Bendera TAUHID, Bendera NEGARA dan Bendera PARTAI: Beda Makna dan Hukumnya


Bendera TAUHID, Bendera NEGARA dan Bendera PARTAI: Beda Makna dan Hukumnya

Oleh: Prof. Suteki

A. Pengantar

Masih terasa hawa panas politik semenjak terjadi aksi pembakaran bendera PDIP saat demo penolakan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020. Pihak PDIP menilai aksi tersebut merupakan aksi yang tidak bermoral dan jelas-jelas melanggar hukum. Oleh karena itu, pimpinan partai ini menginstruksikan agar seluruh kader PDIP se-tanah air menunjukan keseriusan dalam menentang aksi tersebut lewat laporan hukum tersebut. Keseriusan tersebut juga ditunjukan oleh para kader dan simpatisan PDIP Kabupaten Bandung yang datang beramai-ramai ke Mapolresta Bandung di Soreang dari Kantor DPC PDIP Kabupaten Bandung di Baleendah, Kamis 25 Juni 2020.

Bendera partai bukan bendera agama juga bukan bendera negara, apakah mungkin membakarnya dalam situasi demo atas penolakan RUUH HIP yang konon kabarnya diinisiasi oleh Fraksi PDIP di DPR merupakan tindak pidana? Mungkinkah dikenakan penistaaan, penghinaan atau pengrusakan barang orang lain? Milik siapakah bendera itu?

Bendera memang merupakan salah satu panji suatu organisasi tertentu, sebagai simbol dan juga sebagai alat pemersatu warga organisasi. Perlu menelisik lebih jauh untuk memaknai hakikat bendera sekaigus menetukan hukumnya ketika terjadi penodaan, pengrusakan dan pembakaran terhadap bendera organisasi tersebut. Boleh jadi pembakaran bendera partai itu hanya sebatas isu moral sosial bukan sebagai isu yang dapat dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana. Maka beda makna dan hukumnya ketika kita bicara tentang bendera agama, bendera negara dan bendera partai.

B. Simbol itu bernama Panji

Sangat menarik apa yang dikatakan oleh George Herbert Mead ketika membahas sebuah teori kominukasi, yakni teori interaksionalis simbolik. Ia menjelaskan bahwa manusia termotivasi untuk bertindak berdasarkan pemaknaan yang mereka berikan kepada orang lain, benda, dan kejadian. Dapat dikatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan pemaknaan atas SIMBOL tertentu yang disepakati.

Pemaknaan atas simbol ini diciptakan melalui bahasa yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi dengan pihak lain yakni dalam konteks komunikasi antarpribadi atau komunikasi interpersonal dan komunikasi intrapersonal atau self-talk atau dalam ranah pemikiran pribadi mereka. Bahasa sebagai alat komunikasi memungkinkan manusia mengembangkan sense of self dan untuk berinteraksi dengan pihak lain dalam suatu masyarakat. Interaksi dengan pihak lain itu dilakukan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Dengan demikian, ada beberapa unsur pokok dalam komunikasi tersebut yaitu meaning (makna), language (bahasa) dan thought (pemikiran) yang pada akhirnya akan mendorong pada pembentukan persepsi, sikap hingga perilaku seseorang.

Salah satu simbol yang memilki makna khusus bagi pemiliknya adalah PANJI-PANJI. PANJI adalah bendera yang dibuat untuk menunjukkan kedudukan dan kebesaran suatu jabatan atau organisasi. Ada komunitas yang membuat dan mengagungkan suatu panji, ada pula komunitas yang tidak terlalu peduli dengan panji-panji itu. Sepanjang peradaban dunia terbukti banyak peradaban suatu bangsa itu memiliki panji tertentu sebagai simbol keberadaan dan persatuan bangsa itu bahkan sudah dimiliki pada saat suatu komunitas belum menjadi negara bangsa modern, yakni ketika komunitas itu berupa kerajaan.

Dalam torehan sejarah pemerintahan di nusantara kita mengenal Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan, Ternate, Tidore, Kerajaan Aceh, Kerajaan Cirebon. Kerajaan Yogjakarta, semuanya memiliki panji kerajaan berupa bendera bertuliskan kalimat tauhid. Pada zaman yang mendekati modern, menjelang kemerdekaan Indonesia beberapa organisasi politik juga memiliki panji organisasi berupa bendera yang bertuliskan kalimat tauhid. Misalnya Laskar Hizbullah (cikal bakal TNI) dan Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Samanhudi juga menggunakan lambang yang memuat kalimat tauhid di dalamnya.

Suatu komunitas apalagi suatu bangsa memiliki cara untuk menunjukkan bahwa mereka, para anggotanya berhimpun menjadi satu dan memiliki persamaan pendapat (ijtima’ kalimatihim) dan juga persatuan hati mereka (ittihadi qulubihim). Tanda untuk semua itu adalah PANJI dalam bentuk BENDERA. Inilah makna tersembunyi dari balik suatu bendera.

C. Urgensi Panji Tauhid Bagi Suatu Komunitas

Bendera bagi suatu bangsa merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan suatu komunitas, organisasi, hingga negera bangsa tertentu. Bendera tauhid merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Sebagai sebuah simbol, maka seringkali bendera tauhid itu sebagai lambang harga diri. Menghinanya, menistakannya sama saja dengan menistakan harga diri pemilik bendera tersebut. Setelah masa-masa ekspansi dari daulah Islam berakhir (dengan runtuhnya kekhalifahan Utsmani 3 Maret 1924), simbol-simbol menyerupai rayah dan liwa’ kembali muncul. Banyak kelompok dan ormas yang menggunakan simbol tersebut sebagai lambang organisasinya. Namun, apakah hal ini diperkenankan?

Suatu komunitas apalagi suatu bangsa memiliki cara untuk menunjukkan bahwa mereka, para anggotanya berhimpun menjadi satu dan memiliki persamaan pendapat (ijtima’ kalimatihim) dan juga persatuan hati mereka (ittihadi qulubihim). Tanda untuk semua itu adalah PANJI dalam bentuk BENDERA. Inilah makna tersembunyi dari balik suatu bendera.

Terkait polemik bendera, perlu disebutkan bahwa kini tak ada larangan dari pemerintah jika ada pihak yang mengibarkan bendera berkalimat tauhid. Yang tidak boleh jika bendera ada logo Hizbut Tahrir Indonesia--ormas yang sudah dibubarkan oleh pemerintah. Bagaimana kita akan menggunakan dan memaknai bendera tauhid, sangat tergantung dengan literasi yang telah kita kuasai. Umat Islam Indonesia merupakan komunitas yang berpotensi untuk memperbaiki dan menyokong peradaban yang hendak dibangkitkan kembali untuk rahmatan lil ‘alamiin. Cepat atau lambat.

D. Hukum Menodai Bendera Tauhid Sama Dengan Penistaan Agama

Sebagai perbandingan kasus pembakaran bendera, kita masih ingat dengan insiden pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid di Garut yang waktu itu juga menimbulkan riak-riak di masyarakat. Atas hal itu, berbagai tokoh dan ormas Islam meminta umat Islam Indonesia menahan diri dari tindakan-tindakan yang justru bisa memecah persatuan. MUI (Majelis Ulama Indonesia) memohon kepada seluruh pihak untuk dapat menahan diri, tidak terpancing, dan tidak terprovokasi oleh pihak-pihak tertentu agar ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan di kalangan umat serta bangsa tetap terjaga dan terpelihara. (Pelaksana Tugas Ketua Umum MUI Zainut Tauhid saat menyampaikan konferensi pers di kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (23/10/2018)).

Kepolisian melansir, insiden pembakaran bendera tersebut terjadi saat perayaan Hari Santri Nasional di Alun-Alun Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, pada Senin (22/10/2018) pagi. Sejumlah anggota Barisan Serbaguna Anshor Nahdlatul Ulama (Banser NU) melakukan pembakaran dengan dalih bendera hitam bertuliskan Lailahailallah Muhammadur Rasulullah dalam kaligrafi Arab tersebut merupakan bendera ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pemerintah tahun lalu.

MUI mendorong dan mengimbau seluruh pihak untuk menyerahkan masalah ini kepada aparat hukum. Selain itu, MUI meminta kepada pihak kepolisian untuk bertindak cepat, adil, dan profesional. Para pimpinan ormas Islam, para ulama, kiai, ustaz, dan ajengan juga diminta ikut membantu mendinginkan suasana dan menciptakan kondisi yang lebih kondusif sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Syahdan pihak kepolisian RI mengamankan tiga orang terkait kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Garut. Polisi menyelidiki ada-tidaknya dugaan tindak pidana terkait peristiwa, khususnya delik penistaan agama. F dan M, pembakar bendera berkalimat tauhid yang disebut polisi bendera HTI telah disidang. Keduanya dikenai tindak pidana ringan (Tipiring). Majelis hakim menjatuhkan hukuman 10 hari penjara dan denda Rp 2 ribu. Meski menyayangkan vonis 10 hari kepada F dan M, umat Islam tetap menghormati putusan tersebut. Tapi umat Isam taat hukum kalau pengadilan sudah memutuskan kami terima. Oleh karena TIPIRING tidak ada peluang untuk mengangkat kembali secara hukum kita lakukan secara hukum.

E. Hukum Menodai Bendera Partai: Apakah Merupakan Tindak Pidana?

Berbeda dengan penistaan terhadap agama atau simbol agama, tampaknya sulit menilai untuk mencari rumusan pidana dari aksi pembakaran bendera PDIP dalam KUHP. Hal ini disebabkan oleh karena bendera PDIP bukanlah bendera nasional atau lambang negara, atau bendera agama. Lain halnya jika yang dibakar bendera Merah Putih karena memang sudah diatur dalam undang-undang.

Delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Adapun aturan soal bendera Merah Putih diketahui tercantum dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pada Pasal 66 diatur ancaman pidana terhadap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara.

Bendera PDIP tidak dapat dikualifikasi sebagai bendera nasional, lambang negara. Jika PDIP membuat laporan tentang penghinaan atau pencemaran nama baik terkait aksi pembakaran bendera itu, hal itu juga tidak bisa dilakukan karena delik penghinaan dan pencemaran nama baik itu subjeknya orang bukan badan, organisasi atau barang, kecuali ada yang menghina menyebut nama orang. Demikian pula misalnya akan dilaporkan delik pengrusakan barang orang lain berdasar Pasal 406 KUHP juga akan sulit. Pasal itu berbunyi "Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang yang sesuatu atau seluruhnya a‎tau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500." Mengapa sulit? Karena bendera itu bukan barang milik orang lain, baik sebagian atau seluruhnya, melainkan milik peserta aksi sendiri dan bukan hasil curian.

Sebagaimana diberitakan oleh CNN Jumat, 26 Juni 2020, pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir mengatakan bahwa perlu lebih dulu melihat konteks dari aksi pembakaran bendera PDIP tersebut. Menurutnya aksi pembakaran terjadi di tengah aksi demo yang menolak RUU HIP yang merupakan inisiatif DPR.

Jika dirunut lebih jauh, menurut berbagai sumber RUU HIP itu pertama kali diajukan oleh Fraksi PDIP di DPR. Baru kemudian dalam rapat paripurna yang digelar pada pertengahan Mei 2020, DPR kemudian menyetujui pembahasan RUU HIP sebagai inisiatif DPR, meski dalam perjalanannya tak semua fraksi mendukung RUU HIP. Atas dasar itu, kata Muzakir, aksi pembakaran bendera PDIP itu bukan berarti penghinaan. Sebab insiden itu terjadi di tengah aksi protes pendemo yang menolak RUU HIP. Bagi pendemo, PDIP dianggap berkontribusi cukup besar dalam proses pembahasan RUU HIP tersebut yang hingga sekarang masih menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan di dalam masyarakat.

F. Penutup

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sudah mempunyai etika kehidupan berbangsa sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001. Di bidang politik pemerintahan, masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.

Etika Politik dan Pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.  Jadi, kalau kita mengaku konsen pada Pancasila, mari kita semua menahan diri dan mau duduk bersama menyelesaikan segala konflik dengan mengutamakan moralitas, bukan hukum saja.

Tabik...!!!

Semarang, Sabtu, 27 Juni 2020

Share Artikel: