Mengapa Hubungan 'Jeruk Makan Jeruk' Menyebabkan Pelakunya Ketagihan?


Mengapa Hubungan 'Jeruk Makan Jeruk' Menyebabkan Pelakunya Ketagihan?

Oleh: Dara Lana Tan

Panjang dan lebay bin 'ya gitu deh' amat ya judul tulisan ini.

Sebelum lanjut menulis, saya minta ijin untuk cerita soal hubungan 'jeruk makan jeruk' alias JMJ yang pelakunya lanang versus lanang alias bandot versus bandot.

Dalam tulisan ini banyak kata-kata yang saya singkat, demi memberi kepraktisan kepada pembaca.

Saya pun mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau dalam tulisan ini ada bagian-bagian atau kalimat-kalimat yang membuat pembaca merasa mual saat membacanya.

Sungguh, niatan saya hanya ingin mengedukasi lewat tulisan yang susah payah saya sensor dan pakai bahasa 'slenge'an' agar education feel-nya dapat, tanpa saya harus 'berporeno-poreno' ria.

Sekaligus menepati janji saya kepada Saudara Windy Windy untuk menuliskan hal ini dalam tulisan tersendiri.

InsyaAllah isinya fakta dan bisa dibuktikan secara ilmiah.

Jadi begini, Pembaca sekalian. Para pelaku hubungan JMJ atau KPLT (Komuni** Penikmat Lubang Ta*) khusus lanang vs lanang itu, berhubungannya dengan cara bergantian memasukkan "itu" mereka ke lubang ta* atau disingkat LT milik pasangan "hahahihinya".

Secara anatomi dan fisiologi, LT punya otot berbentuk cincin yang bernama sphincter ani. Maaf untuk yang punya nama Ani ya, saya sedang tidak membicarakan atau memanggil Anda, tetapi kalau Anda merasa terpanggil ya mendekatlah. Bila perlu sambil bawa pizza bumbu menyan. Pasti tidak akan saya makan, sebab saya tidak sedang jadi siluman. Hehehe..

Nah, sphincter ani punya dua lapisan yakni sphincter ani internal atau bagian dalam berupa otot lurik yang mengelilingi saluran anus panjang kelilingnya sekitar 2,5 sampai 4 cm. Fungsinya sebagai pengatur tinja saat buang air besar.

Sedangkan lapisan luar disebut sphincter ani eksternal yang juga terdiri dari otot lurik,  tetapi berbentuk oval dan melekat pada bagian dinding anus. Panjangnya sekitar 8 sampai 10 cm. Fungsi sphincter ani eksternal adalah untuk membuka dan menutup kanalis ani atau terowongan anu*.

Fisiologi atau fungsi dari si spingter ani ini adalah bisa mengerut atau mencengkeram secara reflek dengan sangat kuat sekali dan melebar atau membuka hanya jika dipaksa untuk dimasuki atau jika ada yang mau keluar dari cengkeraman itu seperti saat buang air besar.

Saking kuatnya cengkeraman si sphincter ani ini, tinja tidak 'mbrojol' keluar karena ada tahanan berupa cengkeraman yang kuat itu walau tubuh pemilik tinja dalam posisi berdiri.

Nah, karena saking kuatnya cengkeraman si spinkter ani itu, pada saat pelaku JMJ berhubungan, pemilik "itu" yang masuk ke anu*, akan merasakan cengkeraman yang luar biasa, makanya penggunaan pelumas menjadi seperti wajib dalam ritual ini.

Oleh karena cengkeraman yang luar biasa ini, saat 'itu' masuk ke LT, akan menimbulkan sensasi "puas" yang luar biasa pula bagi pemilik 'itu' yang dimasukkan ke LT. Dan sensasi luar biasa "puas" inilah yang terekam di pikiran pelaku JMJ sehingga ketagihan, kecanduan dan sulit lepas dari keinginan untuk terus memasukkan "itu" ke LT pasangan JMJ-nya.

Sebaliknya, pemilik LT akan merasakan sakit yang luar biasa jika tidak cukup pelumasnya saat LT dimasuki "itu", atau jika 'itu'  ipaksakan masuk secara paksa.

Maka tak jarang terjadi robekan di LT yang juga dilewati tinja itu. Padahal tinja itu kotoran yang kotor dan mengandung banyak bakteri penyakit yang saat berjalan keluar menuju 'plung plung plung' di kakus, akan melewali luka-luka robekan pada LT.

Oleh sebab itu, para pemilik LT yang melakukan hubungan JMJ, banyak yang menderita borok, koreng, bisul hingga bernanah dan sekeliling anu*nya terdapat robekan yang 'robak-rabek' atau 'rontang-ranting' seperti daun pisang segar diremas-remas, pada LT nya.

Dari sini lah awal penularan 'penyakit mematikan yang belum ada obatnya' itu terjadi.

Akan tetapi, rasa sakit dan penderitaan yang dialami pemilik LT saat LT nya dipaksa untuk dimasuki "itu", dipersepsikan sebagai pengorbanan dan wujud kasih sayang kepada pasangannya, sehingga walau anu* robek-robek, penuh koreng, bisul, bernanah, pemiliknya maaauuu saja LT nya dimasuki "itu" secara terus-menerus tanpa memberi kesempatan untuk sembuh.

Pertanyaan saya, apakah hubungan seperti ini baik, sehat dan ma'ruf?

Lihat prosesnya saja, sungguh tidak baik, tidak sehat dan tidak ma'ruf.

Maka para pakar melarang, ulama melarang, secara total agama Islam pun melarang hubungan 'jeruk makan jeruk' itu.

Untuk mengobatinya, lumayan 'ribet'.

Fisiknya harus diobati, psikologisnya pun harus diobati juga dalam kurun waktu yang cukup lama dan intens. Apalagi kalau sudah tertular penyakit yang mematikan dan tak ada obatnya kecuali mati tersebut.

Jika kedua 'jeruk' bertobat dan ingin hidup normal dengan punya pasangan perempuan pun harus 'ribet' lagi.

Para 'jeruk' harus melakukan general check up dulu. Tidak cukup sekali, tetapi sampai dinyatakan benar-benar bebas penyakit yang mematikan itu.

Kalau belum positif terkena penyakit mematikan yang tidak ada obatnya itu, barulah seorang 'jeruk' bisa nikah dan 'kawin' dengan perempuan secara 'normal'.

Akan tetapi kalau sudah positif terkena penyakit yang mematikan itu, memang bisa menikah. Mungkin atas nama HAM, tetapi sangat 'ribet' juga.

Ribetnya bagaimana? Oh, ribetnya itu, antara jeruk dan pepaya tidak boleh "saling memakan" tanpa menggunakan sarung karet pengaman.

Pertanyaannya, bagaimana bisa punya anak kalau terus "saling memakan" dengan tetap memakai sarung pengaman? Tauge dan telur mereka tidak akan bertemu di tempat yang penuh kerahiman untuk menjadi bayi, buah cinta mereka berdua.

Satu-satunya cara untuk mempertemukan tauge dan telur mereka ya di laboratorium fertilisasi. Namanya tekniknya inseminasi buatan.

Toge sama telurnya dipertemukan secara in vitro atau dalam tabung kaca, bukan secara in vivo atau di dalam tubuh di emak lewat "hahahihi hahahihi" tanpa sarung karet pengaman tadi. Makanya bayi yang dihasilkan dengan cara ini disebut bayi tabung.

Tauge yang akan dipertemukan dengan telur secara in vitro pun harus benar-benar tauge sehat dan tidak mengandung virus mematikan itu.

Ngomong-ngomong, berapa ratus 'jetong' biaya untuk menjodohkan tauge dan telur di dalam pelaminan bernama tabung kaca ya? Entahlah, tapi 'krungu-krungu' sih seribu 'jetong' alias satu milyar lebih. Dan, tidak menjamin sekali 'jeknong' berhasil jadi anak.

Ribet kan?

Masih belum cukup sampai di sini.

Saat ritual jeruk makan pepaya pun harus hati-hati.

Berc*uman, misalnya. Jangan 'nggragas' atau rakus 'krausss-kraauuusss' sekali, sehingga menimbulkan luka. Sebab luka bisa menjadi jalan masuknya virus mematikan yang diidap si jeruk ke tubuh si pepaya.

Dan pokoknya, banyak lagi pantangannya bagi si jeruk mantan pelaku JMJ kalau dia positif tertular virus mematikan yang tidak ada obatnya kecuali 'metong' itu, agar si pepaya tidak ketularan penyakit mematikan dari si jeruk.

Ribet ya? Iya, ribet sekali.

Jadi, pikir dulu bagi para pria untuk menjalani hubungan jeruk makan jeruk, karena selain itu dilarang keras oleh ajaran agama, secara ilmiah pun hubungan jeruk makan jeruk itu lebih banyak merusak dan mudharatnya.

Maafkan satewoman ini seribu kali lagi sambil semedi kalau ada di antara Anda yang mual membaca tulisan ini.

Percayalah, saya sudah berusaha untuk memperhalus dan menggunakan kata-kata kiasan sekaligus menerapkan sensor di beberapa bagian.

Bandung, 27 Juni 2020

(Sumber: fb)

Share Artikel: