@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

MUSUH KITA SAMA, TAPI LIDAH KITA MENYESATKAN!

bebaskan dulu pikiranmu dari kebencian sektarian yang disusupkan oleh penjajah MUSUH KITA SAMA, TAPI LIDAH KITA MENYESATKAN!
MUSUH KITA SAMA, TAPI LIDAH KITA MENYESATKAN!

Oleh: M Fazwan Wasahua

“Sebelum Palestina dibebaskan, bebaskan dulu pikiranmu dari kebencian sektarian yang disusupkan oleh penjajah.”

Palestina bukan sekadar tanah yang diduduki. Ia adalah medan makna yang direbut. Dan kita, umat manusia—terutama umat Islam—telah terlalu lama kalah dalam merebut makna itu. Kita bicara senjata, tapi lupa bahwa sebelum peluru, ada kata. Dan sebelum perang, ada narasi.

Mustahil bicara pembebasan Palestina tanpa memenangkan wacana dominan. Mustahil memimpikan merdeka jika tak tahu dari siapa kita hendak merdeka. Bahkan lebih tragis, sebagian dari kita diam-diam menjadi alat perpanjangan narasi musuh, tanpa sadar. Dalam ceramah, dalam konten, dalam diskusi. Semua berawal dari tafsir yang dibelokkan.

Israel, Amerika, dan kroni-kroninya tidak hanya membunuh dengan misil, dengan drone, atau dengan F35. Mereka juga menyusupkan narasi. Mereka mengajar dunia memandang penjajahan sebagai konflik. Membungkus apartheid dengan diplomasi. Mereka menyisipkan keraguan di benak kita: benarkah yang kita bela itu benar? Benarkah yang melawan itu pahlawan?

Mereka menyusun siasat agar perjuangan Palestina menjadi kabur. Bukan karena tak ada korban, tapi karena korban dipertanyakan. Karena pembela dijadikan pesakitan. Karena mereka yang berdiri melawan—dengan keberanian dan darah—dicap sebagai ekstremis, teroris, Syiah, sesat.

Narasi dominan telah lama digerogoti. Sementara kita tak cukup waspada. Kita pikir itu hanya perbedaan mazhab. Padahal itu adalah strategi pecah belah. Dan lebih parah, strategi itu kini dipelihara oleh sebagian kita sendiri.

Kita diperhadapkan pada wacana dua negara: Two State Solution. Sebuah kompromi palsu yang memaksa korban untuk berbagi tanah dengan penjajah. Sebuah logika gila yang jika diterapkan ke tubuh kita sendiri, akan terasa menjijikkan. Seolah pemerkosa dan korban dipaksa menikah demi “masa depan yang damai.”

Lalu datanglah normalisasi. Satu per satu negara Arab menjilat luka sejarahnya sendiri. Mereka berjabatan tangan dengan penjajah. Mereka menjual harga diri dengan dalih stabilitas kawasan. Tapi siapa yang stabil? Siapa yang terus diratakan oleh bom?

Puncaknya: Deklarasi Abraham. Komedi gelap yang mempertemukan para penjual kepentingan dalam nama suci agama. Mereka memanggil Tuhan untuk menyaksikan transaksi pengkhianatan terhadap tanah para nabi.

Dunia mulai bingung. Tak tahu lagi siapa yang benar, siapa yang salah. Lalu mereka mencari jawaban ke media sosial. Dan yang mereka temui: dakwah-dakwah sektarian, ceramah-ceramah penuh racun, konten Tiktok yang menghina perlawanan, Youtube yang menyesatkan, Instagram yang menyamar. Perlawanan yang dibangun oleh kelompok yang berbeda mazhab justru diserang. Hizbullah, Iran, kelompok-kelompok yang nyata menantang Israel—dituduh Syiah, sesat, bukan bagian dari Islam. Dituduh punya agenda gelap. Padahal yang mereka lawan adalah juga yang kita kutuk dalam doa.

Sebagian ustadz Sunni, seluruh Wahabi, dan mungkin sebagian HTI,—semuanya memainkan peran yang sama: membelokkan fokus umat. Mereka memutar lensa dari penjajahan ke perbedaan furu’iyyah. Mereka berceramah bukan untuk membela Palestina, tapi untuk mewanti-wanti agar tidak perlu terlalu heboh menyanjung poros perlawanan.

Kita tidak hanya dijajah oleh mereka yang terang-terangan mengusir. Kita juga dikhianati oleh mereka yang menyamar sebagai guru, tapi sejatinya penyambung lidah penjajah. Mereka menjadikan akidah alat untuk menyuburkan perpecahan. Inilah marketing mazhab. Mereka menjual kebencian sebagai kesalehan. Mengemas narasi sektarian sebagai perlindungan akidah. Padahal sejatinya, mereka sedang menghancurkan kekuatan umat dari dalam.

Dan kita terlalu lama diam. Kita beri mereka ruang. Kita undang mereka di televisi. Kita sebut mereka ulama. Kita biarkan umat diasuh oleh mereka yang tak tahu siapa musuh sejatinya. Mustahil menyelesaikan persoalan Palestina jika kita tak memahami siapa yang harus dilawan bersama. Dan lebih dulu dari itu: kita harus tahu siapa yang sedang menyesatkan arah perjuangan.

Wacana adalah awal dari segalanya. Ia adalah api kecil yang menyalakan bara perjuangan. Tapi juga bisa menjadi kabut yang menyesatkan arah. Hari ini, kita dikelilingi oleh kabut. Kabut yang diciptakan dengan cermat oleh musuh, tapi disebarkan oleh saudara sendiri.

Setiap konten yang membingungkan umat dari siapa musuh sejati adalah bagian dari proyek penjajahan. Setiap ceramah yang memecah karena beda mazhab adalah bagian dari sabotase perjuangan.

Kita tak punya pilihan selain melibas para pembual. Melawan bukan hanya Israel, tapi juga lidah-lidah yang mengaburkan makna perjuangan. Kita harus rebut kembali ruang-ruang digital. Kita harus buka suara—dengan keras, jelas, dan tak kenal kompromi.

Perjuangan ini tak bisa diganggu oleh paranoia mazhab. Tak bisa ditunda oleh debat tafsir. Tak bisa dihambat oleh kebencian yang dijual atas nama menjaga kemurnian. Sebab hari ini, solidaritas saja tak cukup. Yang kita butuhkan adalah kesadaran kolektif. Kesadaran siapa musuh kita, dan siapa yang menyamar sebagai saudara, padahal menusuk dari belakang.

Kita harus membongkar strategi mereka. Harus menelanjangi wacana palsu. Harus berani menyebut nama mereka yang mengaburkan jalan menuju kemerdekaan Palestina.

Tidak semua yang memakai sorban berpihak pada yang tertindas. Tidak semua yang mengutip dan bahkan penghafal Quran berdiri bersama yang dizalimi. Sebagian dari mereka hanya berdagang pengaruh, berdagang like, berdagang mazhab. Bahkan, mereka tak segan-segan jadi pembunuh berdarah dingin atas nama menjaga akidah.
Sementara para pendengar setia mereka—ikut menjadi korban. Menjadi tentara yang tak sadar sedang bertempur untuk musuh.

Ditengah keriuhan itu, anak-anak Palestina terus dibantai. Dan sebagian umat malah sibuk menentukan siapa yang layak dibela dari sisi mazhab.

Apakah kita sudah sedemikian rusaknya hingga lebih benci pada perbedaan mazhab dibanding pada penjajahan terang-terangan? Apakah dakwah kita sedemikian dangkal hingga menolak bergandengan tangan dengan siapa pun yang berbeda, meski menuju musuh yang sama?

Perlawanan tak bisa dibangun di atas pemikiran dan atau prinsip semacam ini. Ia hanya tumbuh di tanah persatuan. Dan persatuan tak akan lahir dari mulut-mulut yang setiap hari memecah umat atas nama akidah.

Saatnya kita memilih: diam dan terus dikalahkan, atau bersatu, bersuara dan melawan. Tapi melawan dengan peta yang benar, dengan musuh yang jelas, dengan wacana yang tak lagi bisa diretas oleh musuh.

Palestina akan tetap menderita jika kita tak memutus rantai pengaburan ini. Jika kita tak berani menyebut penjajah dengan kata yang tepat. Dan menyebut pengkhianat dari dalam dengan nama yang sepadan. Maka selamanya Palestina akan terjajah, bahkan punah.

Ini bukan soal Syiah atau Sunni. Ini soal siapa yang melawan dan siapa yang membelokkan arah perlawanan. Dan sejarah tak akan mengampuni kita jika kita membiarkan generasi selanjutnya tumbuh dalam kabut yang sama. Dalam narasi yang sama. Dalam kebingungan yang sama.

Kita harus menyusun ulang peta jalan perjuangan global. Kita harus tentukan arah. Kita harus pastikan bahwa yang memimpin narasi adalah mereka yang benar-benar berpihak pada kebenaran, bukan pada pasar mazhab. Dan kita harus mulai dari sekarang. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum satu-satunya suara yang tersisa adalah suara penjajah yang menyamar jadi penyelamat.

Palestina menunggu. Tapi yang lebih dulu harus dibebaskan adalah pikiran kita. Sebab bagaimana mungkin kita akan membangun narasi, sementara pikiran kita penuh virus sektarian?

Narasi itu tak pernah netral. Ia selalu berpihak. Jika kita diam, narasi akan berpihak pada mereka yang paling sering berbicara, paling lantang, dan paling berani menyebarkan kebohongan dengan percaya diri.

Itulah yang dilakukan musuh. Mereka berbicara terus, tanpa jeda. Mereka menulis sejarah mereka sendiri. Merangkai istilah yang tampaknya ilmiah, padahal sarat tipu daya. Mereka membuat rakyat Palestina terlihat seperti ancaman, padahal merekalah yang terusir dari tanahnya sendiri. Dan yang lebih tragis, sebagian orang malah ikut menyebarkan narasi itu. Mengulang istilah musuh. Memakai bahasa penjajah. Lalu menyebut itu sebagai keadilan syariah. Bahkan sebagian yang katanya ulama mengeluarkan fatwa bahwa haram mengangkat senjata dan melawan. Inilah penjajahan pikiran: ketika korban merasa harus meminta maaf karena melawan.

Jika kesadaran kita tidak dibebaskan, maka tak akan ada tanah yang bisa benar-benar merdeka. Sebab musuh tak butuh menguasai semua wilayah—ia hanya perlu menguasai cara umat memandang dunia.

Inilah saatnya kita menolak semua yang membingungkan kita dari siapa lawan kita. Kita tak punya waktu lagi untuk drama akidah yang dibuat-buat. Tak ada kemurnian tauhid yang bisa dipertahankan jika umatnya terus dibunuh dan kita masih sibuk bertengkar soal mazhab.

Kita harus menyalakan obor makna. Menyusun ulang narasi. Menyaring siapa yang layak bicara, dan siapa yang sebaiknya diam. Karena suara-suara palsu itu sudah terlalu lama mengaburkan jalan kita menuju pembebasan.

Kebenaran bukan milik mayoritas suara. Tapi ia hanya hidup jika masih ada yang mau membelanya. Maka tugas kita hari ini bukan mencari jalan tengah dengan pembual. Tugas kita adalah membersihkan panggung.

Palestina butuh lebih dari sekadar donasi. Ia butuh pembelaan narasi, penyatuan arah, penyatuan umat yang tahu siapa lawan, dan berani berdiri bersama siapa pun yang melawannya, tak peduli mazhab, ras, atau sekat-sekat lama yang diwariskan oleh musuh itu sendiri, atau, kebodohan kita sendiri.

Pada akhirnya, perjuangan ini bukan hanya tentang tanah, bukan hanya tentang bangsa. Tapi tentang kita: apakah kita masih punya keberanian untuk berpihak? Ataukah kita sudah terlalu nyaman hidup dalam wacana musuh?

Jika kita tak bisa membebaskan Palestina, setidaknya jangan menjadi penghalangnya. Jika kita belum mampu berperang, setidaknya jangan ikut memecah barisan. Jika kita belum bisa bersuara keras, setidaknya jangan membungkam mereka yang sedang bersuara untuk kita semua, apalagi cuman nyinyir dengan ego sektarian karena takut kehilangan panggung. Jika tidak, maka selain pecundang, kita adalah aib dalam sejarah umat manusia.

(fb)