Tragedi KPPS Pemilu 2019, Akankah Terulang di Pilkada 2020?

Tragedi KPPS Pemilu 2019, Akankah Terulang di Pilkada 2020?

Oleh : Andri Saubani
*

Seorang warganet menulis di dinding Facebook-nya dan kemudian viral seperti ini:

"PASIEN COVID-19 DIJENGUK SODARA TIDAK BOLEH, TAPI KALU PETUGAS BAWA KOTAK-SUARA, BOLEH"

JANE SING EDAN SOPO? (Sebenarnya yang gila siapa?)

Ungkapan warganet di atas menjadi satu dari banyak opini publik terhadap paradoks pelaksanaan Pilkada 2020 pada 9 Desember di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah tetap tancap gas untuk menggelar pilkada dengan dalih penerapan protokol kesehatan secara ketat, meski ditentang banyak pihak, termasuk dari ahli epidemiologi hingga tenaga medis.

Dan salah satu yang ‘gila’ seperti kata warganet di atas adalah upaya KPU untuk tetap mengakomodir pemilih yang tengah dirawat akibat terpapar Covid-19. Lewat PKPU Nomor 6 Tahun 2020, diatur bahwa, pemilih yang sedang menjalani rawat inap, isolasi mandiri, atau positif Covid-19 tetap dapat menggunakan hak pilihnya.

KPU bahkan memfasilitasi pencoblosan di RS, di mana dua petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) didampingi dua saksi dengan alat pelindung diri (APD) lengkap akan mendatangi pasien agar bisa mencoblos. Sebagai upaya sosialisasi jelang hari-H pencoblosan, pada Senin (2/12), akun resmi KPU di Twitter menguggah karikatur yang mengilustrasikan pencoblosan pasien rawat inap Covid-19, yang kemudian viral.

Sebagian warganet yang menyambar cuitan KPU itu adalah dokter yang menyayangkan langkah KPU tersebut. Meski petugas KPPS dan saksi yang mendatangi pasien Covid-19 dilengkapi dengan APD, bisa dibayangkan betapa tingginya risiko mereka saat bertugas. Sebagian dokter bahkan sangsi semua petugas KPPS akan bisa memakai APD dengan benar,karena APD lengkap diakui oleh tenaga medis memiliki prosedur penggunaan yang lumayan rumit.

Jika pada Pemilu 2019 ratusan petugas KPPS meninggal akibat kelelahan, bisa jadi pada Pilkada 2020 ini, banyak petugas KPPS yang akan jadi korban terpapar virus corona. Bahkan, saat ini pun sudah banyak daerah yang melaporkan banyaknya hasil reaktif dari rapid test  para petugas KPPS.

Hasil dari tes cepat KPU Kabupaten Bandung bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung misalnya, menemukan sekitar 1.500 anggota KPPS yang reaktif Covid-19. Hasil tersebut diperoleh dari 61.866  tes selama satu pekan pada 26 November sampai 2 Desember 2020.

Bawaslu Kabupaten Bandung turut mengungkapkan ada 39 orang pengawas TPS terjangkit Covid-19. Berbeda dari KPU yang tidak mengganti anggota KPPS, Bawaslu mengganti pengawas TPS dan melakukan tes cepat pada pengawas cadangan.

Hasil reaktif petugas KPPS juga ditemukan di Kota Padang. Pada 30 November 2020, sudah 13.600 petugas KPPS yang melakukan tes cepat. Hasilnya 469 di antaranya reaktif. Di Padang, terdapat 17.487 petugas KPPS yang akan berpartisipasi pada penyelenggaraan Pilkada serentak. Mereka bertugas di 1.943 TPS.

Sebanyak 1.163 calon petugas KPPS Balikpapan dinyatakan reaktif pula hasil tes cepatnya. Di Bandar Lampung, tes cepat yang digelar KPU Lampung sejak sejak tanggal 26 November hingga 4 Desember mendatang menemukan 1.080 petugas reaktif.

Untuk diketahui, setiap TPS membutuhkan tujuh orang petugas KPPS dan dua orang petugas ketertiban. Jika dikalikan dengan jumlah TPS di 270 daerah yang menggelar pilkada sebanyak 298.938, petugas TPS Pilkada 2020 lebih dari 2,6 juta orang. Bisa dibayangkan besarnya potensi klaster Covid-19 hanya dari kelompok petugas KPPS.

Hasil reaktif dari rapid test memang belum tentu positif Covid-19. Tapi, yang paling mengerikan dari pandemi ini adalah bagaimana sangat cepatnya virus corona menular dan menciptakan klaster bahkan hanya dari satu orang yang positif.  Jika tenaga medis di RS yang sudah sangat ketat menerapkan protokol kesehatan masih bisa terpapar Covid-19, bagaimana kemudian nasib petugas KPPS yang bakal mengunjungi langsung pasien Covid-19 agar bisa mencoblos?

Apalagi, Bawaslu pada Ahad (6/12), mengungkapkan bahwa  ada 62 kabupaten/kota yang menggelar Pilkada 2020 berada dalam status rawan tinggi Covid-19. Di tingkat provinsi, terdapat  sembilan provinsi yang menggelar pemilihan gubernur (Pilgub) 2020 juga berstatus rawan tinggi penularan Covid-19.

Menurut Bawaslu, jumlah daerah dengan kategori rawan tinggi disebabkan kondisi penularan Covid-19 yang tak kunjung melandai. Status rawan Covid-19 sendiri berdasarkan tiga aspek, yaitu penyelenggara pemilih, peserta pemilihan, dan kondisi daerah. Banyak daerah, menurut Bawaslu, masih rendah kepatuhannya terhadap penerapan protokol kesehatan.

Rendahnya disiplin masyarakat terhadap protokol kesehatan pada awal pekan lalu tercermin dari kekecewaan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito. Saat konferensi pers virtual pada Selasa (1/12), Wiku mengungkapkan bahwa zona merah di Indonesia bertambah hampir dua kali lipat, sementara jumlah zona hijau menipis.

Menurut data Satgas, terjadi peningkatan kasus positif sebesar 19,8 persen pada 22-29 November 2020, yaitu dari 30.555 kasus pada 15-22 November 2020 menjadi 36.600 pada 22-29 November 2020. Hal itu mengakibatkan ada 50 kabupaten/kota berada di zona merah dibanding pekan lalu 28 kabupaten/kota.

Angka kematian pada 22-29 November 2020 juga mengalami kenaikan sebesar 35,6 persen atau dari 626 menjadi 835 kematian dalam satu minggu. Jawa Tengah menjadi provinsi dengan angka kematian tertinggi dalam waktu satu minggu dari 82 menjadi 196 kematian, disusul Jawa Timur dari 134 menjadi 224 kematian, Banten dari 0 menjadi 17 kematian, Kalimantan Timur dari dua menjadi 18 kematian dan Kepulauan Riau naik dari tiga menjadi 15 kematian. Diketahui, daerah-daerah yang yang disebut oleh Wiku akan menggelar pilkada pada 9 Desember.

Selang dua hari setelah mengumumkan peningkatan zona merah Covid-19, Wiku kembali menggelar konferensi pers yang mana kali ini menyoroti pelaksanaan Pilkada. Seperti berharap-harap cemas menyongsong 9 Desember, Wiku mengingatkan masyakarat tetap menggunakan suaranya tapi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan saat mencoblos.

 “Jangan sampai pilkada ini berkontribusi terhadap peningkatan kasus atau menjadi klaster baru penularan,” kata Wiku, mengingatkan.

Ya, jangan sampai Pak.

*penulis adalah jurnalis Republika. (ROL)

Share Artikel: