Madam Bansos, Anak Pak Lurah, Dan Monyet Koruptor
SETELAH anak Pak Lurah sekarang muncul tokoh baru yang disebut "Madam" dalam rentetan korupsi bantuan sosial yang mengalir sampai jauh.
Dua tokoh itu sama-sama misterius karena tidak diungkap identitasnya dengan jelas. Tokoh Pak Lurah kemudian diasosiasikan kepada Jokowi, dan anak Pak Lurah langsung dikaitkan dengan anak-anak Jokowi.
Tentu saja menjadi pertanyaan anak Jokowi yang mana, karena anak Jokowi bukan cuma satu. Maka yang ketiban abu panas adalah Gibran Rakabuming Raka, anak mbarep Jokowi yang baru saja mulus menang di pilwali Solo melawan calon dagelan.
Si Anak Pak Lurah ini disebut-sebut memberi rekom bagi perusahaan tertentu di Solo supaya dapat proyek dari Kemensos. Anak Pak Lurah sudah membantah tudingan ini, dan sampai sekarang belum ada perkembangan baru.
Beberapa hari belakangan ini muncul tokoh baru yang diidentifikasikan sebagai Madam.
Jatidirinya misterius. Tidak ada inisial yang disebut. Tidak juga disebutkan apakah Madam itu anak Pak Lurah atau bukan, karena anak Pak Lurah juga ada yang perempuan, Kahiyang Ayu yang sekarang menjadi Madam Walikota Medan.
Sebutan Madam sangat mungkin berkaitan dengan tokoh perempuan karena madam adalah istilah Inggris "Madame" yang merujuk pada gelar aristokrasi bangsawan tinggi. Jadi sangat mungkin tokoh Madam bukan Pak Lurah tapi Bu Lurah.
Sang Madam ini dikait-kaitkan dengan petinggi partai politik tertentu. Tidak jelas apakah yang dimaksud petinggi partai ini adalah petinggi yang tertinggi atau petinggi tapi bukan tertinggi. Kalau yang dimaksud petinggi partai adalah orang tertinggi dalam hirarki partai apakah yang dimaksud adalah ketua umum partai atau lainnya.
Harap maklum, di negeri +62 ini ada ketua umum parpol dan ada juga owner parpol, dua-duanya sama-sama petinggi, tapi owner jauh lebih powerful dibanding ketua partai meskipun tidak punya jabatan resmi. Jangan keliru, owner bukan sebutan untuk pemilik partai, tapi lebih kepada bandar, bohir, atau cukong yang membiayai partai.
Maklumlah di negeri ini ada ketua partai yang didapuk sebagai pajangan saja dan kekuasaan yang sebenarnya ada di bohir yang mendanai partai.
Madam ketua parpol tidak banyak di Indonesia hanya satu gelintir atau dua gelintir saja. Dan dalam kasus korupsi bansos ini Sang Madam dikait-kaitkan dengan Partai PDIP karena menteri yang dicokok KPK berasal dari partai itu proyek triliunan rupiah disebut-sebut mengalir ke orang-orang yang berkaitan dengan partai itu.
Beda dengan Pak Lurah yang langsung mengarah pada figur tertentu, Sang Madam masih misterius. Mungkin saja Sang Madam ini adalah Bu Lurah yang menjadi lurah di parpol, atau mungkin juga Anak Bu Lurah yang juga punya jabatan petinggi di parpol itu.
Semakin besar skala korupsi semakin rumit jaringannya dan semakin canggih operasionalisasinya. Setelah terbongkar publik bisa terkaget-kaget betapa tidak bermoralnya praktik korupsi ini. Dalam kasus korupsi bansos ini terlihat bahwa para koruptor itu levelnya sudah seperti Jin Ifrit yang lebih jahat dari Iblis.
Katanya ada wacana agar pelaku korupsi bansos dihukum mati. Tapi publik paling cuma ketawa-ketawa saja karena sudah hafal di luar rambut soal sandiwara hukum di negeri ini. Di China koruptor dipotong lehernya, di Arab Saudi koruptor dipotong tangannya, di Indonesia koruptor dipotong masa tahanannya.
Di tengah musim pandemi rakyat diminta melakukan 3 M, tapi di tengah pandemi sang menteri malah dapat 7 M.
Korupsi-korupsi gigantik selalu melahirkan tokoh-tokoh yang misterius yang tidak boleh disentuh karena mereka memang orang-orang yang tidak tersentuh, The Untouchables. Jangankan disentuh, disebut nama pun tidak boleh. Dia hanya boleh disebut the supremo, the boss, pak ketua, atau pak lurah. Bahkan, dalam dunia mafia tertinggi tidak boleh ada sebutan apapun bagi orang tertinggi itu saking sakral dan misteriusnya. Ketika ingin menyebutnya cukup dengan menyebut "beliau" sambil tangan kita membuat isyarat tertentu misalnya menyentuh ujung telinga kiri.
Itulah kode-kode khusus para mafioso kelas atas yang canggih. Komunikasi di kalangan mereka bersifat isoteris, hanya dipahami oleh kalangan mereka sendiri. Karena itu pernah ada istilah "Apple Washington" untuk menyebut mata uang dolar.
Pada 2012 anggota DPR RI, Angelina Sondakh, divonis 12 tahun penjara setelah banding, ditambah denda Rp 500 juta karena terbukti menerima uang tidak sah.
Salah satu sandi yang dipakai Sondakh adalah "apel Washington" untuk menyebut pembayaran dengan mata uang dolar Amerika.
Sejak itu bermunculan kata-kata sandi yang kemudian banyak dipakai dalam pembicaraan umum dan menjadi kosakata dan diksi baru.
Misalnyan kata "meter" dipakai untuk menyebut "miliar", karena singkatannya sama-sama huruf "M". Sepuluh meter berarti sepuluh miliar.
Lalu ada kata "ton" untuk menyebut "triliun" karena awalannya sama-sama huruf "T". Satu ton berarti satu triliun.
Bahasa dan semiotika korupsi memang selalu rumit dan berbelit. Dr Aceng Abdullah, pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung meneliti semiotika korupsi ini dalam disertasi doktoralnya berjudul "Komunikasi Korupsi: Studi Etnografi Komunikasi Tentang Bahasa yang Digunakan dalam Aktivitas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme" (2013).
Abdullah menemukan adanya bahasa isoterik yang hanya dipakai dan dipahami secara terbatas dan tertutup di kalangan pelaku korupsi.
Abdullah mengidentifikasi sedikitnya 11 istilah yang banyak dipakai untuk mengaburkan korupsi, misalnya uang lelah, uang bensin, dan bahkan shodaqah.
Studi terbaru dari Aspinall dan Berenschot (2019) "Democracy for Sale" juga menyoroti peliknya korupsi klientelisme yang melibatkan anggaran negara, melalui bagi-bagi proyek dari pejabat (patron) dan pengusaha (klien) sebagai imbalan dukungan politik.
Aspniall dan Berenschot menyorot beda peran parpol di Indonesia, di India, dan di Argentina. Di dua negara itu anggota partai beroperasi sampai ke desa-desa untuk menjadi ujung tombak partai dan menjaring apa saja persoalan rakyat untuk disampaikan ke partai. Penguasa partai setempat kemudian mencarikan solusi untuk mengatasi persoalan itu. Mesin partai berjalan secara aktif sepanjang waktu.
Di Indonesia mesin partai hanya berjalan lima tahun sekali saat pemilu atau pilkada, itu pun fungsinya lebih banyak bagi-bagi sembako, sarung, dan amplop politik uang. Praktik vote buying sudah menjadi hal yang jamak di Indonesia dan ujung tombaknya adalah kader partai bersama tim sukses.
Kasus korupsi di Partai Demokrat pada 2012 menunjukkan bahwa jaringan korupsi di lingkungan partai berkait berkelindan satu sama lain dengan rapi dan rahasia. Partai Demokrat ketika itu gencar melakukan kampanye "Say No to Corruption", tapi dalam waktu bersamaan sejumlah pengurus partai yang menjadi bintang iklan itu malah ramai-ramai dicokok KPK dan mendekam di penjara.
Selain "Madam Angelina Sondakh", nama-nama lain yang menghuni penjara adalah Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Nazarudin, bendahara umum Demokrat yang bertugas mengumpulkan uang dengan cara menggarong anggaran dan mencari rente dari proyek-proyek negara
Partai Demokrat relatif cepat dan tuntas menyelesaikan kasus korupsi ini meskipun ketika itu "Anak Pak Lurah" juga disebut-sebut tapi lolos juga.
Kali ini PDIP akan diuji apakah bisa menyelesaikan jaringan korupsi ini secara tuntas dengan berani mengorbankan Anak Pak Lurah atau Sang Madam yang bisa membongkar rantai korupsi yang panjang dan berliku. Jawabannya agak meragukan, karena dalam kasus Harun Masiku saja sampai sekarang pat gulipat masih tetap berlipat dan sulit diungkap.
Kisah tradisional China menyebut biang korupsi ibarat pohon besar. Sekali pohon itu ditebang maka monyet-monyet akan berhamburan. Sang Madam dan Anak Pak Lurah adalah pohon besar itu. Kalau dua-duanya ditebang maka para koruptor kelas monyet pasti akan berhamburan.
Dhimam Abror Djuraid
Wartawan senior, yang juga Wakil Ketua Bidang Komunikasi Politik dan Media DPW PAN Jatim
[rmol]
[rmol]