Para Peneliti Terlunta-lunta Pasca Peleburan BRIN
Para peneliti senior dan akademikus yang tergabung dalam Masyarakat Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Inovasi Nasional (MPI) mulai gerah dengan implementasi peleburan berbagai lembaga penelitian ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Para peneliti disebut terlunta-lunta dan penelitian mereka terancam mandek.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) periode 2010-2014, Profesor Lukman Hakim, menceritakan bagaimana para peneliti kebingungan ketika pemerintah membuat kebijakan peleburan lembaga ke dalam BRIN.
"Bahkan hampir semua pejabat di BRIN tidak punya gambaran atau desain ke arah mana penelitian nantinya," kata dia kepada Tempo, kemarin (3/2/2022).
Menurut Lukman, pemerintah tak pernah menjelaskan kepada para peneliti ihwal konsep pengembangan riset dan penelitian di BRIN. Apalagi, kebijakan BRIN tak mengakomodasi pandangan peneliti dan disebut dibuat secara sepihak.
Presiden Joko Widodo meleburkan lembaga riset dan penelitian menggunakan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021.
Dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), LIPI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), hingga Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman digabungkan. Ada juga 38 lembaga lainnya yang turut dilebur ke dalam BRIN.
Fusi ini menuai kritik dari para peneliti senior dan akademikus. Sedikitnya 46 tokoh akademikus, termasuk Profesor Azyumardi Azra; guru besar Institut Pertanian Bogor, Profesor Didin S. Damanhuri; dan Kepala LBM Eijkman, Profesor Amien Soebandrio, mengirim surat protes ke Presiden Joko Widodo. Mereka meminta pemerintah mengevaluasi kembali peleburan tersebut.
Lukman Hakim menambahkan, banyak struktur jabatan di BRIN diisi orang-orang yang ia anggap tak berkompetensi. Sebaliknya, para peneliti senior yang berkompetensi didepak. Kata dia, banyak di antara sejawatnya yang masih luntang-lantung belum mendapat pos penempatan di struktur lembaga. "Semua jabatan dibuat sebagai pelaksana tugas yang tidak punya kewenangan mengambil keputusan."
Dia menyampaikan bahwa para peneliti dipisahkan dari alat-alat yang selama ini mereka pegang. Kata Lukman, para peneliti hanya ditugasi untuk menulis. Adapun peralatan penelitian dikendalikan oleh direktur lain. Mekanisme ini ia khawatirkan merusak alat yang membutuhkan pemeliharaan harian dari ahlinya.
Seorang peneliti LIPI yang menolak dituliskan namanya mengaku kaget ketika bergabung ke BRIN dan mengetahui lembaga ini tak memiliki masterplan perencanaan riset dan penelitian.
"Setelah peleburan, kami baru berpikir apa yang harus dilakukan. Akhirnya banyak peneliti yang enggak tahu statusnya di mana dan apa yang akan mereka lakukan," kata peneliti senior ini. Dia juga mengatakan adanya saling curiga di antara peneliti akibat polarisasi berdasarkan lembaga asal.
Pimpinan BRIN, peneliti itu melanjutkan, disebut asal-asalan dalam merencanakan riset. Mereka ditengarai tak memiliki rancangan tahunan dan menunggu pengajuan proposal penelitian secara sporadis alias tidak terintegrasi. Padahal BRIN dirancang sebagai komando arah kebijakan riset dan penelitian.
Karena berbagai persoalan tersebut, para peneliti mengadu ke parlemen. Mereka mendesak Komisi VII DPR turun tangan membentuk panitia khusus untuk mengevaluasi kinerja peleburan BRIN. Apalagi selama ini ada beberapa persoalan yang ditemukan. Di antaranya dugaan pelanggaran secara yuridis, kemudian persoalan karut-marut pengelolaan manajemen BRIN, dan kepemimpinan di BRIN yang arogan serta antikritik.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, membantah tuduhan badan riset tak memiliki konsep.
"Seluruh tahapan dan konsep integrasi unit riset telah ada sejak awal dan disampaikan di banyak kesempatan. Sesuai dengan tahapan, semua sudah kami selesaikan di Januari 2022," kata dia ketika dimintai konfirmasi.
Handoko belum mengetahui soal riset yang mandek akibat para peneliti harus meninggalkan alat. Dia justru menagih riset apa yang terhenti akibat pembentukan BRIN. Handoko juga menepis anggapan bahwa metode kepemimpinan BRIN tidak egaliter. Menurut dia, justru setelah semua lembaga dilebur ke BRIN, periset mendapat kebebasan untuk melakukan riset tanpa dibebani urusan administrasi.
(Sumber: Koran TEMPO, 04-02-2022)