@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Dinasti Jokowi

Presiden Joko Widodo sukses memunculkan anak dan menantunya selaku  daya tarik elektoral bag DINASTI JOKOWI
Pesona Elektoral DINASTI JOKOWI

Bermodalkan populisme, Presiden Joko Widodo sukses memunculkan anak dan menantunya selaku daya tarik elektoral bagi partai politik. Setelah putra sulung dan menantunya menang mudah dalam penyeleksian kepala daerah, Jokowi baru-baru ini merestui anak bontotnya, Kaesang Pangarep, menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Sebagai anak presiden, Kaesang mendapat hak istimewa. Baru tiga hari menjadi kader, beliau pribadi didapuk selaku ketua lazim mengambil alih Giring Ganesha. Menggaungkan ide meritokrasi dalam rekrutmen kader dan pemimpin partai, PSI tidak menerapkan hal tersebut dalam kendala rumah tangganya sendiri. Dengan mendapuk Kaesang selaku ketua umum, PSI gagal melakukan kaderisasi dan tata cara meritokrasi internal.

Figur Jokowi juga diyakini menjadi aspek yang menegaskan dalam kemenangan Gibran Rakabuming Raka dalam penyeleksian kepala tempat Solo dan Bobby Nasution dalam pilkada Medan pada 2020. Dengan kemenangan tersebut, Jokowi menorehkan rekor selaku presiden pertama yang memiliki anak dan menantu wali kota. Jokowi kembali mencetak rekor alasannya merupakan beliau juga menjadi presiden pertama yang memiliki anak menjabat ketua lazim partai politik.

Jokowi, yang bukan "siapa-siapa", menapaki karier politiknya selaku Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai Presiden RI dari nol. Ia menjadi tokoh fenomenal alasannya merupakan mematahkan mitos bahwa sirkulasi politik cuma sanggup berpusat di bundar elite. Ketika itu, berkembang optimisme bahwa semua orang sanggup menembus dinding kekuasaan yang usang kedap. Optimisme makin menguat alasannya merupakan Jokowi berjanji tidak akan menarik-narik anak dan keluarganya ke dunia politik.

Namun, pada periode keduanya selaku presiden, Jokowi sendiri yang memadamkan optimisme itu dengan merestui Gibran dan Bobby maju dalam penyeleksian kepala daerah. Jokowi mengingkari ucapannya. Jokowi bukan cuma mendorong keluarganya mengambil jalan pintas, tetapi juga menetralisir peluang bagi calon-calon pemimpin tempat yang lebih baik dan berpengalaman. Praktik yang dijalankan anak dan menantu Jokowi menutup tata cara sirkulasi politik yang adil dan terbuka bagi semua warga negara. 
Tak sanggup dimungkiri, di saat seorang presiden menjadi patron bagi keluarganya yang menekuni ke dalam dunia politik, mereka akan mendapat fasilitas dan keuntungan. Privilese ini juga yang ditemukan Kaesang Pangarep sampai sanggup memimpin PSI dengan jalur instan. Fenomena ini makin mengukuhkan tanda-tanda gagalnya kaderisasi di partai dan kuatnya politik transaksional demi kepentingan mendulang bunyi dalam Pemilu 2024.

Memberikan jalan bagi sanak keluarga menduduki posisi kepala tempat dan ketua lazim partai sepertinya merupakan opsi Jokowi biar tetap dipertimbangkan di panggung politik nasional. Apalagi Gibran dan Bobby disebut-sebut akan "naik kelas". Bobby berminat maju dalam penyeleksian Gubernur Sumatera Utara. Sedangkan Gibran digadang-gadang akan menjadi kandidat pendamping Prabowo Subianto alasannya merupakan somasi batas usia cawapres berpotensi dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Prabowo merupakan kandidat yang berpotensi besar mendapat dukungan Jokowi.

Gagal membangun kaderisasi, partai-partai menegaskan jalan pintas berebut anak dan menantu Presiden. Mereka berharap mendapat dampak ekor jas popularitas Jokowi, yang mendapatkan skor tinggi dalam sejumlah survei tingkat kepuasan publik kepada kinerja pemerintahannya. Alih-alih menjadi alat demokrasi, partai-partai makin terbenam dalam politik elektoral. Pola rekrutmen kader yang bagus dan tata cara meritokrasi di lingkup internal partai di saat ini menjadi praktik langka.

Kelemahan partai menyerupai ini yang memberi celah hadirnya politik dinasti menyerupai yang terjadi pada Jokowi dan keluarganya. Dengan daya tarik elektoralnya, mereka menggunakan partai untuk bertahan dalam sirkulasi kekuasaan politik.

(Sumber: Editorial Koran Tempo, Rabu, 27 September 2023)