Generasi Milenial, Ingatlah Aliran Buya Hamka Perihal Natal


[PORTAL-ISLAM.ID] Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka lebih menentukan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketimbang mencabut “Fatwa haramnya mengucapkan selamat Natal dan ikut merayakannya.”

“Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya anutan tersebut. Makara sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Harian Pelita,” kata Buya Hamka ketika berkhutbah di Masjid Al-Azhar semasa hidupnya.

Buya Hamka mengingatkan kaum Muslimin, bahwa kafir hukumnya kalau mereka mengikuti perayaan natal bersama.

Fatwa haram Buya Hamka ihwal ucapan Natal dan merayakannya, menciptakan Presiden Soeharto meminta dia supaya mencabut anutan itu, dengan dalih kemajemukan Bangsa Indonesia, demi menjaga kerukunan Umat beragama. Lantas apa yang dilakukan Buya Hamka? Apakah dia mencabut anutan MUI? Tidak! Beliau menentukan mengundurkan diri menjadi Ketua MUI ketimbang mencabut Fatwa haram mengucapkan Natal dan ikut merayakannya.

Sementara itu Kristolog Insan LS Mokoginta, juga menuturkan, bahwa tanggal 25 Desember tolong-menolong bukanlah hari kelahiran Yesus. Ini merupakan seni administrasi teologis orang-orang Katolik pada masa kemudian supaya agama Katolik diterima oleh orang-orang Romawi Kuno yang selalu memperingati hari kelahiran Dewa Matahari pada tanggal 25 Desember.

Beliau melanjutkan, tolong-menolong kelahiran Yesus yaitu tanggal 1 Januari, makanya dinamakan Tahun Masehi, mesiah atau Al Masih. Karena jarak yang tidak terpaut jauh antara 25 Desember dengan 1 Januari, maka ucapan itupun disandingkan. Karenanya, bagi umat Islam sangat fatal kalau ikut-ikutan mengucapkan kedua hari raya itu.

Saat ini anutan Ulama Besar Buya Hamka mulai dilupakan. Termasuk pejabat, dan sebagian tokoh pencetus Islam. Sebagian dari mereka malah menghalalkan ucapan Natal atas nama toleransi beragama. Bahkan menuduh umat Islam yang tidak mengucapkan selamat Natal sebagai kelompok yang intoleran. 
Share Artikel: