Kenapa Lowongan CPNS di BRIN sepi peminat? Lulusan S3 lebih milih kerja di LN dengan gaji 10 kali lipat
Catatan Dimas Budi Prasetyo di akun fbnya:
Istri dulu saat masih kerja jadi peneliti di kampus Belanda, sempat ada terbersit keinginan pulang ke Indonesia dan akhirnya mendaftar ke BRIN ini, karena kebetulan saat itu ada lowongan. Alasannya, waktu itu kami LDR dengan Sierra dan dia nggak kuat tinggal berjauhan.
Akhirnya, jalan hidup mengharuskan kami tetap tinggal di Belanda. Dengan kualifikasi yang dipunya istri, kemudian lowongan BRIN yang saat itu lebih banyak formasi daripada yang daftar, jelas sekali bahwa setiap yang daftar hampir 99% diterima.
Syarat daftarnya saja susah, wajib lulusan S-3. Sekarang, berapa banyak lulusan S-3 di Indonesia? Jumlahnya menurut riset saja, hanya 0,00 mbuh persen dari total seluruh penduduk Indonesia.
Kuliah sampai S-3 itu memang berat, pantas saja syarat kerja di BRIN itu susah dan berat. Berat karena nempuh kuliahnya susah dan lama, habisin banyak biaya, gaji yang diterima pun, hmm, begitulah. Saya tidak mau berkomentar panjang lebar soal lingkungan kerja, dukungan untuk riset, dan lain sebagainya, karena akan semakin melebar.
Itulah yang kemudian membuat istri, dan kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses seleksi. Saat wawancara pun, istri dengan berkata terus terang bahwa sudah diterima kerja di salah satu perusahaan teknologi di Belanda kepada tiga orang interviewer (pewawancara).
Apalagi, kami kemudian nekat membawa Sierra ke Belanda. Saat sudah berkumpul kembali, kehidupan kami berubah 180 derajat. Kami nggak gampang stres, kebahagiaan muncul kembali.
Apalagi kemudian Sierra suka sekali tinggal di sini, sehingga membuat kami yakin bahwa memang rezeki kami letaknya bukan di Indonesia.
Berbicara soal gaji, akan tidak fair jika kemudian dikonversi ke rupiah. Meskipun faktanya, perbandingan gaji BRIN yang ditawarkan pada istri dan gaji yang diterima di Belanda, selisihnya jauh sekali.
Mau di spill tipis-tipis? Perbandingannya di atas 10 kali lipat.
Kurang fair jika kemudian tidak dihitung dengan biaya hidup? Baik, mari dibuat sederhana saja.
Katakanlah istri jadi pegawai BRIN dengan gaji 10 juta, kemudian dia ditempatkan di Bandung, karena bidang ilmunya kemungkinan besar dia akan ditempatkan di Bandung. Apakah gaji 10 juta bisa dibuat hidup nyaman di Bandung? Bisa, tentu bisa. Tergantung gaya hidup dan tentu saya juga harus kerja.
Misalkan kemudian kerja di Bandung dan dengan gaji 10 juta, ditambah saya misalkan gajinya 8 juta katakanlah, berapa banyak kami bisa menabung dan waktu dibutuhkan, misalnya demi cita-cita berangkat umrah misalkan berdua? Berapa tahun kira-kira?
Kalau gaji istri di Belanda sebagai lulusan S-3? Cukup, InsyaAllah sangat cukup. Bahkan saya sebenarnya tidak perlu kerja pun kami masih bisa hidup dengan cukup.
Tapi tentu, saya sebagai laki-laki nggak mungkin nggak kerja kan? Selain soal harga diri, saya bakal merasa berdosa sekali tidak bisa memberi nafkah keluarga.
Kami bekerja berdua belum genap 4 tahun di Belanda. Alhamdulillah, cita-cita umrah bisa dilaksanakan dalam waktu singkat. Bahkan tidak hanya berdua, semua orang tua kami ajak sekalian bersama anak-anak plus tantenya.
Bonus lainnya, bisa mengajak semua orang tua dan adik-adik keliling Eropa.
Bagaimana kemudian jika kami kerja di Indonesia? Butuh berapa tahun mewujudkan semua itu?
Sampai di sini, bisa dilihat bagaimana perbedaan yang cukup mencolok antara nasib lulusan S3 yang kerja di LN dan di Indonesia, bukan?
Saya nggak sedang maido atau merendahkan, karena faktanya, lulusan-lulusan S-2 dan S-3 memang belum banyak terserap maksimal dengan baik di tanah air. Akhirnya pilihan karirnya pun terbatas, dengan mayoritas menjadi dosen.
Kalau di LN, mayoritas lulusan S-3 justru berkarir di industri, yang tentu reward atau penghargaan berupa gaji sangat baik. Tidak hanya itu, lingkungan kerja yang baik dan sangat ramah keluarga, work-life balance, yang akhirnya memantapkan niat kami untuk membesarkan anak-anak di sini.
Semoga tulisan ini jadi referensi adik-adik atau teman-teman yang memang punya cita-cita kuliah sampai S-3. Bahwa tidak ada ruginya sama sekali kita sekolah atau kuliah setinggi mungkin.
Jika kemudian merasa di dalam negeri kurang mendapat apresiasi, kita bisa mencarinya di tempat lain. Percayalah, memiliki kemampuan dan ilmu yang baik itu berguna sekali.
Kita bisa mandiri dengan kemampuan sendiri, bahkan bisa banyak manfaatnya bagi sekitar. Kita pun tidak perlu pakai orang dalam, apalagi sampai ngrepotin bapak.
(sumber: fb)