Terpilihanya Ebrahim Raisi Sebagai Presiden Iran Dianggap Kabar Buruk
[PORTAL-ISLAM] TEHERAN - Terpilihanya hakim garis keras Ebrahim Raisi sebagai Presiden Iran ditanggapi buruk oleh berbagai pihak. Salah satunya adalah Amnesty International yang pernah melaporkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia oleh Raisi.
"Terpilihnya Raisi adalah catatan bahwa impunitas masih bertahan di Iran," ujar Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, dikutip dari kantor berita Reuters, Sabtu, 19 Juni 2021.
Di Iran, Raisi dikenal untuk banyak hal. Selain sebagai salah satu penentang pengaruh Barat dan loyalis Pemimpin Agung Ayatollah Ali Khamenei, dia juga dikenal sebagai hakim yang gemar memberikan eksekusi mati.
Selama menjadi hakim, ia dilaporkan sudah mengetok palu eksekusi mati untuk kurang lebih 5000 orang. Mayoritas di antaranya adalah tahanan politik yang dieksekusi di tahun 1988. Menurut kabar yang beredar, mereka yang mati karena vonis dari Raisi dimakaman di kuburan massal tersembunyi dan tanpa tanda. Organisasi dan aktivis HAM khawatir Raisi akan mengulanginya, kali ini sebagai presiden.
Selain Amnesty International, organisasi yang juga khawatir akan terpilihnya Raisi adalah Dewan Pemberontakan Iran yang berbasis di Paris. Presiden organisasi tersebut, Maryam Rajavi, mengatakan kemenangan Raisi sebagai pertanda bahwa rezim represif di Iran akan bertahan.
Rajavi menjelaskan, rezim itu akan bertahan karena Raisi terpilih berkat sokongan Khamenei yang dikenal represif . Khamenei, kata ia, berupaya keras menyingkirkan pesaing-pesaing Raisi agar loyalisnya itu menang mudah dan bisa dipersiapkan sebagai calon penerusnya. Walhasil, menurut Rajavi, tidak akan ada perubahan signifikan di Iran.
"Ebrahim Raisi, dalang pembantaian 1988 dan pembunuh Mujahidin-e Khalq, adalah upaya terakhir Khamenei untuk mempertahankan rezimnya. Khamenei memasang Raisi, salah satu penjahat kemanusiaan terkejam sejak Perang Dunia II, sebagai presiden," ujar Rajavi.
Di Iran, para aktivis pro-reformasi khawatir Raisi akan mulai menyasar mereka. Jika hal itu terjadi, mereka yakin bakal berakhir di penjara seperti sebelum-sebelumnya.
"Saya takut dan saya tidak ingin kembali ke penjara lagi. Saya yakin berbagai bentuk perlawanan atau protes tidak akan ditolerir (oleh administrasi Raisi)," ujar Hamidreza, aktivis yang sempat dipenjara tahun 2019 karena terlibat unjuk rasa menentang kenaikan harga bensin.
Diberitakan sebelumnya, Raisi menang telak dari kedua pesaingnya, Mohsen Rezaei dari kubu konservatif dan Abdolnaser Hemmati dari kubu teknokrat. Dari 28,6 juta suara yang masuk, Raisi berhasil mengumpulkan 17,8 juta suara atau 62 persen. [Tempo]