SEGITUNYA... Cerita Ulama Aceh yang Diminta Bikin Video Menolak Pengungsi Rohingya oleh Oknum Institusi Keamanan Negara, Alhamdulillah Dia Menolak...
Mengungkap Penolak Rohingya di Aceh
Oleh: Yuswardi A. Suud
(Wartawan senior dan Penulis Buku di Jakarta)
Di dalam mobil yang membawa kami menuju sebuah rumah makan Aceh di Jakarta, duduk dua orang pengurus Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh (MUI-nya Aceh). Yang satu tokoh muda, satunya lagi lebih senior. Hari itu, 18 Desember 2023, sekitar pukul 19.30 WIB.
Ponsel si tokoh muda tiba-tiba berdering. Dia mengangkat telepon dan berbicara dengan si penelpon.
"Jangan saya yang berbicara. Kami di MPU tidak mungkin berbicara begitu. Sebaiknya dicari orang lain saja," begitu kata si tokoh muda kepada penelpon.
Tak lama pembicaraan selesai. Si tokoh muda bercerita, penelpon dikenalnya bekerja di sebuah institusi keamanan negara dan memintanya membuat video yang menyatakan menolak kedatangan imigran Rohingya di Aceh.
Saya tersentak. Naluri kewartawananku menggelegak. Muncul pertanyaan di kepala:
Tidakkah itu sebuah upaya menggalang opini publik untuk memperkuat asumsi bahwa rakyat Aceh menolak Rohingya lewat ulama?
Kenapa pula harus menggunakan ulama sebagai bumper jika "institusi negara" menolak Rohingya?
Untunglah, si tokoh ulama muda menolak permintaan itu sehingga nama ulama Aceh tak tercemar. Apa kata dunia jika ulama Aceh menolak membantu saudara sesama muslim yang terusir dan ditolak diakui sebagai etnis resmi di Myanmar yang mayoritas Budha? Bahkan, sejumlah negara di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika mengakui telah terjadi pembasmian etnis atau genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar. Pembersihan etnis itu sudah terjadi sejak 1970-an.
Puncaknya terjadi pada 2017, setelah tentara pembebasan Rohingya Arakan bentrok dengan tentara pemerintah Myanmar. Council on Foreign Relations (CFR) mencatat, ratusan desa dihancurkan dan 700 ribu orang kabur menyelamatkan diri ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia. .
Pada 2019, Gambia yang didukung sejumlah negara membawa kasus genosida itu ke Mahkamah Internasional, sebagai bentuk intervensi agar Myanmar berhenti melakukan pembasmian etnis Rohingya.
Jika Gambia yang jauh dari Myanmar tergerak hatinya membantu, mengapa pula Aceh sekarang menolak menerima mereka yang teraniaya di kampungnya? (setidaknya begitu berita yang dominan muncul di media).
Saya mendengar penolakan itu dipicu oleh sikap orang Rohingya yang "ngelunjak" setelah dibantu. Ada pula indikasi penyelundupan orang yang melibatkan beberapa orang warga lokal.
Saya kira dalam etnis dan komunitas mana pun pasti ada orang-orang yang melanggar aturan. Tidak adil rasanya menimpakan kesalahan beberapa orang menjadi kesalahan etnis. Itu stereotipe namanya. Sama seperti orang Aceh dulu sering dicap pemberontak oleh orang luar, tukang jual ganja, dan bermacam stigma negatif lainnya. Padahal, itu cuma dilakukan oleh segelintir orang Aceh. Tapi orang Aceh yang hidupnya lurus-lurus saja juga kena getahnya.
Tentang indikasi penyelundupan, jika memang benar, tentu saja harus diproses hukum. Hukum yang bersalah, bantu yang lainnya.
Untuk menghindari bentrok dengan warga lokal, sebaiknya tempatkan saja mereka sementara waktu di satu pulau di bawah pengawasan UNHCR. Katakanlah misalnya di Pulau Bunta di gugusan Pulau Aceh yang tak jauh dari Banda Aceh.
Bukankah dulu Indonesia pernah menerima pengungsi perang Vietnam di Pulau Galang Batam? Toh, setelah perang usai mereka kembali ke negaranya. Tak ada penguasaan tanah di Batam oleh orang Vietnam.
Selama 2023, menurut data UNHCR yang dirilis pada 10 Desember lalu, ada 1.684 orang yang mendarat di Aceh, termasuk 700 orang yang datang dalam dua bulan terakhir.
Jumlah itu sangat sedikit dibanding pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang mencapai 250 ribu jiwa pada tahun 1975 - 1996.
Saya percaya, pada dasarnya orang Aceh adalah orang yang punya empati tinggi terhadap penderitaan. Apalagi, orang Aceh dulu juga pernah merasakan menjadi pencari suaka ke negara lain di zaman perang. Aceh juga pernah merasakan membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa kembali hidup normal setelah dihantam gelombang tsunami.
Semoga kita belum lupa dengan masa-masa pedih itu.
Karena itu, sudah tepat si tokoh ulama muda yang malam itu semobil dengan saya menolak permintaan untuk membuat video pernyataan menolak Rohingya di Aceh. Hanya saja, tampaknya ada tekanan yang datang sehingga dia tak berani bersuara di media. Walhasil, yang menonjol adalah suara-suara penolakan.