KOALISI GEMUK KABINET PRABOWO

 Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman memberi sinyal bahwa Prabowo Subianto KOALISI GEMUK KABINET PRABOWO
JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman memberi sinyal bahwa Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan membentuk koalisi gemuk dalam mengawal pemerintahannya ke depan. Koalisi gemuk itu akan beranggotakan Koalisi Indonesia Maju dan sejumlah partai politik pendukung calon presiden rival Prabowo dalam pemilihan presiden 2024.

Habiburokhman mengatakan, setelah menemui Ketua Umum Partai NasDem—anggota Koalisi Perubahan yang menjadi pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar—Surya Paloh, Prabowo juga akan menyambangi sejumlah ketua umum partai lainnya. Satu di antaranya adalah pemimpin Partai Persatuan Pembangunan—partai pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud Md. dalam pemilihan presiden.

"Bukan hanya NasDem, ya. (Akan) ketemu jajaran pemimpin PPP juga," kata Habiburokhman di Kompleks DPR, Jakarta, Jumat, 22 Maret 2024.

Habiburokhman menegaskan, Prabowo tak ingin membuang-buang waktu. Sehingga Ketua Umum Gerindra itu memilih bergerak cepat untuk merangkul semua partai politik. Tujuannya agar Prabowo-Gibran bisa langsung merealisasi program kerjanya setelah pelantikan presiden dan wakil presiden pada Oktober mendatang. “Jadi, mulai Oktober, sudah mulai langsung 'gas pol'," kata dia.

Komisi Pemilihan Umum menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang pemilihan presiden pada 20 Maret 2024. Pasangan calon presiden nomor urut dua itu meraih 96,21 juta suara atau 58,6 persen. Dua rivalnya, Anies-Muhaimin memperoleh 40,97 juta suara atau 24,9 persen dan Ganjar-Mahfud meraih 27,04 juta suara atau 16,5 persen.

Tujuh partai politik dalam Koalisi Indonesia Maju menjadi pengusung Prabowo-Gibran. Ketujuh partai itu adalah Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Bulan Bintang, dan Partai Gelora. Tapi hanya empat partai pengusung Prabowo yang berhasil meraih suara dalam Pemilu 2024 di atas ambang batas parlemen, yaitu Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN.

Keempat partai tersebut diperkirakan hanya memiliki 280 kursi di DPR. Angka ini tak sampai setengah dari total 580 anggota DPR periode 2024-2029. Sekitar 300 kursi DPR lainnya diraih PDIp, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera.

Setelah penetapan KPU tersebut, Ketua Umum NasDem Surya Paloh dan pelaksana tugas Ketua Umum PPP, Muhammad Mardiono, memberikan ucapan selamat atas hasil pemilu tersebut. Mardiono bahkan mendoakan agar hasil pemilihan presiden merupakan yang terbaik bagi Indonesia.

"Semoga hasil pemilihan presiden dan wakil presiden ini merupakan yang terbaik untuk bangsa, negara, dan rakyat Indonesia," kata Mardiono, Kamis pekan lalu.

Adapun Surya Paloh sudah bertemu dengan Prabowo secara langsung, Jumat pekan lalu. Seusai pertemuan itu, Paloh memberi sinyal akan bergabung ke koalisi pemerintahan Prabowo ke depan. “Itu 50 : 50 possibility-nya,” kata Paloh.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, berpendapat bahwa Prabowo-Gibran membutuhkan tambahan koalisi jika ingin mendominasi parlemen. Prabowo membutuhkan dukungan partai politik yang mayoritas di DPR agar menantu Presiden Soeharto itu leluasa menjalankan agenda politiknya.

“Koalisi gemuk menjadi keharusan pemerintahan Prabowo-Gibran agar di kabinet dan parlemen aman,” kata Ujang, Ahad, 24 Maret 2024.

Ia menduga kuat Prabowo akan merangkul semua partai di DPR. Sebab, calon presiden yang dicitrakan gemoy—artinya gemas atau menggemaskan—selama masa kampanye itu pasti akan kesulitan merealisasi janji politiknya ketika tak memiliki dukungan kuat di parlemen.

Ujang mencontohkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Joko Widodo (2014-2024) yang merangkul partai pendukung rivalnya dalam pemilihan presiden ke dalam koalisi pemerintah. Mereka memastikan kekuatan partai politik pendukungnya di DPR menjadi mayoritas.

Namun Ujang mengingatkan dampak buruk ketika koalisi partai pendukung pemerintah sangat gemuk. Kondisi tersebut akan sangat berbahaya ketika eksekutif hanya mengutamakan kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Eksekutif akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan karena pengawasan DPR melemah.

Checks and balances tidak akan ada. Lalu oposisinya akan bergeser kepada masyarakat sipil dan akademikus,” kata dia. “Kekuasaan yang kuat, maka penyalahgunaannya juga akan banyak.”

Ia menganjurkan, meski tidak mayoritas, oposisi di DPR harus tetap tangguh. Sehingga mereka tetap dapat mengawasi eksekutif dengan baik.

(Sumber: Koran TEMPO, Senin, 25 Maret 2024)

Share Artikel: