[ANALISIS] Kemana Arah 'Kudeta' Tunisia?
Kemana Arah 'Kudeta' Tunisia?
Oleh: Ahmad Dzakirin (Pengamat Internasional dan Dunia Islam)
25 Juli 2021, Presiden Tunisia Kais Saied memecat PM Hichem Mechichi, membubarkan parlemen selama 30 hari, mencabut kekebalan anggota parlemen dan memegang kekuasaan eksekutif. Saied lebih jauh menerapkan keadaan darurat dan memberlakukan jam malam.
Saied menganggap bahwa langkahnya sejalan dengan pasal 80 konstitusi yang menyatakan:
"Ketika negara dalam keadaan bahaya yang mengancam kemerdekaan dan integritas negara. Presiden dapat mengambil langkah yang dibutuhkan dalam situasi luar biasa ini, setelah berkonsultasi dengan Perdana Menteri dan Ketua Parlemen."
Langkah Saied dilakukan setelah demonstrasi nasional digelar menentang pemerintah dan targetnya Partai An Nahdah, yang dituduh menjadi dalang atas krisis ekonomi, politik dan kesehatan.
Rencana aksi diorganisir jauh sebelumnya dan mereka menyebut aksinya sebagai "Gerakan 25 Juli" yang memiliki tuntutan yang sama dengan langkah yang diambil Saied.
Para demonstran menyerang kantor-kantor An Nahdah dan Partai Dusturian Merdeka, Abi Moussi. Mereka juga merayakan 'kudeta' Saied di jalanan.
Ketua An Nahdah dan juga ketua parlemen Tunisia, Rached Ghanousi menyebut langkah Saied sebagai kudeta terhadap Revolusi dan Konstitusi.
"Langkahnya mengkhianati seluruh rakyat Tunisia."
Saied menginterpretasikan secara sepihak Pasal 80 karena menegaskan bahwa parlemen harus tetap ada dalam keadaan darurat dan tidak dapat dibekukan oleh presiden.
Dan lebih dari itu, Rached sebagai ketua parlemen seperti dalam pengakuannya tidak pernah diminta pendapatnya oleh presiden seperti diamanahkan konstitusi.
Pandangan An Nahdah didukung Partai Hizbul Ummal, Qalb Tounes, Al Karama, eks Presiden Moncef Marzouki dan kalangan masyarakat sipil.
Amnesty International menyerukan kepada Saied "untuk menghormati dan melindungi HAM, termasuk Hak menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai serta memperingatkan bahwa kebebasan dan HAM yang diperjuangkan secara gigih dalam Revolusi 2011 sedang terancam."
Tidak lama, media dan infuencer Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) merayakan langkah Saied.
Koran Okaz Saudi menyebut "Tunisia melawan Ikhwanul Muslimin."
Laman berita 24Media, milik Emirat memuji langkah Saied, "Langkah berani untuk menyelamatkan Tunisia".
Sementara, Koran pemerintah Mesir Al Ahram menyebut sebagai kekalahan benteng terakhir Ikhwanul Muslimin di kawasan.
Dan komentator Mesir lainnya menyimpulkan "Dunia Arab tengah menyaksikan kejatuhan terakhir Ikhwanul Muslimin."
3 hari sebelum 'kudeta' Saied, Dhahi Khalfan Tamim, Kepala Polisi Dubai mentwit: "Berita bagus...pukulan baru...Menghantam Ikhwanul Muslimin."
Selanjutnya, tagar #RakyatTunisiaMelawanIkhwanulMuslimin menjadi trending topic di twitter.
Walaupun dalam praktiknya, Partai An Nahdah telah merevisi konstitusinya yang Islamis dan menjaga jarak dari Ikhwanul Muslimin.
Menurut pengamat media, Marc Owen Jones, dia melihat ini sebagai kampanye manipulatif negara otokratis seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Mesir. Ribuan tweet tersebut datangnya dari ketiga negara.
"Ini seperti jejak klasik akun yang anda bisa tebak dengan perilaku seperti ini. Ini adalah manipulasi utas twitter atas #Tunisia karena dari 12.000 twit, 6800-nya berasal dari akun unik (bot)."
Twitter sendiri telah menutup ribuan akun bot yang terkait dengan kampanye rejim di UEA, Arab Saudi dan Mesir beberapa tahun terakhir.
Senator AS, Chris Murphy mempertanyakan peran Uni Emirat Arab dan Saudi dalam krisis ini dan meminta secara khusus Presiden Biden untuk menyelidikinya.
Agenda anti Revolusi UEA untuk menggulingkan sistem demokratis di Tunisia dan secara khusus menarget An Nahdah sudah lama diketahui.
Abu Dhabi (UEA) sebelumnya telah mendukung para aktor reaksioner di Libya, Mesir, Bahrain, Sudan dan Yaman, karena takut kebangkitan kelompok Islamis dapat mempengaruhi seruan reformasi dalam sistem politik mereka yang otokratik.
Berdasarkan pengakuan jurnalis yang dekat dengan mantan Presiden Tunisia, Beji Caid Essebsi, Abu Dhabi pernah mencoba memaksa presiden merebut kekuasaan dari An Nahdah dengan janji bantuan ekonomi setelah kemenangannya.
Manuver ini dilakukan sebagai upaya untuk "mengulang skenario Mesir" dimana Abu Dhahi dan Riyadh sukses menggulingkan presiden terpilih melalui kudeta militer. Mereka menginginkan sebagai contoh Libya dan Sudan.
Namun Essebsi menolak dan setelah itu, tidak mau berkomunikasi langsung dengan Muhammad bin Zayed (MBZ), putera mahkota Abu Dhabi. Hubungan Tunisia dan UEA memburuk.
November 2015, para pejabat keamanan Tunisia memperingatkan bahwa "UEA mungkin mencoba mendestabilisasi Tunisia."
Dan tampaknya, langkah Saied yang tidak terduga (memanfaatkan krisis politik dalam negeri) menjadi kartu truf lain UEA untuk mewujudkan ambisinya yang jahat dan anti demokrasi. Tidak dengan kudeta militer seperti di Mesir dan Libya, namun dengan strategi konstitusional, walau cacat.