“Lebih Baik Dipaksa Masuk Surga, Daripada Dengan Ikhlas Masuk Neraka”
“Lebih Baik Dipaksa Masuk Surga, Daripada Dengan Ikhlas Masuk Neraka”
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam sebuah seminar tentang liberalisasi agama di awal tahun 2000, saya menyampaikan bahwa: “Bagi saya, lebih baik saya dipaksa masuk sorga daripada dengan ikhlas masuk neraka.”
Misalnya, jika di komplek perumahan saya, diterapkan peraturan yang mengharuskan berjamaah shalat subuh, saya setuju. Yang tidak berjamaah subuh dan tidak ada udzur syar’iy, maka harus infak, misalnya, Rp 10 ribu. Saya setuju dengan aturan itu, sebab itu bisa mendorong saya untuk melaksanakan kebaikan.
Saya menyadari kelemahan diri saya. Terkadang untuk melakukan kebaikan, perlu dipaksa. Itu bisa dilakukan dengan menerapkan peraturan tertentu. Para santri di pesantren pun banyak yang memerlukan pemaksaan agar mereka menjadi semakin baik. Reward and punishment adalah hal yang wajar dalam dunia Pendidikan.
Pemerintah pun tidak bisa mengharapkan semua rakyat melakukan kebaikan secara sukarela. Untuk memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, dalam rangka mengurangi resiko penyebaran virus Corona, pemerintah juga menggunakan jalan pemaksaan, dengan mengeluarkan berbagai peraturan.
Untuk mendisiplinkan para pengendara motor agar mereka selamat, maka polisi juga menggunaan paksaan dalam pemakaian helm. Para pengendara motor tidak dibenarkan untuk berargumentasi bahwa urusan “kepala” mereka adalah urusan pribadi, bukan urusan publik.
Urusan penggunaan helm bagi pengendara motor, bukan sukarela! Tapi diwajibkan. Suka atau tidak! Sadar atau tidak! Pengendara motor wajib pakai helm! Jenis helm pun ditentukan. Tidak ada multi-tafsir dalam soal helm. Hanya ada satu tafsir yang dipakai dalam soal helm!
Itu baru urusan helm; urusan keselamatan dunia. Bagaimana dengan keselamatan akhirat? Bolehkah pemerintah, misalnya, memaksa rakyatnya untuk melakukan ibadah kepada Allah, agar mereka selamat di akhirat? Misalnya, bolehkah pemerintah melarang perzinahan, melarang perjudian, melarang telanjang di kendaraan umum?
Sebaliknya, bolehkah rakyat berpendapat, bahwa soal hubungan perzinahan adalah urusan privat, negara jangan campur tangan? Bolehkah rakyat berpendapat bahwa urusan perjudian adalah urusan kesepakatan pribadi dan suka sama suka, tanpa ada paksaan? Ternyata, demi kemaslahatan umum, pemerintah Indonesia memilih memberikan paksaan kepada rakyat agar tidak berjudi dan berzina di muka umum.
Jilbab
Menurut ulama internasional Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Di antara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.
Yusuf Qaradhawi menyatakan -- bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan – adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.” (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs. As’ad Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hlm. 431-436).
Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal, berlaku untuk semua wanita, di mana pun dan kapan pun! Al-Qur'an turun untuk semua manusia sampai akhir zaman.
Karena itu, yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, wanita Minang, dan sebagainya. Sejak al-Qur'an diturunkan, hingga kini, bahkan sampai kiamat, bentuk tubuh dan tata letak organ-organ wanita juga tidak berubah!
Perlukah dipaksa?
Kita simak sekali lagi bunyi UUD 1945 pasal 31 ayat (3): “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta dan akhlak mulia, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-undang.”
Kaum muslimin pasti memahami, bahwa orang yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, adalah orang yang menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Melaksanakan shalat lima waktu, menjalankan puasa Ramadhan, membayar zakat, taat kepada orang tua dan guru, dan juga mengenakan jilbab untuk menutup aurat adalah ibadah-ibadah untuk membentuk insan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia – sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi.
Amanah konstitusi itu tentu berlaku untuk semua lembaga pendidikan di Indonesia. Karena amanah itu ditujukan kepada pemerintah, maka yang lebih utama melaksanakannya adalah sekolah-sekolah negeri.
Pertanyaannya, apakah bagi seorang muslimah, mengenakan jilbab untuk menutup aurat, itu satu bentuk ibadah kepada Allah SWT? Di sinilah perlunya pemerintah berkonsultasi dengan para ulama dan pakar Pendidikan dalam mengeluarkan peraturan soal seragam sekolah! Kaum muslimin memiliki ajaran yang jelas tentang aurat dan pakaian.
Kondisi yang khas tiap-tiap daerah pun perlu diperhatikan. Mungkin, suatu aturan tentang pakaian seragam sekolah cocok untuk suatu provinsi, tapi belum tentu cocok untuk provinsi lainnya. Mungkin juga berbeda untuk satu sekolah dengan sekolah lain.
Indonesia adalah negara yang berdasar atas “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Indonesia bukan negara sekuler! Semoga para pemimpin muslim yang sedang diberi amanah kekuasaan bersedia memperhatikan ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa dalam mengeluarkan kebijakan.
Sebab, mereka dan kita semua pasti akan menghadap Allah. Tentu Allah ridho jika para pemimpin kita membuat kebijakan yang mendorong para pelajar kita agar semakin taat kepada Allah SWT, semakin beradab kepada orang tua dan guru, serta menjadi manusia-manusia yang bermanfaat pada sesama!
(6 Februari 2021)