CARA KELIRU MENANGANI FPI
[Editorial Majalah TEMPO]
Cara Keliru Menangani FPI
Presiden Joko Widodo harus membentuk tim pencari fakta independen untuk memeriksa insiden pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam pada Senin dinihari, 7 Desember lalu. Menyerahkan penyelidikan kasus ini kepada Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia sama saja dengan menegakkan benang basah. Sulit berharap polisi bisa bersikap obyektif ketika memeriksa sesamanya.
Dugaan ada pelanggaran hukum dalam kasus penembakan laskar FPI ini cukup beralasan. Sejauh ini, penjelasan dan bukti yang disodorkan Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Fadil Imran banyak bolong di sana-sini.
Pertama, dalih Fadil bahwa penembakan para pengawal pentolan FPI, Rizieq Syihab, ini dilakukan sebagai upaya membela diri tak didukung cukup bukti. Entah kebetulan entah tidak, kamera pengawas (CCTV) di lokasi kejadian, yakni dekat kilometer 50 jalan tol Jakarta-Cikampek, ternyata rusak. Akibatnya, klaim bahwa laskar FPI menembak lebih dulu dengan dua pucuk pistol revolver kaliber 9 milimeter sulit diverifikasi. Apalagi asal muasal pistol ini pun tampak meragukan.
Kedua, foto-foto jenazah korban menunjukkan peluru menyasar titik-titik mematikan di tubuh manusia. Pada keenam jenazah anggota laskar FPI ada lubang bekas tembakan di dada sebelah kiri, dekat jantung. Baku tembak dari mobil yang melaju kencang sulit menghasilkan luka tembak yang demikian presisi dan seragam.
Adalah kewajiban pemerintah mengusut tuntas dugaan pembunuhan ekstrayudisial dalam kasus ini. Polisi adalah aparat penegak hukum, bukan koboi yang bisa beraksi di atas hukum. Jika benar terjadi, aksi main hakim sendiri semacam ini tak boleh dibiarkan. Kali ini korbannya kelompok seperti FPI, tapi siapa yang menjamin aksi serupa tak dilakukan polisi kepada warga negara lain di kemudian hari?
Supremasi hukum atau rule of law adalah prinsip utama dalam negara demokrasi. Semua orang, termasuk polisi, harus sama kedudukannya di depan hukum. Kepala Polri Jenderal Idham Azis harus bersedia bekerja sama dengan tim pencari fakta independen atau lembaga negara seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang tengah mengusut kasus ini.
Dukungan sebagian kalangan terhadap aksi penembakan laskar FPI ini sungguh tidak pada tempatnya. Menyebut aksi-aksi intoleran FPI sebagai dalih pembenar untuk dugaan pembunuhan ini juga sesat pikir. Berbagai pelanggaran yang dilakukan FPI tentu harus dihadapi dengan penegakan hukum yang tegas, bukan aksi balas dendam yang justru melanggar hukum itu sendiri.
Karena itu, jika Rizieq Syihab diduga melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan, polisi wajib menetapkannya sebagai tersangka dan menghadapkannya ke pengadilan. Aksi polisi memata-matai dan menguntit pergerakan Rizieq terasa berlebihan.
Tak hanya memeriksa kasus penembakan, tim pencari fakta independen juga perlu memeriksa dugaan keterlibatan anggota Badan Intelijen Negara (BIN). FPI menuding ada awak BIN yang aktif mengawasi gerakan mereka dan ikut menyergap kelompok pengawal Rizieq Syihab. Dugaan ini penting untuk diperiksa agar indikasi pelanggaran kewenangan badan intelijen bisa dijatuhi sanksi yang setimpal.
Terlepas dari hasil pemeriksaan nanti, aksi penembakan laskar FPI hingga tewas ini patut disesalkan. Kelancungan aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan eksesif bisa jadi dipicu oleh buruknya komunikasi politik dari Istana. Setelah dinilai membiarkan puluhan ribu orang menyambut kepulangan Rizieq Syihab di Bandar Udara Soekarno-Hatta pada awal November lalu, polisi memang kabarnya ditegur Presiden Joko Widodo. Ditambah insiden kerumunan massa yang melanggar protokol kesehatan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad di markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Tak lama kemudian, dua kepala polda dicopot dari jabatannya.
Seusai serangkaian peristiwa itu, publik terbelah. Sebagian khalayak mendukung tindakan keras terhadap FPI, yang lain menilai pemerintah tak perlu berlebihan. Dalam situasi seperti ini, Presiden Joko Widodo seharusnya memberikan instruksi politik yang jernih dan jelas bahwa penegakan hukum harus menjadi panglima. Ruang interpretasi yang keliru atas situasi yang panas harus ditutup rapat-rapat. Jika tidak, para penggawa di lapangan bisa menafsirkan sendiri-sendiri kemauan politik penguasa.
Suka atau tidak, FPI sudah menjadi bagian dari realitas politik negeri ini. Ada jutaan pemeluk Islam yang merasa aspirasinya terwakili oleh suara-suara radikal kelompok semacam ini. Memberangus mereka dengan aksi ekstrayudisial seperti yang terjadi selama Orde Baru terbukti tak menyelesaikan masalah. Pemerintah tak boleh mengulangi kesalahan yang sama.[]
*Sumber: Majalah TEMPO