SEDIKIT-SEDIKIT, RADIKAL!

Tanggapan Atas Polemik Din Syamsuddin dan GAR SEDIKIT-SEDIKIT, RADIKAL!
SEDIKIT-SEDIKIT, RADIKAL! 
(Tanggapan Atas Polemik Din Syamsuddin dan GAR-ITB) 

Oleh Fahd Pahdepie

“Kalau Pancasila ditempatkan sebagai agama, kita berpisah sampai di sini!” Ujar KH. As’ad Syamsul Arifin. Ketika itu beliau mewakili aspirasi para ulama kepada Presiden Soeharto yang hendak menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. 

Dalam buku yang ditulis Syamsul A. Hasan, Kiai As’ad di Mata Umat (2003), diceritakan bahwa Kiai kharismatik itu termasuk di antara para ulama yang menentang keras dan tidak senang pada sikap presiden Soeharto yang hendak melarang asas lain selain Pancasila, termasuk Islam. Tetapi, setelah dilobi Gus Dur dan KH Ahmad Siddiq, Kiai As’ad melunak dan bersedia berdialog dengan presiden mewakili ulama yang lain. 

Presiden Soeharto menerima Kiai As’ad di kediamannya di Cendana. Satu jam lebih mereka berbincang. Dialog penting yang pada akhirnya berhasil meredam konflik kalangan ulama dengan rezim Orde Baru di tahun 1980-an. Akhirnya Soeharto sepakat, “Pancasila ya Pancasila, agama ya agama.” Keduanya berada di domain yang berbeda. Tak perlu dan tak beralasan untuk dipertentangkan. Timpal Kiai As’ad, “Islam wajib menerima Pancasila dan haram hukumnya bila menolak.” 

Apa jadinya jika Kiai As’ad melakukan protes yang sama hari ini? Sebelum sampai dan bisa berdialog dengan Presiden, boleh jadi Kiai As’ad justru dilaporkan atau dirisak buzzer di media sosial dan dicap radikal. Hari-hari ini kita mundur jauh ke belakang, bahkan dari zaman Orde Baru yang otoriter itu, justru kembali mempertentangkan Pancasila dan agama lalu sedikit-sedikit menuduh radikal. Sedikit-sedikit, radikal. 

Agama adalah ranah yang sensitif, pada batas tertentu mempertentangkannya dengan ideologi lain akan sampai ke ulu hati dan tak termaafkan lagi. Pembelaan berlebihan yang ditunjukkan sebagian kelompok kepada Pancasila, apalagi disertai kecurigaan berlebihan pada umat Islam, justru bias islamofobia dan berbahaya untuk persatuan bangsa ini kedepan. 

Sejarah sudah menunjukkan kepada kita bagaimana para pendahulu kita sepakat untuk bertemu di tengah. Sikap itu yang semestinya kita contoh. Jika Islam, jangan merasa yang paling Islam. Jika mendukung Pancasila, jangan merasa yang paling Pancasilais. Bergandeng tanganlah sebagai sesama saudara, tanpa kebencian dan kecurigaan-kecurigaan berlebihan. 

Kita bisa mereka ulang pernyataan keras Kiai As’ad kepada Presiden Soeharto, “Apa mau menerapkan Pancasila sebagai agama terus membuang Islam dan lain-lain? Kalau Pancasila ditempatkan sebagai agama, kita berpisah sampai di sini.” 

Mendengar pernyataan itu Presiden Soeharto terdiam. Ia menggeleng dan menegaskan bahwa tidak hendak menempatkan Pancasila sebagai agama. Bahkan agamanya sendiri adalah Islam, ia tak mau menempatkan Pancasila sebagai agama. Ada ruang dan ekspresinya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Apakah hari-hari ini kita tak lagi membaca sejarah? Apakah kita tak menghargai pemikiran para pendiri dan pendahulu bangsa ini yang sungguh-sungguh mencintai dan ingin mempersatukan bangsa ini? Mengapa hari ini yang membela Pancasila merasa paling Pancasilais, mengolok-olok yang berbeda. Begitu pula sebaliknya. 

Kasus Gerakan Anti Radikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR-ITB) yang melaporkan Din Syamsuddin ke KASN atas tuduhan radikalisme adalah yang paling memalukan. Pertama, karena tuduhan itu salah sasaran dan tak berdasar. Kedua, karena ia menunjukkan sikap arogan tertentu dengan merasa memiliki tafsir yang paling benar terhadap Pancasila dan kehidupan bernegara. 

Boleh jadi sikap dan perbedaan politik Din Syamsuddin terhadap pemerintahan Jokowi saat ini membuat pendukung Jokowi tidak berkenan, tetapi bukan berarti juga bisa menjadi pembenaran untuk menuduh Din Syamsuddin radikal, bukan? Sikap sedikit-sedikit menuduh radikal adalah mentalitas buzzer yang memang sering sok paling Pancasilais, apakah GAR-ITB juga memilih sikap semacam itu? 

Tuduhan, ungkapan, nyinyiran atau apapun yang sedikit-sedikit menuduh radikal pada individu atau kelompok muslim tertentu yang akhir-akhir ini marak, terutama di media sosial, juga perlu dihindari. Pada batas tertentu sikap itu sangat kental bernuansa islamofobia. Sementara agama adalah urusan yang paling privat di ulu hati setiap individu. Jika soal keislaman terus-menerus disoal, direndahkan, didiskreditkan, banyak umat Islam yang justru merasa terganggu. Lama-lama bisa jengkel dan berontak juga. 

Perbedaan politik tidak lantas mensyaratkan perbedaan ideologi yang bertolak belakang secara diametral. Jika tidak mendukung pemerintah, itu tidak bisa ditafsirkan sebagai tidak mendukung Pancasila dan ingin mendirikan negara agama. Itu pikiran yang keliru dan berlebihan. Menunjukkan ketidakdewasaan berpolitik karena dikaburkan waham dan kecurigaan. 

Rasanya dalam situasi saat ini kita perlu belajar dua hal. Pertama, belajar tentang perbedaan. Bahwa dalam demokrasi perbedaan pilihan, sikap dan ekspresi itu sesuatu yang wajar dan dilindungi hak-haknya. Kita tak bisa mengandaikan semua orang sama seperti pikiran dan pendapat kita. Orang bisa mengemukakan pikiran dan perbedaan pendapatnya masing-masing di ruang publik. 

Namun, kedua, kita juga perlu belajar soal komunikasi di ruang publik. Tentang bagaimana menyatakan kritik, bagaimana mengungkapkan sikap perbedaan politik, bagaimana menyampaikan ketidaksetujuan terhadap sesuatu tanpa dilandasi kebencian dan egoisme ‘pokoknya saya yang benar!’. Kegagalan kita berkomunikasi di ruang publik inilah yang sering menjadi pangkal dari berbagai permasalahan, termasuk polemik seputar Din Syamsuddin dan GAR-ITB ini. 

Saya percaya Din Syamsuddin adalah tokoh yang berintegritas dan selalu memiliki komitmen tinggi dalam membela moderasi, bahkan mempromosikan Islam wasthiyah (Islam tengahan) khas Indonesia kepada dunia. Tak ada sedikitpun alasan untuk mengkategorikannya sebagai tokoh radikal, apalagi jika mengingat jasa-jasanya baik sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ketua MUI, dan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban. Pun saya percaya GAR-ITB memiliki rasa cinta dan komitmen yang sangat tinggi untuk mencintai serta menjaga keutuhan republik ini. 

Seyogyanya keduanya bertemu, membuka ruang dialog, saling bertabayun, dan jika ada pihak yang merasa dirugikan maka pihak yang lain pantas meminta maaf. Jika ada persoalan hukum yang dilanggar, biar yang berwenang menyelesaikannya. Terpenting, peristiwa ini harus menjadi pelajaran untuk kita berbangsa dan bernegara ke depan. Jangan ada lagi kecurigaan berlebihan kepada umat Islam atau umat agama lain, jangan sedikit-sedikit menuduh radikal. Sedikit-sedikit, radikal! 

Jika sedikit-sedikit dituduh radikal, umat Islam akan jengah juga. Pakai jubah disebut radikal, bilang ‘Allahu Akbar’ di ruang publik dituduh radikal, mengekspresikan ghirah keislaman dicurigai radikal. Lama-lama, rasa iman yang masih tersisa, meskipun sedikit, akan terluka juga. Jika sampai ke ulu hati, kita tahu tak bisa ditawar-tawar lagi. 

Soal Pancasila, kita sepakat dengan Kiai As’ad, “Sila Pertama itu selaras dengan doktrin tauhid, qul huwallahu ahad… Pancasila bisa menjadi potret Piagam Madinah di zaman modern ini. Insya Allah akan ditiru negara-negara lain.” 

Tabik! 

FAHD PAHDEPIE
(Direktur Eksekutif Amanat Institute. Kader Muhammadiyah)

SEDIKIT-SEDIKIT, RADIKAL! (Tanggapan Atas Polemik Din Syamsuddin dan GAR-ITB) Oleh Fahd Pahdepie* “Kalau Pancasila...

Dikirim oleh Fahd Pahdepie pada Jumat, 12 Februari 2021
Share Artikel: