Halu
Lihat berita ini, tahun 2023. Bukan cuma Jokowi yang membual bilang jika tol tersambung ke Kertajati, maka bandara itu akan ramai. Buanyak sekali fans, pendukung bandara ini yg dulu begitu. Termasuk profesor2, ahli2, yg bernyanyi dengan kompak.
Tapi orang2 ini, benar2 tidak paham "logika pasar".
Saya sampai cuapek menjelaskannya. Tidak kurang puluhan tulisan yg sy gelontorkan, bahkan sejak Kertajati di era SBY. Ya Rabbi, benar2 percuma semua tulisan tsb.
Apa sih logika pasar?
Sederhana sekali: ramai atau tidaknya sebuah produk atau jasa tergantung dgn pembeli maunya bagaimana. Simpel banget.
Nah, kamu pikir dong, Bandung - Kertajati itu bahkan garis lurus saja 70 kilometer. Belum lagi kalau belok2. Tetap butuh 2 jam dari tengah kota Bandung. Kecuali elu bangun portal klan Aldebaran. Bisa plop! Sampai di jidatmu.
Konsumen mau ke sana? Tergantung. Jika pilihan terbang lebih banyak, tiket lebih murah, mereka akan bersedia. Tapi, nah inilah yg kamu benar2 bodoh! Konsumen punya pilihan Soekarno Hatta, dan atau Halim. Ngapain penduduk Bandung ke Kertajati saat ongkos dan fleksibilitas rute lebih tinggi ke Soekarho Hatta dan Halim?
Stupid!
Tahun 2024, hanya 400.000-an penumpang ke Kertajati. Sorry banget, bahkan buku bajakan Tere Liye tahun 2024 terjual 2,5 juta eksemplar. Mencret banget ini bandara.
Hari ini, tol sudah jadi, segala sdh jadi, saksikanlah, semua ucapan mereka halu. Alias ngimpi. Dan mereka luput satu hal: mereka telah menzolimi 2 juta penumpang dari Bandung, yang selama ini lewat Husein.
Sungguh zolim luar biasa bertahun2 sejak Husein ditutup.
Dulu, 2 juta penumpang ini hemat waktu, hemat biaya, hemat stress. Sekarang dengan Husein ditutup, 2 juta ini terpaksa bayar duit lebih banyak, waktu dan stress. Hanya gara2 ego pejabat. Kamu nyadar nggak telah zolim? Belum lagi Kertajati ngabisin duit 60 milyar lebih buat operasional, lagi2 duit siapa?
Dan saat Kertajati gagal total, pejabat punya solusi baru: tutup HALIM! Biar penduduk Bandung tidak ke sana. Seriusan loh, menutup HALIM itu sudah dipikirkan pejabat2 pekok itu.
(Tere Liye)