Bahaya Mengkritik Kebijakan Pandemi
Bahaya Mengkritik Kebijakan Pandemi
Reaksi pemerintah terhadap rencana demonstrasi penolakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sungguh sangat berlebihan. Apalagi kalau sampai menuduh rencana aksi unjuk rasa yang dirancang segelintir mahasiswa itu sebagai bagian dari upaya menjatuhkan pemerintah yang berkuasa. Pola lawas yang kerap digunakan rezim Orde Baru.
Awal pekan lalu beredar selebaran di media sosial tentang ajakan aksi nasional berjudul “Jokowi End Game” untuk menolak penerapan PPKM. Rencananya, demonstrasi ini digelar serentak di berbagai penjuru negeri dan berpusat di Istana Negara pada Sabtu, 24 Juli 2021 lalu. Namun aksi turun ke jalan itu gembos di banyak daerah.
Alih-alih memberikan kontra-narasi menjawab tuduhan kegagalan pemerintah menangani pandemi Covid-19, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. justru menuduh rencana unjuk rasa itu merupakan upaya makar dari satu kelompok. Aparat kepolisian kemudian menangkap para inisiator dan peserta aksi tersebut.
Tidak hanya sampai di situ. Kelompok pendengung di media sosial yang selama ini menjadi pendukung pemerintah juga ikut menyebar kebencian dan memfitnah orang-orang yang menjadi simpul demonstrasi dengan segala macam tuduhan. Secara keji, mereka menyebarkan foto dan identitas pribadi para demonstran, alias melakukan doxing. Akibatnya, para mahasiswa, yang semata-mata ingin menyampaikan pendapat, diperlakukan seperti seorang kriminal dan mendapat persekusi massal di media sosial.
Pemerintah dan barisan fans club-nya di media sosial kembali tidak mengindahkan bahwa pelbagai tindakan mereka itu berdampak buruk terhadap demokrasi. Ruang berpendapat semakin sempit hari-hari ini, karena tindakan persekusi di media sosial telah membuat kelompok-kelompok kritis berpikir panjang tiap kali ingin menyampaikan pendapat.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat korban doxing dari kalangan mereka yang bersuara kritis terhadap pemerintah meningkat dari tahun ke tahun. Sementara pada 2019 korbannya hanya 19 orang, pada 2020 melonjak dua kali lipat. Mereka yang mendapat teror berupa pembukaan data pribadi meliputi mahasiswa, jurnalis, dan orang awam.
Sebagian doxing dan perundungan itu dilakukan oleh pejabat publik dan orang yang dekat dengan Presiden Joko Widodo. Kita masih ingat bagaimana perilaku seorang komisaris badan usaha milik negara dan anggota tim sukses Jokowi yang menyebarkan identitas dua pengancam presiden pada 2019. Hal serupa juga terjadi pada Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Leon Alvinda Putra, pada awal Juli lalu. Foto masa kecil Leon disebar di media sosial setelah BEM Universitas Indonesia mengunggah poster "Jokowi: The King of Lip Service" di akun media sosialnya.
Rangkaian tindakan persekusi tersebut adalah kejahatan yang seharusnya diganjar pidana. Mereka secara sadar telah melempar umpan agar para korban menjadi sasaran caci-maki publik. Para pelaku persekusi tersebut sudah bertindak melangkahi kewenangan penegak hukum. Membuka identitas pribadi orang lain di muka publik serupa dengan menciptakan pengadilan jalanan bagi mereka yang ingin bersikap obyektif terhadap kebijakan pemerintah.
Selalu menyerang kelompok kritis yang mempertanyakan kebijakan penanganan Covid-19 hanya akan membuyarkan konsentrasi pemerintah. Lebih baik energi berlebih itu dipakai menekan jumlah penularan wabah corona. Mengancam mereka yang bersuara kritis justru mengindikasikan pemerintah tengah panik berupaya menutupi kegagalan menangani pandemi.
(Sumber: Editorial Koran Tempo, 27 Juli 2021)