@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Nabi Yunus ditelan atau dimakan ikan? (inilah Keunikan kata dalam Al-Qur’an, Kelebihan dari Kitab Suci yang aksara aslinya masih terjaga)

Nabi Yunus ditelan atau dimakan ikan? (inilah Keunikan kata dalam Al-Qur’an, Kelebihan dari Kitab Suci yang aksara aslinya masih terjaga)

Oleh: Halimi Zuhdy

Dr. Zaghloul Al-Najjar, seorang ilmuwan muslim yang dikenal luas dalam kajian ilmiah terhadap Al-Qur’an, mengisahkan pengalamannya yang mengubah cara pandangnya terhadap satu kata dalam kisah Nabi Yunus. Beliau mengaku telah membaca kisah Nabi Yunus ratusan kali selama puluhan tahun, namun baru dua tahun terakhir ia "berhenti sejenak" dan merenungi secara serius satu frasa dalam ayat:

"فَالْتَقَمَهُ الحُوتُ"
"Lalu ikan itu menelannya."
(Surat Ash-Shaffat: 142)

Yang membuatnya berhenti adalah satu kata kunci: "فَالْتَقَمَهُ" (fa-altaqamahu) yang berarti “menelan seperti mengulum”. Ia bertanya-tanya, mengapa Allah tidak menggunakan kata “ابتلعه” (ibtala‘ahu) yang juga berarti “menelan”? Apa bedanya?

Untuk menjawabnya, beliau mulai mempelajari jenis-jenis ikan besar yang mungkin disebut “hūt” (ikan besar) dalam ayat tersebut. Ia menemukan fakta mencengangkan: ikan biru (blue whale)— makhluk laut terbesar yang pernah hidup, bahkan lebih besar dari dinosaurus. Panjangnya bisa mencapai 35 meter, dan beratnya bisa melebihi 180 ton!

Tapi yang lebih menarik: ikan ini tidak punya gigi. Ia tidak memakan hewan besar, tapi hanya plankton — makhluk mikroskopis yang mengambang di air. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, mengambil air laut beserta isinya, lalu menyaring plankton dan membuang airnya ke samping. Artinya: mulutnya bisa sangat besar, namun kerongkongannya tidak bisa menelan sesuatu yang besar. Jika ada sesuatu yang besar masuk ke mulutnya, ia tidak bisa mengunyahnya, tidak pula menelannya.

Dan di sinilah keajaiban kata “فَالْتَقَمَهُ” terasa sangat tepat. Nabi Yunus bukan ditelan habis, tetapi dikulum— seperti sesuap makanan besar yang tidak bisa ditelan maupun dikunyah. Ia terjebak di dalam mulut ikan itu, bukan lambungnya. Maka, Nabi Yunus tetap hidup — bahkan bisa berdoa, bertasbih, dan akhirnya dikeluarkan dengan selamat.

Bayangkan, di dalam mulut ikan raksasa itu, lidahnya cukup luas untuk menampung beberapa orang dewasa berdiri, tanpa terhimpit. Dan karena ikan ini bernafas dengan oksigen, setiap 15 menit ia akan naik ke permukaan, sehingga memungkinkan udara masuk, yang membuat kondisi di dalam mulutnya menyerupai ruangan luas ber-AC.

Maka, tidak berlebihan jika Al-Qur’an tidak mengatakan “ditelan” atau “dihancurkan”, tapi “dikulum”. Ini bukan hanya soal bahasa, tapi soal ilmu, anatomi, dan mukjizat penyelamatan.

Lalu, bagaimana Nabi Yunus diselamatkan setelahnya?

Allah berfirman:

"وَأَنبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِّن يَقْطِينٍ"
"Dan Kami tumbuhkan untuknya pohon dari jenis labu (yaqthīn)."
(Surat Ash-Shaffat: 146)

Labu (yaqthīn) memiliki daun yang sangat besar dan mampu menaungi tubuh Nabi Yunus yang lemah setelah berada lama dalam mulut ikan. Bahkan menurut penelitian, daun labu mengandung banyak zat antibiotik alami, sehingga menghalau serangga dan membantu pemulihan luka.

Dr. Zaghloul membandingkan ini dengan kitab Perjanjian Lama (Taurat) versi bahasa Inggris, yang menyebut pohon anggur. Namun anggur memiliki daun kecil, penuh serangga, dan tidak memiliki manfaat penyembuhan seperti labu. Maka, jelaslah bahwa Al-Qur’an menggunakan istilah yang jauh lebih akurat tidak hanya secara bahasa, tapi juga secara ilmiah dan medis.

Setiap kata dalam Al-Qur’an mengandung ilmu, hikmah, dan ketepatan makna. Perbedaan antara "فَالْتَقَمَهُ" dan "ابتلعه" bukan sekadar pilihan kata, melainkan kunci bagi pemahaman, keselamatan, dan mukjizat. Semakin dalam kita tadabbur, semakin kita yakin tak ada satu huruf pun dalam Al-Qur’an yang sia-sia.

Sumber: Maqalah "Limadza Qaulaallah Fal Taqamahu Al-Hut" Dr. Zaghlul