ABNORMALITAS KEANU REEVES
ABNORMALITAS KEANU REEVES
Oleh Hamid Basyaib
Tak banyak anak yang didera derita begitu keras seperti Keanu Reeves. Lebih sedikit anak yang, setelah dewasa, mashur dan kaya raya, menjalani hidup dengan “abnormalitas” yang mengherankan.
Ketika ia berusia tiga tahun, ayahnya meninggalkannya begitu saja. Setelah itu ia hidup bersama tiga ayah tiri di Toronto, Kanada. Mungkin karena terlalu sering menyaksikan kekerasan di dalam rumah tangga orangtuanya, ia gagap. Ia sulit sekali untuk bicara senormal anak-anak seusianya.
Ia ingin menjadi pemain hockey. Tapi cita-cita itu hancur karena kecelakaan berat yang menimpanya.
Anak perempuannya meninggal saat dilahirkan. Lalu isterinya meninggal pula dalam kecelakaan lalu-lintas. Sahabat karibnya, River Phoenix, mati karena overdosis narkotik. Adik perempuannya terus berjuang, bertahan dari siksaan leukemia.
Tak ada pengawal dalam hidup kesehariannya. Tak ada rumah mewah seperti dimiliki semua bintang Hollywood, bahkan yang kebesarannya jauh di bawahnya. Ia tinggal di apartemen biasa, dan gemar keluyuran dengan berjalan kaki di kotanya, New York. Warga sering melihatnya naik kereta subway.
Ketika sedang shooting film “The Lake House”, ia tak sengaja mendengar obrolan dua orang asisten urusan kostum. Seorang di antaranya menangis karena bakal kehilangan rumahnya jika ia tak sanggup membayar cicilan USD 20.000.
Hari itu juga Reeves mengirim dana sejumlah itu ke rekening si asisten. Sepanjang karirnya ia telah menyumbang banyak rumah sakit, selain menyedekahkan USD 75 juta yang didapatnya dari serial “The Matrix” kepada lembaga-lembaga amal.
Pada hari ulangtahunnya di tahun 2010, ia mendatangi sebuah toko roti dengan berjalan kaki, membeli sepotong brioche dan sebatang lilin, dan memakannya di depan toko roti itu. Setiap orang yang berhenti untuk menyapanya ditawarinya minum kopi. Ia sama sekali tak sudi disandera oleh popularitasnya sampai menjadi manusia yang berperilaku ganjil.
Pada suatu pagi di tahun 1997, beberapa paparazi memergokinya sedang menemani seorang gelandangan di Los Angeles, mendengarkan curhat dan pengalaman hidup pria malang itu selama berjam-jam.
Hidup memang mengidap keanehannya sendiri. Mereka yang hatinya paling hancur terkadang merupakan orang-orang yang paling bersemangat membantu orang lain.
Lelaki yang terlalu tampan dan berpostur sempurna ini mampu membeli apa saja. Tapi, setiap bangun tidur di pagi hari ia, yang dilahirkan di Beirut, Lebanon, memilih satu hal yang tidak pernah bisa dibeli: Menjadi manusia yang peduli pada nasib orang lain.