Politik Dinasti, Politik Aji Mumpung?


Oleh:Chusnatul Jannah
 DINASTI politik dalam demokrasi adalah hal biasa terjadi. Sosok politisi biasanya menjadi pemicu anak cucu mengikuti jejak tetuah di keluarga. Seperti trah Soekarno misalnya. Dari anak, menantu, cucu, keponakan sudah merasakan bagaimana dinasti politik terjadi.

Ada juga trah Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan terbaru Presiden Jokowi. Diketahui putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mendapat tiket emas dari PDIP dalam pemilihan calon walikota Solo.

Penetapan Gibran sebagai calon walikota Solo tidaklah terlalu mengejutkan. Usahanya maju ke pilkada Solo berbuah manis. Hal ini tidak lepas dari kuatnya nama besar ayahnya. Kader-kader PDIP yang mungkin sudah melalui proses pengkaderan yang berlangsung lama nyatanya tak menjamin masuk dalam daftar pencalonan kepala daerah.

Nama Gibran terbilang baru di dunia politik. Ia tenar sebagai anak presiden dan pengusaha makanan. Bukan sebagai politisi. Tak ayal, pencalonan Gibran dianggap bernilai politis.

Politik dinasti menjadi politik yang menjalar di kalangan pejabat negara. Demokrasi sendiri memberi ruang praktik politik dinasti. Kita masih mengingat bagaimana dinasti politik di Banten. Trah Ratu Atut kala itu hampir menguasai jabatan sentral di Banten. Dari suami, istri, anak, menantu, dan adik.

Trah Jokowi rupanya juga mencoba mempraktikkan politik dinasti. Anak dan menantunya unjuk kebolehan di kompetisi calon walikota Solo dan Medan.

Selain Solo, Tangerang Selatan juga menjadi ajang pertarungan dinasti politik. Ada tiga pasangan calon yang juga berlatar keluarga pejabat. Ada Siti Nur Azizah, putri Wakil Presiden Maruf Amin yang mencalonkan diri sebagai calon walikota Tangsel. Diusung Partai Demokrat dan PKS.

Keponakan Prabowo, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menjadi calon wakil walikota yang diusung PDIP-Gerindra. Ada pula putra Bupati Serang, Pilar Saga yang diusung Golkar-PPP menjadi calon wakil walikota.

Melihat fenomena ini, politik dinasti bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor aji mumpung. Menurut KBBI, aji mumpung adalah pemanfaatan situasi dan kondisi untuk kepenting diri sendiri selagi memegang jabatan yang memungkinkan adanya peluang untuk hal itu.

Tampaknya itulah yang sedang dilakukan Gibran, Bobby Nasution, Siti Nur Azizah, Rahayu Saraswati, dan Pilar Saga yang sangat percaya diri terjun dalam kontestasi pilkada daerah. Nama besar keluarga tentu menjadi poin plus untuk mereka. Tak perlu bersusah payah kenalkan diri. Mereka sudah dikenal lantaran menyandang nama besar keluarga.

Kondisi inilah yang disebut dengan aji mumpung. Selagi kuat berkuasa, sekalian memperkokoh kekuatan untuk mengambil kesempatan sebagai penguasa baru di daerah. Modal ada, pengaruh politik punya, dan dukungan parpol sudah dikantonginya.

Salahkah? Politik aji mumpung tidaklah salah kalau dilihat dari kacamata demokrasi. Karena demokrasi sendiri memang memberi kebebasan menerapkan hal itu. Sah-sah saja latar belakang apapun mencalonkan diri jadi pemimpin.

Kedua, kekuasaan oligarki. Dalam demokrasi, oligarki itu sebuah keniscayaan. Meski tidak semua demikian. Faktanya, mayoritas negara yang terapkan demokrasi sangat kental dengan kekuasaan oligarki. Sebab, dalam kamus demokrasi, dukungan pada seseorang itu tak gratis. Selalu ada motif dan kepentingan tertentu.

Inilah yang meniscayakan bagi para pendatang baru di dunia politik memanfaatkan hal itu. Kekuatan lobi dan sosok kuat di balik dirinya adalah nilai lebih. Faktor kedekatan dengan sosok berpengaruh menjadi modal vital bagi kontestan kepala daerah. Bagi yang minim dukungan dan tak punya sosok berpengaruh akan sulit maju dan memenangi kompetisi.

Ketiga, politik pragmatis. Idealisme partai politik kadangkala kalah oleh pragmatisme politik dan kekuasaan. Paramater pemilihan calon kepala daerah seringkali ditentukan lantaran pengaruh kekuasaan dan otoritas petinggi parpol. Bukan karena kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki.

Hal ini bisa kita lihat dari praktik pragmatisme politik dari fenomena artis yang masuk bursa pencalonan anggota DPR, walikota, bahkan gubernur. Pada akhirnya, pemilihan calon pemimpin yang diusung partai tidak mengutamakan kapabilitas, kompetensi, dan integritas yang dimiliki. Biasanya berbekal populer, tenar, status sosial, utamanya modal besar. Sebab, ongkos demokrasi itu mahal. Tak punya uang, meski memiliki kemampuan, ya wassalam.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa oligarki kekuasaan memicu dinasti politik. Politik dinasti menghantarkan pada politik pragmatis. Ketika pragmatisme politik menjangkiti partai politik, tujuan partai tak lagi murni. Semua hanya tentang kekuasaan, kemenangan, dan kekuatan. Bagaimana agar parpol kuat bertahan di tengah pertarungan sengit antar parpol. Kaderisasi pun bagai tong kosong. Tak berarti dan miskin visi dan misi.

Padahal tujuan partai politik adalah mencerdaskan masyarakat dengan politik yang jujur, santun, menuntun, dan membangun. Yakni menbangun kepribadian sebagai politisi yang amanah dan bertanggung jawab. Tanpa terganggu intervensi dan kepentingan tertentu.

Fungsi parpol telah bergeser. Parpol seakan menjadi lumbung suara saat pemilu dan wadah menampung ambisi kekuasaan. Pada akhirnya, parpol terjebak dalam arus pragmatis.

Harus diakui pendidikan politik demokrasi mengantarkan partai pada ambisi kekuasaan. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat kontestasi pemilu. Setelah menang, bagai kacang lupa kulitnya. Janji tinggallah janji. Rakyat seperti dimanfaatkan hanya untuk kepuasan meraih kekuasaan. Setelah naik jabatan, rakyat pun dilupakan.

Ini yang seharusnya menjadi PR besar bagi parpol hari ini. Ajari rakyat politik yang benar. Bukan sekadar bagi-bagi sembako atau pencitraan  untuk menarik suara mereka. Cara semacam ini secara tidak langsung mengajari rakyat bersikap pragmatis.

Tunjukkan fungsi parpol sesungguhnya. Yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang lurus. Politik yang bermakna mengurus urusan rakyat. Mengoreksi kebijakan penguasa. Itulah cara berpolitik yang diajarkan dalam Islam. Dalam Islam direalisasikan dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar.

Hanya saja, tak banyak petinggi maupun kader parpol yang melihat politik dengan kacamata Islam. Mereka selalu memandang politik dengan kacamata demokrasi. Alhasil, sosok-sosok politisi panutan makin langka di tengah pusaran sistem demokrasi kapitalis yang penuh intrik dan gimmick.

(Pemerhati Politik Islam; Anggota Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Share Artikel: