamanya. Kedigdayaan kekhilafahan Abbasiyah selama kurang lebih 600 tahun rubuh. Gelombang serangan Bangsa Mongol atas dunia Islam membuat mental para pemimpin dan sultan runtuh.

Merawat Ingatan: Tahun 656 H

Dua tahun sebelumnya, di tahun 656 H, sebuah tahun yang kelam, hari-hari pada tahun itu begitu mencekam. Tahun di mana kematian begitu dekat, mengetuk setiap pintu rumah kaum muslimin. Langit Bahgdad mungkin cerah, tapi tanahnya basah oleh darah, di mana Jasad-jasad bergelimpangan tanpa kepala.

Hulaghu Khan berhasil menaklukkan banyak kerajaan, dari wilayah-wiayah Asia Tengah, hingga perbatasan Abbasiyah. Belum puas, ia melirik kekhilafahan Abbasiyah sebagai target selanjutnya.

Sudah sejak tahun 649 H, Hulagu mempersiapkan pasukan dan rencana untuk melumat kekhilafahan kaum muslimin. Lobi politik telah dilakukan, dan strategi telah disiapkan. Ia juga menggaet raja-raja Nasrani Armenia dan wialyah Syam untuk bekerja sama.

Bahkan, internal kekhilafahan pun berhasil menjadi pion yang dimanfaatkan. Adalah Ibnu al-‘alqami, seorang perdana Menteri Syi’ah yang juga ikut ambil bagian dari rencana besar ini. Ia berperan sebagai mata-mata, dan peran strategis lainnya yang banyak memuluskan rencana Hulagu menaklukkan Baghdad.

Salah satu peran strategis Ibnu al-‘Alqami dalam membatu pasukan Mongol adalah memangkas personil militer kekhilafahan, ia juga melakukan lobi politik kepada Hulagu untuk menjadikannya wakil Mongol di Irak, dan sebagai gantinya, ia akan memuluskan masuknya pasukan Mongol ke Bangdad. (Taarikh al-Islami, Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, 48/34-35)

Serigala berbulu domba, itulah Ibnu al-‘Alqami, dia juga berperan sebagai negosiator antara Khalifah al-Musta’shim dengan Hulagu. Dengan kelicikan dan kecerdikannya, ia berhasil menipu sang Khalifah untuk datang menghadap Hulagu dan membicarakan perjanjian damai tipu-tipu.

Perang itu adalah tipu daya, begitu sabda Nabi. Sayangnya, Sang Khalifah dalam episode pahit ini adalah objek dari tipu daya yang dimainkan Hulagu dan Ibnu al-‘Alqami.

Maka ketika al-Musta’shim beserta pembesar kekhilafahan, berikut keluarga dan para ulama datang ke Kemah Hulagu untuk ‘berbincang’, namun yang bicara pada kesempatan itu buka kata-kata, tapi pedang yang memutuskan kepala dari raga.

Terjadilah panggung pembantaian. Para pejabat, para ulama, keluarga khalifah dibunuh di tempat, di hadapan al-Musta’shim sendiri. Sang Khalifah juga dipaksa menonton bagaimana putra-putra dan cucunya dibunuh di depan matanya, dan Khalifah juga dibunuh sebagai penutup ‘acara’. (Tarikh al-Islami, Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, 48/36)

Pembataian atas khalifah, para pejabat dan pembesar kekhilafahan adalah mukadimah dari panggung pembantaian yang lebih besar. Karena hari-hari mengerikan bagi Baghdad baru dimulai setelah itu.

Para muslimah yang menjaga kesucian dirinya, pada hari itu ternoda, hanya sedikit anak-anak yang menjadi yatim dan hanya sedikit muslimah yang menjanda. Karena pasukan Mongol tidak pilih kasih untuk membunuh, tidak ada batas minimal bagi mereka untuk sebuah kematian.

Imam Suyuti menyebutkan, bahwa panggung pembantaian dipentaskan selama 40 hari lamanya. Nyawa manusia bagai permainan. Hidup seseorang diputuskan pada pedang-pedang mereka, siapa yang hidup, dan siapa yang mati dipilih sesuai selera hati.

Imam ad-Dzahabai berkomentar atas musibah na’as tersebut, “Ini adalah Musibah yang belum pernah menimpa kaum muslimin.” sebuah gambaran betapa hari itu, air mata dan pekik tangis pun tak sanggup lagi mengalir. (Tarikh al-Khulafa’, Jalaluddin as-Suyuti, 369)

Pertempuran Ain Jalut


Paska jatuhnya Baghdad, hegemoni Mongol semakin meluas. Pedang-pedang mereka terus haus darah hingga merembet ke negeri-negeri lainnya. Kematian datang lebih cepat lewat ketakutan. Pamor pasukan Mongol membuat siapa saja bergidik ngeri.

Setelah selesai dengan Bahgdad, Hulagu melirik Syam sebagai target selanjutnya. Pada bulan Safar tahun 656 H atau bertepatan dengan 10 Februari 1258 M, Hulaghu dengan kekuatan 120.000 pasukan menuju Syam.

Daerah demi daerah takluk, tanah mereka basah oleh darah, karena sudah diketahui secara umum, pasukan Mongol tidak pernah belas kasih atas wilayah yang mereka taklukan, kecuali akan terjadi apa yang disebut panggung pembantaian.

Tidak butuh waktu lama, cukup satu bulan, pada bulan Rabiul Awwal, pasukan Mongol telah menguasai hampir seluruh Syam, dari Aleppo, Damaskus hingga Gaza berhasil ditaklukkan. Sedangkan Mesir masih dalam intaian. (Lihat: Ayyamun La Tunsa, Tamir Badar, 186)

Sementara di Mesir, yang ketika itu menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Mamalik, sedang kasak- kusuk mengetahui kabar bahwa pasukan Mongol telah berhasil menduduki sebagian besar wilayah Syam. Hanya soal waktu mereka sampai di tempat mereka.

Musyawarah dibuka, keputusan tepat dan cepat harus segera diambil. Pada mulanya mereka ragu untuk maju menghadapi pasukan Mongol yang tentu kengerian akan pasukan tersebut telah sampai lebih dulu ke telinga mereka.

Pada saat itulah Saifuddin Quthuz, pemimpin mereka menyampaikan sesuatu yang membuat mereka malu dan bersedia berjihad bersamanya melawan pasukan Mongol.

يَا أُمَرَاءَ الْمُسْلِمِينَ، لَكُمْ زَمَانٌ تَأْكُلُونَ أَمْوَالَ بَيْتِ الْمَالِ، وَ أَنْتُمْ لِلْغَزاةِ كَارِهُونَ، وَأَنَا مُتَوَجِّهٌ، فَمَنْ اخْتَارَ الْجِهَادَ يُصْحِبُنِي، وَمَنْ لَمْ يَخْتَرْ ذَالِكَ يَرْجِعْ إِلَى بَيْتِهِ، فَإِنَّ اللهَ مُطَّلِعٌ عَلِيْهِ

“Wahai Pemimpin kaum muslimin, selama ini kalian telah makan dari harta baitul mal, sedangkan (sekarang) kalian enggan berperang. Adapun aku akan maju menghadapi mereka (pasukan Mongol), maka barangsiapa yang memilih untuk berjihad, bergabunglah denganku, dan barangsiapa yang enggan, silahkan pulang ke rumahnya. Maka sesungguhnya Allah Mengawasi kalian.” (Ayyamun La Tunsa, Tamir Badar, 188)

Maka para pembesar kerajaan sepakat menyambut pasukan Mongol diperbatasan Mesir, membuka front jihad jauh dari ibu kota negara. Maka berangkatlah pasukan yang kelak akan dicatat sejarah sebagai pasukan pertama yang mengalahkan pasukan Mongol.

Pasukan kaum muslimin kurang lebih berjumlah 20.000 mujahid yang ambil bagian dari misi mulia ini. Mereka dipimpin oleh Saifuddin Quthuz sendiri dan panglimanya Ruknuddin Baibars, menjemput Pasukan Mongol di Ain Jalut.

Masing-masing pasukan telah berhadapan, gelanggang laga 40.000 pasukan dimulai. Denting pedang, pekik kematian menggema bersamaan dengan ringkih kuda. Ain Jalut menjadi saksi kecerdikan strategi Saifuddin Quthuz dan Baibars pada perang ini.

Pasukan Mongol digiring menuju dua sisi tebing yang sempit, hingga mereka terjepit, pasukan yang telah disiapkan oleh Panglima Quthuz segera melibas pasukan Mongol yang terdesak sulit.


Hari itu 25 Ramadan, hari kemenangan berhasil diraih, korban besar jatuh di pihak musuh, bahkan panglima Mongol , Kathbuga terbunuh dan sisa-sia pasukan lainnya tunggang langgang melarikan diri. (Tarikh al-Islami, Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, 48/61)

Sisa-sisa pasukan Mongol terus diburu, hingga mereka keluar dari Syam. Pada tanggal 27 Ramadan Saifuddin Quthuz memasuki kota Damaskus, mengamankan wilayah Syam. Untuk kemudian Syam dan Mesir dibawah kekuasaan Dinasti Mamalik. [Fb]

Share Artikel: