ANALISIS SEMIOTIK PANTULAN SINAR MATAHARI DI DINDING RUMAH PAK ANU
ANALISIS SEMIOTIK PANTULAN SINAR MATAHARI DI DINDING RUMAH PAK ANU
Menurut saya, gambar bapak-bapak sedang duduk yang ada di bawah twit ini menarik. Untuk memudahkan, kita sebut saja bapak-bapak yang sedang duduk itu sebagai "Pak Anu".
Pertama, kalau kita melihat jendelanya, jendela rumah Pak Anu pastilah menghadap ruang terbuka, bukan ruangan lain di dalam rumah. Sebab, jendela yang berfungsi sebagai partisi umumnya tak menggunakan tirai. Apalagi, jika partisi itu hanya digunakan untuk membagi tempat shalat yang tak memerlukan privasi sedemikian.
Kedua, karena tirainya dalam keadaan terbuka, titi mangsanya pastilah saat matahari masih bersinar. Sehingga, cahaya yang jatuh di dinding kiri itu pastilah cahaya matahari, bukan cahaya Ramayana, eh, cahaya lampu.
Ketiga, mengingat spektrum cahaya jatuh itu tingginya mencapai separuh dinding, mataharinya pastilah cukup rendah. Tanpa melihat petunjuk jarum jam, spektrum tersebut menunjukkan dua kemungkinan, yaitu pagi, atau petang. Kalau pagi, kemungkinannya antara pukul 07.30 hingga 08.30. Jika petang, kemungkinannya antara pukul 15.30 hingga 16.30.
Namun, kalau kita melihat petunjuk jarum jam, saat di-zoom in gambarnya dengan jelas menunjukkan posisi sekitar pukul 15.17. Jadi, clear, gambar ini titi mangsanya petang hari.
Kenapa bukan dini hari?
Sebab, kalau pukul 03.17, belum ada cahaya matahari. Pantulan cahaya di dinding juga mustahil berasal dari cahaya lampu luar, karena jam segitu normalnya semua orang belum mulai membuka tirai-tirai jendela mereka.
Keempat, karena waktunya petang, berarti jendela itu menghadap ke barat, sehingga Pak Anu pastilah sedang menghadap ke selatan.
Sampai di situ muncul persoalan. Sesuai ilustrasi, Pak Anu pastilah sedang shalat, mengingat posisinya terlihat seperti (1) sedang tasyahud, (2) di atas sajadah, (3) di sebuah ruang berkarpet yang menjadi penanda tempat shalat. Namun, pertanyaannya, kenapa shalat kok menghadap ke selatan? Normalnya, sesuai dengan petunjuk lainnya yang ada pada gambar, Masjidil Haram yang menjadi kiblat shalat umat Islam seharusnya ada di arah dinding yang berjendela, bukan arah dinding yang ada jamnya.
Kenapa Pak Anu keliru mengambil arah kiblat?
Saya menduga, kemungkinan Pak Anu baru saja mengalami hal mengejutkan dalam hidupnya, sehingga mengalami sejenis disorientasi. Hal semacam itu memang kadang terjadi. Misalnya, mungkin Pak Anu baru saja kena prank tanahnya dibeli orang Rp2 miliar, yang sudah diumumkan ke para tetangga, sudah diumumkan di masjid bahwa sebagian akan disumbangkan, tapi ternyata cuma boongan.
Kita juga mungkin pernah mengalami hal yang sama, meski tak separah itu.
(By Tarli Nugroho)
*Sumber: fb