@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

LG resmi mundur dari proyek baterai listrik Indonesia senilai Rp 150 triliun. Yang menggantikan? Huayou dari Cina

HEBOH MUNDURNYA LG DARI PROYEK BETERAI LISTRIK INDONESIA LG resmi mundur dari proyek baterai listrik Indonesia senilai Rp 150 triliun. Yang menggantikan? Huayou dari Cina
HEBOH MUNDURNYA LG DARI PROYEK BETERAI LISTRIK INDONESIA

LG Energy Solution resmi mengakhiri kerja sama proyek baterai listrik Indonesia senilai 150 triliun rupiah.

Yang menggantikan? Huayou dari Cina.

Pergantian ini mungkin terlihat mulus, tapi apa dampaknya?

Setelah hampir lima tahun menunggu realisasi kerja sama, LG Energy Solution akhirnya mundur dari proyek pengembangan baterai kendaraan listrik di Indonesia.

Mundurnya LG ini diumumkan langsung oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.

LG sebelumnya jadi bagian dari konsorsium besar bernama Indonesia Grand Package. Proyek ini punya nilai jumbo, yaitu US$ 9,8 miliar (Rp 150 triliun).

Jadi, wajar kalau kabar ini cukup bikin banyak pihak kaget..

Apakah proyek ini bubar?

Jawabannya, enggak. Pemerintah menegaskan proyek tetap lanjut, hanya saja struktur investor-nya berubah.

LG digantikan oleh perusahaan asal Cina, yaitu Huayou. Huayou sendiri bukan pemain baru di dunia baterai. Mereka sudah punya pengalaman global di pengembangan material baterai litium ion dan kobalt.
HEBOH MUNDURNYA LG DARI PROYEK BETERAI LISTRIK INDONESIA LG resmi mundur dari proyek baterai listrik Indonesia senilai Rp 150 triliun. Yang menggantikan? Huayou dari Cina
Menurut pernyataan resmi, mundurnya LG nggak akan mengubah rencana produksi ataupun infrastruktur.

Pemerintah menjamin semuanya masih sesuai roadmap awal. Tapi tentu, pergantian mitra ini tetap memunculkan banyak tanda tanya dari berbagai pihak. Terutama terkait dengan alasan di balik keluarnya LG dari proyek sebesar ini.

Kita kilas balik mundur sebentar..

👉Awalnya, LG dan pemerintah Indonesia meneken nota kesepahaman sejak 18 Desember 2020.

Tapi selama lima tahun berjalan, negosiasi nggak kunjung menghasilkan keputusan yang konkret.

Menurut Menteri Investasi Rosan Roeslani, inilah yang akhirnya bikin pemerintah memutuskan kontrak secara sepihak. Proses ini diakhiri lewat surat resmi tertanggal 31 Januari 2025.

Selain negosiasi yang alot, ternyata ada faktor lain yang mempercepat penggantiannya. 

Huayou udah nyatakan minat sejak 2024 dan siap masuk ke proyek. 

Mereka bahkan disebut udah punya teknologi yang sesuai kebutuhan proyek.

Jadi bisa dibilang, pergantian ini sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Hal ini juga bikin transisi ke mitra baru bisa dilakukan lebih cepat.

Yang menarik, Antam, BUMN yang juga terlibat dalam proyek tetap lanjut meski LG mundur.

Antam menegaskan mereka akan tetap mendukung pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik nasional.

Proyek ini juga masih sejalan dengan strategi hilirisasi nikel yang digalakkan pemerintah.

Jadi bisa dibilang, semangatnya nggak kendor.
Apa dampak investasi LG gagal?

Gak bisa dimungkiri, ada kekhawatiran soal dampaknya terhadap iklim investasi.

Beberapa pihak menilai, mundurnya LG bisa bikin investor lain ragu untuk masuk. Ini karena proyek besar semacam ini butuh kepastian hukum dan stabilitas kebijakan yang kuat.

Selain itu, efek lainnya adalah tertundanya transfer teknologi. LG sebagai perusahaan besar punya banyak potensi untuk bawa pengetahuan dan inovasi.

Ketika mereka mundur, kesempatan itu bisa jadi hilang atau tertunda.

Padahal, salah satu tujuan proyek ini adalah membangun kemandirian teknologi di sektor EV (kendaraan listrik) nasional. 

Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Apa kata pengamat?

Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menjelaskan bahwa keluarnya LG bisa berdampak pada posisi Indonesia dalam rantai pasok EV global.

Ia menyoroti pentingnya investasi asing dalam mendorong nilai tambah nikel nasional.

Putra juga mengingatkan soal risiko global, seperti proteksionisme AS dan perang dagang. Situasi ini bikin pasar ekspor makin kompleks.

Jadi, kehilangan mitra strategis bisa bikin kita kehilangan peluang besar.

Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dari ITB, menambahkan bahwa persepsi global terhadap stabilitas kebijakan Indonesia bisa terganggu.

Menurutnya, jika pemerintah tak cepat bertindak, investor lain bisa mulai ragu.

Apalagi negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam sedang agresif memberikan insentif. 

Yannes juga menyoroti potensi efek domino dari deinvestasi. 

Situasi ini bisa jadi tantangan berat kalau tidak diantisipasi dari sekarang.

Persaingan regional memang makin panas. Thailand unggul di sektor otomotif berkat dukungan infrastruktur dan SPKLU yang merata.

Sementara itu, Vietnam menarik investor lewat fleksibilitas regulasi dan biaya tenaga kerja yang rendah. Indonesia memang punya keunggulan sumber daya nikel. 

Tapi apakah itu cukup kalau regulasi kita dinilai ribet oleh investor luar?

Pemerintah tetap menunjukkan optimisme. Mereka menargetkan produksi 9 juta motor listrik dan 600 ribu mobil listrik pada 2030.

Target ini diharapkan bantu kurangi konsumsi BBM dan emisi CO2 secara signifikan. Dasarnya adalah Perpres No. 55 Tahun 2019.

(Sumber: Thread TEMPO)