Hasil Kajian: Pasal 160 KUHP Untuk Habib Rizieq, Tidak Bisa Diterapkan
Pasal 160 KUHP Untuk Habib
Memenjarakan tokoh dan ulama yang dianggap berseberangan dengan politik pemerintah yang sedang berkuasa, bukanlah hal baru. Pemerintah pasca kemerdekaan telah memenjarakan Syahrir, Natsir juga Buya Hamka. Demikian pula pemerintahan setelahnya, jika kita telisik ada saja tokoh yang dipenjarakan meski tak jelas apa kesalahannya.
Mengenai alasan memenjarakannya bisa apa saja, ada seribu satu cara. Baik yang logis ataupun tidak logis. Bagi penguasa politik yang penting kebebasan seseorang yang dianggap mengganggu pemerintahannya terbatasi sehingga gerak politiknya tak leluasa. Namun mereka lupa, bahwa kekebasan pikiran tak akan pernah bisa dipenjarakan.
Kali ini Habib yang dipenjarakan dengan alasan melanggar Pasal 93 UU Karantina Kesehatan Juncto Pasal 160 dan pasal 216 KUHP tentang penghasutan dan melawan petugas.
Habib bukan orang pertama yang dipaksa dipenjara oleh aparat pemerintah, sebelumnya ada Jenderal K, dan tokoh-tokoh lainnya seperti bang JH, bang SN dan pendakwah ibu K. Jadi, menanggapi kasus penahanan Habib ini biasa sajalah, bukan masalah hukum semata. Habib juga menyadari bahwa penjara adalah resiko perjuangan.
Nah, saya akan mengulas sedikit tentang pasal 160 KUHP tentang penghasutan yang dikenakan kepada Habib.
Pasal 160 KUHP berbunyi:
"Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Pasal 216 ayat (1) KUHP berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah."
Sebenarnya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil.
Apa artinya?
Artinya tuduhan menghasut sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 160 KUHP (delik formil) belum dapat diterapkan kepada seseorang yang diduga menghasut apabila belum ada bukti perbuatan pidana yang dibuktikan dengan putusan pengadilan yang dilakukan oleh orang yang dihasutnya (delik materiil).
Pasal 160 KUHP perlu pembuktian pendahuluan yakni: (a) apa perbuatan pidana yang dihasutkan oleh Habib pada seseorang, (b) apakah seseorang tersebut sudah melakukan perbuatan pidana yang dihasutkan oleh habib.
Mengenai pasal 216 KUHP tentang melawan petugas ini pun absurd. Multi tafsir. Sebagai contoh, saya pernah dirazia oleh satpol PP DKI Jakarta karena saya menyetir mobil sendirian tak pakai masker. Lalu saya minta penjelasan perihal aturan hukumnya dan dasar filosofi kenapa ada aturan yang mewajibkan seseorang memakai masker meski sendirian dalam mobil. Bukankah banyak ahli kesehatan dan dokter yang berpendapat bahwa tak perlu pakai masker jika berkendara sendirian dalam mobil?
Walhasil, petugas satpol PP tersebut dengan keras membentak saya, "Saudara saya kenakan pasal 216 karena melawan petugas!"
Lalu kepada petugas tersebut saya bisikkan, "Mas belajar hukum yang bener, nanti malu didengar orang".
Salam sehat
Slamet (Advokat)