@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Prabowo & Menteri Antik

vkMeYKBTPnvHBwfRIdTLsgJdiaDhNMvCcwEwfiYbCzdVn Prabowo & Menteri Antik
Kelakuan Antik Menteri-Menteri Sekarang

Oleh: Made Supriatma

Beberapa waktu lalu saya terlibat diskusi serius dengan beberapa awak media. Mereka bercerita bahwa Presiden yang sekarang jarang sekali bertemu dengan menteri-menterinya. Dia dilindungi dalam kepompong yang tertutup dan hanya bilangan jari orang bisa berkomunikasi langsung dengannya. 

Itu sudah rahasia umum. Hampir semua orang yang kerjaannya dekat dengan istana yang saya tanyai punya cerita bagaimana presiden ini dilindungi. Semua informasi keluar dan masuk difilter. 

Nah di bilangan jari ini juga tidak klop satu sama lain. Mereka memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Walaupun di hadapan bos mereka berusaha menimbulkan kesan solid. Namun di luar itu mereka bersaing dan saling lipat. 

Ada banyak contoh yang bisa diberikan. Namun saya tidak bisa omongkan di forum publik itu. Anda perhatikan saja orang-orang yang dekat dengan presiden itu. Nanti kan akan ketahuan. 

Akibat lain isolasi presiden ini adalah tidak adanya komunikasi dengan para menteri. Di jaman Jokowi, para menteri bisa minta waktu bicara empat mata dengan presiden khususnya kalau ada masalah mendesak. Dan presiden biasanya menyediakan waktu. Kadang pembicaraan berlarut dari waktu yang disediakan. Dari 30 menit menjadi dua jam. 

Mereka yang pernah bekerja dengan Jokowi seringkali mengatakan bahwa gaya manajemen Jokowi itu sangat mumpuni. Di luar kelakuannya yang rakus berkuasa itu. Tapi style manajemen seperti ini membuat masalah cepat tertanggulangi. Di samping Jokowi sendiri pintar mengemas bahwa masalah itu sudah selesai. Tanpa banyak ribut. 

Style komando dari presiden yang sekarang ini — yang menjauhkan jarak antara dia dan menteri-menterinya terlihat dari kurangnya pengetahuan menteri-menteri itu akan apa yang mereka akan kerjakan. Mereka tidak tahu apa bidang pekerjaannya! Apa tanggung jawabnya. 

Contoh Wamen Koperasi ini yang meminta para pengusaha untuk mengajari Koperasi Merah Putih berinvestasi di bitcoin! Apakah dia kenal konsep koperasi? Sejauh mana pengetahuannya tentang perbedaan antara dunia produksi riil dengan finance yang di awang-awang (bitcoin)? 

Kabarnya keuntungan dari Koperasi ini sebaiknya bisa diinvestasikan di Bitcoin. Sepertinya semua pejabat di jaman sekarang ini senang sekali menghembuskan angin surga. Koperasinya belum jalan, untung belum pasti (resiko rugi besar sekali), sudah diberi mimpi investasi dengan bitcoin. 
Kita memang senang berandai-andai dan berkhayal. Dan, tentu saja para pialang bitcoin dan sejenisnya senang sekali. Mereka tahu bahwa 400 trilyun dana untuk koperasi ini bukan jumlah yang main-main. Mereka juga tahu bahwa sisi bisnis dari koperasi ini sangat lemah kalau tidak ditopang oleh negara. Mereka tidak peduli sisi usaha koperasi ini -- yang mereka peduli bahwa berapa yang bisa mereka garuk dari sini. Kalau rugi, akan ada negara yang menanggungnya. Kalau untung, ya syukur. 

Belum lagi pernyataan Menteri Perlindungan Tenaga Kerja, Abdul Kadir Karding ini. Penciptaan lapangan kerja itu tugas negara dan pekerja migran itu seberapa bagus pun perlindungannya tetap bukan solusi ideal untuk mengatasi pengangguran Indonesia. 

Tidak ada yang membanggakan dari ekspor tenaga kerja dengan skill rendah keluar negeri. Itu hanya solusi sementara dan pemerintah seharusnya melakukan investasi manusia di dalam negeri untuk mencegah tenaga kerja Indonesia bekerja di luar negeri. 

Membiarkan tenaga kerja bekerja di luar negeri itu tanda negara lemah. Sangat jauh dari nasionalisme patriotik yang selalu diucapkan Presiden Prabowo. Jika tenaga terampil terdidik yang bekerja di luar negeri, itu namanya 'brain drain.' 

Jika itu tenaga kasar, itu namanya penyia-nyiaan sumber daya manusia. Kita menyelesaikan masalah negara lain -- tanpa banyak menyelesaikan masalah kita. 

Mungkin matanya Pak Menteri hanya pada devisa. Tapi bisakah dibayangkan kerugian immaterial jangka panjang yang harus ditanggung oleh negeri ini? Bisakah dibayangkan anak-anak yang tumbuh tanpa orang tua, kadang selama puluhan tahun? 

Banyak yang aneh dari menteri-menteri di kabinet ini. Selain jumlah mereka banyak sekali, juga kualifikasi mereka diragukan. 

Mengapa bukan mereka saja yang disuruh cari pekerjaan di luar negeri?

(fb)