Komnas HAM Bagi Dua Kronologi Penembakan Anggota FPI
JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berencana membagi kronologi peristiwa penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pada 7 Desember lalu menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah peristiwa sebelum Kilometer 50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Lalu bagian kedua adalah insiden setelah KM 50.
Anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan tujuan pembagian kronologi itu adalah memudahkan lembaganya menganalisis rentetan peristiwa tersebut. Rentetan peristiwa ini akan dimulai dari sebab-sebab polisi mengintai rombongan pendiri FPI, Muhammad Rizieq Syihab, hingga terjadinya penembakan.
"Kesimpulan investigasi ini akan kami sampaikan saat pengumuman," kata Beka, kemarin (7/1). Ia mengatakan hasil investigasi lembaganya ini akan diumumkan pekan depan.
Kronologi peristiwa ini berawal ketika Rizieq Syihab dan rombongan meninggalkan perumahan The Nature Mutiara, Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 6 Desember malam lalu. Mereka menggunakan delapan mobil. Rombongan Rizieq ini menuju jalan tol Jagorawi mengarah ke Jakarta. Mereka lantas memutar balik hingga keluar di gerbang tol Karawang Timur, Karawang. Sekitar dua atau tiga mobil polisi menguntit rombongan Rizieq dari perumahan The Nature Mutiara.
Di tengah perjalanan, enam mobil rombongan Rizieq bisa menjauh dari penguntit. Sedangkan dua mobil lainnya, yang berisi pengawal Rizieq, menghalau mobil penguntit. Kedua mobil itu adalah Chevrolet Spin dan Toyota Avanza. Mereka menghalau sejak keluar gerbang tol Karawang Timur. Dari berbagai keterangan yang diperoleh Tempo, kedua mobil yang digunakan anggota FPI itu sempat saling salip dan adu seruduk dengan mobil polisi setelah melintas di jalan tol Karawang Timur.
Kejadian itu berlanjut dengan saling tembak di antara mereka setelah bundaran Swiss Bellinn, Karawang, dan sekitar bundaran Hotel Novotel hingga ke gerbang tol Karawang Barat. Mobil Chevrolet yang berisi enam anggota FPI terhenti di sekitar KM 50. Sedangkan mobil Avanza berhasil lolos dan berhenti di KM 57.
Sesuai dengan keterangan saksi dan rekonstruksi polisi, saat itu empat anggota FPI masih hidup. Dua orang lainnya sudah meninggal. Lalu, keempat orang itu dipindahkan ke mobil Daihatsu Xenia milik polisi. Mereka berada di dalam mobil dengan dijaga tiga polisi lainnya. Keempatnya dalam kondisi tidak diborgol. Setelah mobil bergerak meninggalkan KM 50, keempat anggota FPI ini ditembak hingga tewas. Polisi mengklaim keempatnya terpaksa ditembak karena berusaha melawan petugas.
Beka Ulung Hapsari mengatakan lembaganya sudah menggali informasi dari saksi-saksi soal peristiwa di dalam mobil Xenia atau setelah KM 50 tersebut. Namun, kata Beka, Komnas HAM kesulitan menggalinya lebih dalam karena keterangan peristiwa di dalam mobil hanya berasal dari satu pihak, yaitu polisi.
Ia mengatakan tim lembaganya juga sempat meminta keterangan saksi-saksi di rest area KM 50. Komnas HAM pun sudah memeriksa kondisi mobil Xenia itu beberapa hari setelah kejadian. Saat itu, Komnas HAM menemukan banyak lubang yang diduga berasal dari peluru senjata api serta sejumlah bercak darah yang sudah mengering di dalam mobil.
"Kami juga mencari petunjuk dari barang bukti lainnya seputar penembakan itu,” kata Beka. "Memang terbatas, tapi kami mendapatkan informasi berbeda dari polisi maupun FPI."
Sumber Tempo yang mengetahui penyelidikan ini mengatakan Komnas HAM mungkin menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran dalam insiden penembakan di dalam mobil Xenia itu. Kesimpulan tersebut akan dikuatkan karena keempatnya sudah menyerah dan telah berada di bawah kewenangan polisi. "Polisi diduga abai menanganinya sesuai protap," katanya.
Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri, Brigadir Jenderal Andi Rian, enggan mengomentari penyelidikan Komnas HAM ini. Ia mengklaim lembaganya telah merekonstruksi penembakan secara terbuka di tempat kejadian perkara. Mereka juga sudah memeriksa puluhan saksi serta melakukan penyelidikan berbasis fakta-fakta saintifik. "Semua kami gunakan," katanya.
Adapun Sekretaris Bantuan Hukum Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam, Aziz Yanuar, berharap Komnas HAM dapat menyimpulkan penembakan tersebut sebagai pelanggaran HAM. "Kami berharap komisionernya konsisten dan berani dalam penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM berat keenam syuhada pengawal habib Rizieq Syihab," kata Aziz.
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, meminta Komnas HAM menganalisis lebih jernih seputar penembakan oleh polisi yang menewaskan enam pengawal Rizieq tersebut. Nelson menganggap, sejauh ini, polisi tidak memberi penjelasan yang masuk akal terkait dengan rentetan peristiwa tersebut.
Kejanggalan pertama, kata Nelson, adalah polisi menempatkan keempat anggota FPI itu ke dalam mobil Xenia tanpa diborgol. Padahal, sesuai dengan rekonstruksi polisi, tindakan itu ditempuh setelah tim Kepolisian Daerah Metro Jaya beradu tembak dengan pengawal Rizieq sebelum memasuki gerbang tol Karawang Barat.
Lalu, kejanggalan kedua, ketika polisi mengklaim bahwa tim kepolisian yang mengamankan keempat anggota FPI itu tidak dilengkapi dengan borgol. Sebab, mereka hanya tim pengintai, bukan tim untuk menangkap. "Ini soal teknis saja. Polisi seharusnya bisa mencari tali atau alat lain untuk membatasi pergerakan mereka," kata Nelson.
Ia juga mempertanyakan alasan penembakan keempat anggota FPI tersebut. Menurut Nelson, polisi mengklaim tindakan itu dilakukan karena keempatnya berusaha melawan dan merebut pistol polisi. Dengan demikian, polisi membela diri dengan menembak mereka. “Sulit memverifikasi kebenaran informasi ini,” katanya.
Nelson mengingatkan bahwa penggunaan senjata api oleh polisi harus sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 supaya tidak melanggar HAM. Lalu, polisi yang sudah menembakkan senjatanya wajib mengisi formulir berisi jumlah peluru yang ditembakkan, alasan penembakan, serta kondisi korban. "Jadi, harus benar-benar dicek oleh Komnas HAM sejauh mana kebenaran informasi ini," ujar Nelson.
(Selengkapnya: Koran TEMPO, Jumat 8/1/2021)