Hentikan Proyek Mercusuar Ibu Kota Baru
Hentikan Proyek Mercusuar Ibu Kota Baru
Jika memang peka akan krisis dan memahami prioritas, Presiden Joko Widodo seharusnya menyetop proyek pemindahan ibu kota. Di tengah keterbatasan anggaran dan besarnya kebutuhan dana untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta pemulihan dampaknya, sudah seharusnya proyek mercusuar itu tak lagi diteruskan.
Pemerintah bisa berdalih bahwa tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk proyek ibu kota baru tahun ini, ketika pandemi Covid-19 dan dampaknya belum teratasi. Kenyataannya, rencana ambisius itu masih terus dibahas untuk segera diwujudkan.
Pernyataan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) yang menyebutkan rencana ground-breaking ibu kota baru pada tahun ini menunjukkan bahwa proyek supermahal itu memang tak dihentikan. Ada kemungkinan target peletakan batu pertama dipercepat agar ibu kota baru bisa selesai pada 2024. Jokowi telah mengumumkan desain calon istana di ibu kota baru hasil sayembara, yang kemudian dipersoalkan oleh para arsitek dari sisi estetikanya. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sedang mengebut penyusunan undang-undang ibu kota baru.
Rencana boyongan ibu kota ke Kalimantan Timur ini memakan biaya yang sangat besar. Hitungan Bappenas dan Kementerian Keuangan menyebutkan kebutuhan dana mencapai Rp 466 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 19 persen atau Rp 89,5 triliun ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sisanya berasal dari swasta melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), yang sampai saat ini belum jelas komitmennya. Jika dana swasta yang masuk tak sesuai dengan target, ada kemungkinan anggaran negara untuk proyek ini bakal terus membengkak.
Belanja untuk proyek ibu kota baru, meski baru rencana, merupakan ironi di tengah terbatasnya anggaran pemerintah. Untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) tahun ini saja, pemerintah harus mengeluarkan anggaran hingga Rp 699,43 triliun. Walhasil, defisit pun melebar hingga 5,7 persen dari produk domestik bruto atau lebih dari Rp 1.000 triliun. Untuk menutup kebutuhan tersebut, tak ada jalan bagi pemerintah selain menambah utang. Bisa dibayangkan, jika Jokowi berkukuh meneruskan proyek ibu kota baru, anggaran yang harus ditutup dengan utang pun kian besar. Apalagi penerimaan perpajakan belum bisa diharapkan, karena aktivitas ekonomi belum sepenuhnya pulih.
Di luar soal belanja dan utang, juga ancaman kerusakan lingkungan, pembangunan proyek ini lebih merupakan agenda politik elite ketimbang untuk kepentingan rakyat banyak. Bisa jadi kenekatan membangun ibu kota baru dari nol ini untuk mengkompensasi proyek-proyek mercusuar lainnya yang tak kunjung tuntas dan menyimpan banyak persoalan—seperti membengkaknya utang badan usaha milik negara penggarap proyek infrastruktur.
Sudah saatnya Presiden Joko Widodo mempertimbangkan ulang proyek ibu kota baru. Hentikan segera sebelum muncul kerugian yang lebih besar. Toh, keberhasilan seorang pemimpin tak diukur dari besarnya monumen yang ia bangun, melainkan dari kearifan dan kemampuannya menyelesaikan persoalan publik. Termasuk, dalam menyusun skala prioritas yang membawa maslahat bagi orang banyak.
(Sumber: EDITORIAL KORAN TEMPO, Rabu, 7 April 2021)