Konklaf Vatikan dan Suksesi Kepemimpinan Khalifah
By Ruby Kay
Sehari setelah hari raya Paskah, Paus Fransiskus yang pernah berkunjung ke Jakarta itu wafat. Dan seperti biasa, gereja Katholik kembali menggelar konklaf, yaitu pertemuan para kardinal untuk memilih pemimpin ummat Katholik yang baru.
Walaupun mayoritas ummat Katholik masih dalam suasana berduka atas meninggalnya Paus Fransiskus, tapi konklaf harus segera diadakan karena kekosongan jabatan Paus tak boleh dibiarkan berlama-lama. Supremasi hukum dan politik atas tahta tertinggi gereja Katholik harus tetap ditegakkan ditengah suasana berduka.
Tahun ini ada 135 kardinal dari segala penjuru dunia yang punya hak suara untuk memilih dan dipilih menjadi Paus, termasuk salah satunya kardinal dari Indonesia, Ignatius Suharyo. Kemungkinan besar beliau akan hadir menjadi salah satu peserta dalam konklaf di Vatikan.
FYI, sistem konklaf ini sudah berlangsung dari tahun 1294 hingga sekarang. Sejak 8 abad yang lalu, mekanisme dan prosedurnya masih tetap sama. Seorang Paus mesti memperoleh 2/3 suara dari keseluruhan kardinal yang hadir dalam rapat tertutup di Vatikan. Jika belum ada kardinal yang memperoleh 2/3 dukungan suara, maka asap hitamlah yang akan keluar dari cerobong asap kapel Sistina di Vatikan. Sebaliknya, asap putih menandakan bahwa Paus yang baru sudah terpilih dan siap diperkenalkan ke publik untuk kemudian dilantik, dikukuhkan menjadi pemimpin ummat Katholik.
Sistem konklaf yang sudah berlangsung selama 8 abad itu harus diakui menjadi sistem suksesi tertua yang mampu menjaga persatuan ummat Katholik diseluruh dunia. Ada 1,4 milyar ummat Katholik yang memasrahkan sepenuhnya pemilihan Paus pada konklaf.
Tentu tak semua ummat Katholik setuju dengan hasil konklaf. Akan ada saja pihak yang merasa kurang cocok dengan Paus yang baru terpilih nanti. Akan selalu ada pihak diinternal ummat Katholik yang bersuara sumbang. Paus yang baru tidak tegaslah, terlalu moderatlah, sekuler, liberal, konservatif, kaku dan lain sebagainya. Tapi karena aturan konklaf sudah baku dan mengikat, suara-suara sumbang itu lambat laun akan menghilang dengan sendirinya. Mayoritas ummat Katholik dari Italia, Brazil, Filipina hingga Indonesia akan bersuka cita menyambut terpilihnya Paus yang baru.
Begitulah. 1,4 milyar kepala tentu punya pandangan yang beragam. Tapi dengan konklaf, semua perbedaan itu bisa disatukan. Bagaimanapun kebijakannya nanti, seorang Paus akan tetap dihormati oleh ummat Katholik sebagai seorang pemimpin spiritual.
Dan tiap kali terjadi konklaf di Vatikan, gue selalu teringat dengan suksesi 4 khalifah dalam sejarah Islam.
Rasulullah wafat tanpa meninggalkan wasiat apapun terkait siapa yang layak untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Beliau seakan menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepada para sahabat.
Rasulullah wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H (8 Juni 632 M). Kala itu semua ummat Islam berduka. Bahkan seorang Umar bin Khattab yang dikenal garang pun terkulai lemas menangis sedu sedan meratapi kepergian baginda Nabi. Walau begitu, beliau memahami satu hal penting, ummat Islam mesti segera memilih seorang khalifah untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW.
Kenapa Umar bin Khattab tak mau berlama-lama larut dalam kesedihan? Karena benih-benih perpecahan ummat Islam mulai tampak pasca meninggalnya Rasulullah. Anshor dan Muhajirin secara diam-diam mulai menunjuk pemimpinnya masing-masing. Rentan terjadi gesekan di internal ummat, dan kondisi itu tak boleh dibiarkan.
Menyikapi hal itu, Umar tak tinggal diam. Saat Madinah masih dalam suasana berkabung, ia menggalang para sahabat untuk segera mengadakan musyawarah. Siapakah yang paling layak menjadi suksesor Nabi Muhammad SAW?
Umar bin Khattab langsung menunjuk Abu Bakar sebagai orang yang paling layak untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah. Abu Bakar mertua Rasulullah. Abu Bakar juga yang menemani hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Semua orang tahu kalau Abu Bakar lah yang selalu berada disamping Rasulullah dalam suka dan duka. Tak ada seorang pun yang meragukan beliau, baik kalangan Anshor maupun Muhajirin.
Maka Abu Bakar pun secara aklamasi diangkat menjadi khalifah pertama menggantikan baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau menjalankan amanah itu selama 2 tahun hingga wafat di tahun 634 M karena sakit.
Selama 2 tahun menjadi khalifah itu, rupanya Abu Bakar sudah menyiapkan suksesor. Setelah berdiskusi dengan beberapa sahabat, Abu Bakar membuat surat wasiat yang ditulis oleh Ustman Bin Affan. Didalamnya termaktub nama Umar Bin Khattab sebagai satu-satunya calon khalifah yang berhak meneruskan estafet kepemimpinan setelah Abu Bakar. Surat wasiat itu diketahui oleh para sahabat, disegel, diberi stempel khusus dan disimpan layaknya dokumen negara.
Naiknya Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua diterima oleh semua faksi. Beliau menjabat selama 10 tahun dari tahun 634-644 M. Saat menjadi imam sholat subuh, Umar ditikam oleh seorang budak dari Persia. Walau sempat bertahan selama beberapa hari, luka akibat tikaman itulah yang akhirnya menjadi penyebab wafatnya Umar bin Khattab.
Berbeda dari Abu Bakar, Umar tak menyiapkan surat wasiat terkait siapa suksesor yang layak untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah. Umar hanya berpesan kepada para sahabat untuk membentuk 6 orang tim formatur alias dewan syuro yang betugas memilih khalifah berikutnya.
Enam orang dewan syuro itu ialah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW. Seperti kardinal dalam konklaf, mereka memiliki hak untuk memilih dan dipilih. 6 orang itu ialah:
1. Thalhah bin Ubaidillah
2. Zubair bin Awwam
3. Ustman bin Affan
4. Ali bin Abu Thalib
5. Abdurrahman bin Auf
6. Sa’ad bin Abi Waqqash
Hasilnya:
Thalhah memilih Ustman bin Affan
Zubair memilih Ali bin Abu Thalib
Sa’ad memilih Abdurrahman bin Auf
Namun Abdurrahman bin Auf menyatakan tidak bersedia dicalonkan sebagai khalifah. Dan akhirnya menyisakan 2 orang kandidat, yaitu Ustman dan Ali.
Abdurrahman bin Auf melepaskan haknya untuk dipilih sebagai khalifah tapi masih memiliki hak untuk memilih. Selang beberapa hari kemudian, beliau memberikan suaranya kepada Ustman bin Affan. Tak lama kemudian, Ali pun menjatuhkan pilihannya kepada Ustman dan secara legowo menerima hasilnya.
Ustman 3
Ali 1
Abdurrahman 1
Thalhah 0
Zubair 0
Sa’ad 0
Sepintas metode dewan syuro saat pemilihan khalifah ke-3 itu mirip dengan konklaf yang kini dijalankan oleh gereja Vatikan. Bedanya, Vatikan dengan legitimasinya bisa menjadikan sistem itu bertahan selama 8 abad.
Ali bin Abu Thalib naik menjadi khalifah ke-4 setelah terbunuhnya Ustman bin Affan. Tak seperti pendahulunya, Ali tak mendapat restu dari beberapa pihak. Tak lama setelah menjadi khalifah, Aisyah dan Muawiyah memberontak. Perang saudara yang banyak menelan korban jiwa pun terjadi. Pihak yang dulunya bahu membahu di perang Badar dan Uhud, seketika saling menghunuskan pedang diperang Jamal.
Dan hingga kini, ummat muslim tidak memiliki pedoman atau sistem yang baku dalam menjalankan suksesi kepemimpinan. Ummat seperti diberi kebebasan untuk mencari caranya sendiri.