Jamaah Haji: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga?


Jamaah Haji: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga?

Hari Selasa, 2 Juni 2020 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama resmi mengumumkan pembatalan pelaksanaan ibadah haji tahun ini. Bukan hanya dibatalkan tapi dengan gampangnya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) akan memanfaatkan simpanan dana haji untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Juga membantu APBN untuk penanganan Covid-19, katanya. What...?? Maksudnya apa ini??

Apa masih kurang pinjaman hutang luar negeri untuk menangani Covid-19 dan menganggarkan dana hingga Rp. 405 triliun? Belum juga jelas laporan kinerja penanganan Covid-19 oleh pemerintah ke publik, kenapa malah teriak kurang? Kalau masih kurang, lalu untuk apa membuat pelatihan-pelatihan yang tidak terlalu penting di platform "Ruang Guru" dan menyedot dana hingga  Rp.5,6 triliun? Apa pula urusan stabilisasi rupiah harus menggunakan dana haji. Jujur ini membingungkan, kalau tidak ingin disebut mengecewakan publik, terutama umat Islam.

Perlu diketahui, BPKH saat ini memiliki simpanan dalam bentuk dolar AS sebanyak US$600 juta atau sekitar Rp8,7 triliiuan, dengan asumsi kurs Rp14.500 per dolar AS. Sementara saat ini total dana yang dikelola BPKH sebanyak Rp135 triliun. Ketika pemerintah ujug-ujug membatalkan pelaksanaan ibadah haji dan secara bersamaan mengumumkan dana akan dialihkan untuk stabilisasi rupiah, kitapun patut bertanya. Jadi sebenarnya alasan kuat pembatalan haji, lantaran dana akan digunakan untuk stabilisasi rupiah -- yang notabene 'nambal-sulam' urusan ekonomi, atau memang demi alasan kesehatan dan keamanan?

Kita patut menyayangkan sikap Kementerian Agama (Kemenag). Jangan dulu bicara demi keamanan dan kesehatan. Karena kita yakini, jamaah haji pasti sangat memahami kalau memang alasan utamanya adalah demi kesehatan.

Beberapa hal yang perlu kita sayangkan adalah:

(1) Pertama, pengumuman yang dilakukan oleh Kemenag tidak berkoordinasi dengan para pihak terkait, apakah itu DPR, maupun stakeholder pengelolaan ibadah haji, semacam asosiasi atau biro perjalanan haji. Buktinya, ada anggota DPR RI dari Komisi VIII yang 'teriak' tidak diajak koordinasi. Ketika keputusan itu diambil dan diumumkan ke publik,  lewat zoom kepada media, terkesan Kemenag  arogan  karena tidak dilakukan bersama-sama dengan stakeholdernya. Padahal soal dana haji adalah dana umat yang proses pengumpulannya dari jama'ah dengan beragam dinamika kehidupan yang tidak mudah. Sering dilakukan lewat mencicil dan menabung melalui proses yang panjang dan menunggu dalam jangka waktu lama, bisa 10-15 tahun.Tidakkah para pejabat di Kemenag itu berempati?

(2) Kedua, hingga saat ini Pemerintah Saudi Arabia sebagai pemegang otoritas penyelenggaraan ibadah haji juga belum memberikan pengumumannya secara resmi. Yang kita tahu menunda sementara waktu hingga suasana berkembang kondusif. Sebaliknya, informasi yang berkembang, kegiatan ibadah di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi berangsur mulai diaktifkan kembali walaupun dengan prosedur yang ketat. Ini artinya, mungkin saja ibadah haji tetap dilakukan tetapi dengan kuota yang terbatas. Artinya, bila setiap tahun kuota yang ditetapkan semisal 3-4 juta orang, bisa saja tahun ini kuotanya tinggal 50% nya atau sepertiganya. Artinya kuota sebesar itu bisa dibagi secara proporsional kepada jamaah haji seluruh dunia. Jadi tidak total dibatalkan. Bagi jama'ah haji Indonesia, berangkat dengan jumlah 50ribu-100ribu di bawah kuota yang seharusnya (di atas 200ribu) tentu sudah cukup menghibur. Dengan catatan, bila otoritas Saudi Arabia membuka peluang itu.

(3) Ketiga,  keputusan penting terkait batal atau tidaknya ibadah haji, seharusnya dilakukan secara bersama-sama, tidak sepihak oleh satu kementerian, karena ini menyangkut dana umat Islam. Apalagi dana yang ada akan digunakan di luar kepentingan ibadah haji itu sendiri. Masalahnya, bila pengelolaan dana haji dalam keterangan pemerintah diinvestasikan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), lalu apa untungnya atau kontribusinya bagi jamaah haji yang bersangkutan? Apakah keuntungan dari hasil investasi akan dikembalikan kepada jamaah haji yang bersangkutan dalam bentuk pengurangan biaya haji atau fasilitas lainnya? Sebaliknya, bila merugi, atau pemerintah tidak bisa mengembalikan apa konsekuensinya?

Secara pribadi saya bersyukur, karena rencana jadwal keberangkatan haji saya yang seharusnya tahun 2020 ini dimajukan tahun 2019. Padahal tahun lalu saya sempat meminta ke biro perjalanan haji untuk menunda keberangkatannya menjadi tahun ini. Karena ketika itu, dalam waktu dua minggu saya bersama istri merasa keberatan karena harus melunasi biaya perjalanan ibadah haji yang masih terbilang sangat lumayan dan dilakukan secara mendadak.

Qudratullah, akhirnya kami bisa melunasinya walau dengan tergopoh-gopoh. Sementara beberapa teman yang tahun lalu sudah lunas lebih dahulu dan tidak bisa berangkat harus ditunda tahun ini dan akhirnya gagal berangkat lagi.

Ini penting menjadi bahan kajian atau empati dari para pejabat di Kemenag bahwa kasus seperti saya itu bisa ribuan yang terjadi. Bayangkan ketika mereka sudah bersusah payah melunasi Ongkos Naik Haji (ONH) nya pada tahun ini dan akhirnya tidak berangkat. Sakitnya lagi bahwa dana hajinya ternyata digunakan buat urusan yang lain tanpa secara kelembagaan izin kepada para jama'ah. Ini sama saja ibarat peribahasa "Sudah Jatuh Tertimpa Tangga". Semoga jamaah haji Indonesia senantiasa diberikan berkah kesabaran. Aamiin.

(Kusairi Muhammad)

Share Artikel: