Gayanya Pindah Ibu Kota, Rakyatnya Aja Susah Ngantri Minyak Goreng
Tolong kamu pikirkan...
Kalian tahu di tanah siapa perkebunan kelapa sawit menanam sebagian besar sawit tsb? Di tanah milik negara. Mereka dikasih konsesi. Welcome, mereka disambut dgn senyum lebar, ini tanahnya, ini fasilitasnya, karpet merah, ini itu, dikasih semua.
Lantas mereka panen. Lantas mereka pesta-pora.
Lantas, negara harus mensubsidi trilyunan minyak goreng, dikasih juga dong duitnya ke mereka2.
Lantas, rakyat Indonesia antri berjam-jam demi mendapatkan minyak goreng.
Sungguh, duhai netizen, tidak bisakah kalian melihat ironi paling menyakitkan dari ini semua? Kita itu dibohongi habis2an, ditipu2 habis2an. Setiap lima tahun. Setiap pemilihan.
Berpuluh tahun berlalu, reformasi bahkan 20 tahun telah berlalu. Nasib rakyat kecil tetap begini. Penguasa tetap itu2 saja. Elit parpol. Politisi, militer/pensiunan militer/polisi/pensiunan polisi, pengusaha, oportunis. Campur jadi satu, maka pandemi pun jadi kesempatan bisnis.
Puisi WS Rendra tahun 70-an ini masih relevan, Kawan. Saat itu penduduk Indonesia masih 130 juta. Sekarang dobel. Semua ditipu. Silahkan cari puisi lengkapnya di google.
"Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya."
Sungguh, negeri ini begitu2 saja. Sementara tetangga, Singapura, Malaysia, maju semua. Yes, kamu lagi2 ditipu dengan argumen, 'Tapi kan penduduk mereka sedikit'.
Dan kalian wahai buzzer, pembela2, para penjilat, kalian habiskan waktu kalian membela orang2 yg menikmati semuanya. Harta mereka ratusan milyar, bahkan trilyunan, sementara kamu? "Oh tidak begitu dong, ini salah pemerintah sebelumnya". "Oh inilah, oh itulah". Teruskan pembelaanmu.
(By Tere Liye)
*foto dari Antara Foto, Destyan Sujarwoko, antrian membeli minyak goreng