Asyari Usman: Hancur-Lebur, Ketua Komnas HAM Menjadi Jurubicara Polisi
Hancur-Lebur, Ketua Komnas HAM Menjadi Jurubicara Polisi
By Asyari Usman
Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM, mengatakan di satu diskusi ‘online’, 17/1/2021, bahwa laskar Front ketawa-ketawa ketika terlibat bentrok dengan aparat kepolisian pada 7 Desember 2020. Lebih sinis lagi, Taufan menilai para pengawal HRS itu “menikmati pergulatan”.
Ini betul-betul hancur-lebur. Posisi ketua Komnas HAM berubah menjadi jurubicara polisi. Pernyataan seperti ini seharusnya diucapkan Irjen Argo Yuwono atau jubir-jubir Polri lainnya.
Taufan Damanik menyimpulkan begitu berdasarkan rekaman suara (voice note) percakapan di antara para pengawal HRS yang dia dengar. Mungkin pernah Anda dengar juga. Waktu itu viral di medsos. Ada bagian-bagian dari ‘voice note’ percakapan tsb yang sesekali terdengar ketawa. Tetapi, Taufan tidak meletakkan suara ketawa itu dalam konteks yang utuh.
Pertama, para pengawal HRS tidak tahu siapa penguntit yang sedang mereka hadapi. Sebelum konprensi pers Kapolda Metro (7/12/2020) siang yang mengakui aparat kepolisian membunuh 6 pemuda Front, pihak Front tidak menyadari bahwa para penguntit itu adalah polisi. Artinya, pada saat terjadi kejar-kejaran itu pihak Front beranggapan mereka tidak sedang berhadapan dengan polisi. Mereka menyebutnya OTK (orang tak dikenal).
Dalam konteks ini, Taufan Damanik salah total. Dia mengatakan, “ada anggota laskar Front Pembela Islam yang tertawa-tawa saat terlibat bentrok dengan anggota Polda Metro Jaya pada 7 Desember 2020.”
Taufan lupa bahwa para anggota Front itu tidak tahu kalau para penguntit adalah aparat kepolisian. Para penguntit yang menggunakan beberapa mobil biasa (unmarked police car) itu tidak pernah menyebutkan identitas mereka.
Ketua Komnas HAM tidak bisa mengatakan, “…ketawa-ketawa ketika terlibat bentrok dengan aparat kepolisian...” Karena, kembali lagi, rombongan OTK itu masih berstatus “bukan aparat kepolisian”. Saat itu, anak-anak muda Front tsb sedang ada masalah dengan OTK. Bisa jadi mereka menduga para penguntit adalah preman-preman yang berniat melakukan kejahatan.
Kedua, Taufan Damanik juga mengatakan ada keterangan yang menunjukkan bahwa para pengawal HRS ingin berhadapan dengan pihak yang membuntuti. Tentang ini, tak perlulah analisis para ahli. Anak-anak muda yang menduga para penguntit mereka adalah “para penjahat”, pastilah mereka ingin menghadapi para penguntit OTK itu. Sesuatu yang wajar dalam insiden kejar-mengejar di jalan raya (c.q. jalan tol) seperti yang terjadi tengah malam itu.
Dalam kesimpulan penyelidikan Komnas HAM, kesan “ingin menghadapi OTK” itu menjadi salah satu yang ditekankan. Di dokumen resmi Komnas HAM disebutkan “menunggu mobil petugas” di satu rest area. Di sini, Komnas HAM lebih berat menyalahkan anak-anak Front itu. Bukannya menyalahkan aparat kepolisian yang jelas-jelas telah menembak mati anak-anak muda itu.
Ketua Komnas HAM sangat subjektif. Berat sebelah. Lebih berpihak kepada para penguasa ketimbang kepada rakyat.
Taufan Damanik harus mencabut ucapannya tentang “anak-anak Front ketawa-ketawa ketika menghadapi aparat”. Anda itu digaji oleh rakyat bukan untuk menjadi jurubicara polisi.
19 Januari 2021
(Penulis wartawan senior)