BLANKO KOSONG PERANG MELAWAN TEROR: Sibuk Menyalahkan Umat Islam, Tapi Lupa Menagih Akuntabilitas Pihak Berwenang

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme  BLANKO KOSONG PERANG MELAWAN TEROR: Sibuk Menyalahkan Umat Islam, Tapi Lupa Menagih Akuntabilitas Pihak Berwenang
BLANKO KOSONG PERANG MELAWAN TEROR

Oleh: Farid Gaban (Wartawan senior)

Pada 2011, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan bahwa Indonesia adalah "surga teroris". Indonesia, katanya, menjadi simpul kegiatan terorisme internasional karena "hukumnya terlalu lembek dalam menangkal terorisme". 

Buat saya, pernyataan Mbai itu, dalam posisinya sebagai pejabat tinggi negara, sangatlah mengherankan. Di manakah di negeri lain, seorang pejabat tinggi negara memberi cap begitu buruk kepada negerinya sendiri? 

Tapi, itu bukan pernyataan pertama pejabat tinggi kita tentang "posisi penting" Indonesia dalam kaitan terorisme internasional. 

Pada 13 Desember 2001, hanya tiga bulan setelah Tragedi 911 di New York, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono mengatakan "konflik Poso melibatkan teroris internasional Al Qaidah". 

Hendropriyono meralat ucapannya tentang Al Qaidah beberapa hari kemudian. Tapi, sekali lagi mengkonfirmasi pernyataan Wakil Menteri Pertahanan Amerika Serikat Paul Wolfowitz pada Januari 2002, bahwa "Indonesia adalah sarang Al Qaidah di Asia Tenggara". 

Pernyataan Wolfowitz dan Hendropriyono sempat menimbulkan protes luas. Banyak kalangan meragukan kaitan Indonesia dengan peristiwa teror di New York. Tapi, semua protes belakangan terbungkam ketika Bom Bali meledak pada 12 Oktober 2002. 

Bom Bali adalah simpul pertama ikatan Indonesia dan Amerika dalam "perang melawan teror". Indonesia yang semula enggan, menjadi pengikut setia genderang perang Amerika ala Wolfowitz. 

Masih ingat ucapat Presiden George Bush: "either you are with us or against us"? 

Dan bagaimana tidak setia: Indonesia menyerahkan tersangka dalang Teror Bom Bali (2002) dan Bom Marriott (2003), yakni Hambali dan Muhammad Faruk, kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk dipenjarakan tanpa batas waktu di Guantanamo Bay. 

(Baru Januari 2021 ini, hampir 20 tahun setelah peristiwa, Pentagon membolehkan mereka diadili). 

Peristiwa Bom Bali dan Marriot membunuh ratusan orang tak berdosa. Tapi, meski detilnya belum jelas benar (mengingat pengadilan terhadap mereka yang disebut dalangnya sendiri baru dimulai), peristiwa itu telah ikut andil menjustifikasi "perang melawan teror" yang tidak kalah brutal di Afghanistan dan Irak. 

Wolfowitz, mantan duta besar AS untuk Indonesia, adalah salah satu arsitek perang itu. Politisi neo-konservatif dan pro-Israel ini memakai "perang melawan teror" sebagai dalih agresi Amerika ke Afghanistan dan Irak. Wolfowitz sering disebut sebagai "the godfather of the Iraq war." 

Dan kini kita tahu, Perang Irak itu didasarkan pada kebohongan besar: dalih palsu bahwa Saddam Hussein berkaitan dengan Al Qaidah dan menyimpan senjata pemusnah massal. Itu salah satu hoaks terbesar di abad ini. 

***

Ansyaad Mbai, yang menjabat Kepala BNPT periode 2011-2014,  mengklaim telah memetakan "sarang teroris" di Indonesia. Dia juga mengatakan bahwa meski berbeda-beda dan terpecah-pecah, teroris itu memiliki "satu komando tunggal". 

Tapi, terbukti BNPT gagal menghentikan terorisme. Peristiwa teror tidak berhenti. 

Mbai berdalih kesulitannya membasmi teroris karena lembeknya hukum di Indonesia. Dia tak puas bahwa, sebentar setelah Bom Bali, Indonesia sudah mensahkan UU Anti-Terorisme (2003) yang menjadi dasar pembentukan BNPT dan Densus 88. 

Bahkan teror terus merajalela setelah Mbai tidak menjabat dan Indonesia sudah merevisi UU Anti-Terorisme. 

Pada 2018, DPR mensahkan revisi, yang membuat UU Anti Terorisme jauh lebih menakutkan: masa penahanan terduga teroris hingga diajukan ke pengadilan diperpanjang dari 6 bulan menjadi 9 bulan; polisi bisa mulai melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan; polisi bisa menangkap orang yang berkhotbah mendukung teror (hate speech); dan boleh melibatkan militer dalam operasi anti-teror. 

Apakah terorisme berhenti? Sampai pekan laku kita masih menghadapi situasi "war on terror" bahkan setelah Amerika sendiri melupakannya. Indonesia menjadi ajang "war on terror" terlama di dunia di luar wilayah perang (Afghanistan, Irak, Suriah). 

Ratusan tersangka teroris sudah ditangkap, diadili, bahkan sebagian dihukum mati. BNPT sendiri mengaku punya program deradikalisasi terhadap para narapidana teroris, tapi Ansyad Mbai sendiri mengatakan ratusan yang telah bebas kembali "melakukan teror yang sama". 

BNPT dan Densus berkali-kali mengatakan bahwa pemberantasan terorisme dihadapkan pada kendala tuduhan "melanggar HAM". Polisi, katanya, tak ingin melanggar HAM. 

Tapi, kita tahu bahkan Komnas HAM pun cuma bisa menghimbau dihadapkan pada fakta bahwa 110 lebih terduga teroris telah ditembak mati tanpa proses hukum. Tak pernah ada penyidikan independen terhadap extra judicial killing, pelanggaran HAM yang serius. 

DPR, yang seharusnya mengawasi kerja BNPT dan Densus, juga tidak menggelar penyidikan.

***

Telah 20 tahun kita didera terorisme, yang memakan banyak nyawa para korban, yang bikin banyak penderitaan bagi keluarga korban, dan yang memicu saling curiga antar umat beragama. 

Mengapa teror bisa mengharu-biru kita begitu lama dan bertubi-tubi? 

Menurut saya, karena kita cenderung memberi blanko kosong pada "perang melawan teror"; perang yang bermula dari Amerika dan sekarang ini terbukti manipulatif. 

Banyak dari kita menerima begitu saja dalih polisi, BNPT serta aparat intel bahwa teror di Indonesia itu beranak-pinak di bawah tanah, membentuk sel-sel yang sulit dideteksi.

Bahkan sekarang, katanya, muncul teroris individual (lone wolf), yang lebih mustahil lagi bisa dilacak. 

Kita juga cenderung percaya begitu saja ketika seluruh narasi teror yang dulu dinisbahkan kepada Al Qaidah kini diatribusikan kepada ISIS, seolah ISIS adalah metamorfosis logis dari Al Qaidah. 

Menurut saya, kita tak bisa melawan "hantu", sesuatu yang tidak bisa dideteksi, yang motifnya tak dipahami dan yang aksinya begitu random tak bisa diantisipasi. Jika kita menerima dalih itu, sampai kapanpun takkan pernah kita bisa menghentikan terorisme. 

Tapi, bukankah bahkan jasad renik virus corona, serta varian-variannya yang terus bermutasi, bisa dideteksi sehingga bisa dilawan? 

Mungkin tidak gampang mendeteksi virus. Tapi, itu tetap pertama-tama menjadi tanggungjawab aparat untuk mengatasi dan mencegahnya. Tanggungjawab BNPT dan polisi. 

Tapi, alih-alih menagih tanggungjawab polisi, Densus, BNPT dan badan intelijen, kaum intelektual, akademisi serta jurnalis cenderung percaya begitu saja cerita mereka. 

Memberi blanko kosong kepada polisi dan intel punya konsekuensi luas bagi demokrasi kita dan bagi civil society keseluruhan (tak hanya bagi umat Islam yang selalu dijadikan sasaran kecurigaan). 

Pada 2003, Human Rights Watch membuat laporan yang menyimpulkan bahwa "war on terror" dimanfaatkan oleh para despot dan diktator sebagai dalih untuk mempersempit kebebasan sipil, memberangus oposisi dan meredam protes. 

Lewat "perang melawan teror", kekuasaan polisi dan aparat intel makin kuat. Tak hanya anggaran makin besar, tapi juga kekuasaannya, yang jarang dipertanyakan. 

Kita tidak peka lagi terhadap standar normal kehidupan bernegara. Kita cenderung membiarkan polisi melenggang begitu saja meski telah membunuh 100 lebih terduga teroris tanpa proses hukum (extra-judicial killing). 

Kita tidak peka lagi ketika kekuasaan polisi/intel dipakai untuk memberangus demonstrasi damai. 

Kita menutup mata bahwa polisi menangkap 5.000 demonstran dalam dua gelombang besar demonstrasi: anti-korupsi dan anti-Omnibus Law dua tahun terakhir. 

Kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan cenderung mengarah pada pendekatan keamanan dan negara-polisi (police state). Memberi impunitas kepada aparat dan mendorong satu warga memata-matai warga lain. 

Dan itu tak hanya merugikan aktivisme Islam. Kekuasaan polisi dan aparat intel dipakai juga untuk meredam demonstrasi tanpa motif agama, aspirasi politik lokal seperti Papua, aktivisme sosial melawan penggusuran dan aktivis pembela lingkungan. 

Lebih segalanya, blanko kosong kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan memperkuat posisi kaum oligark, melindungi perselingkuhan politisi dan bisnis yang makin korup dan menindas.[end]
Share Artikel: