Koalisi Pks-Gerindra Di Jabar Dan Manuver Istana
Koalisi PKS-Gerindra di Jabar dan Manuver Istana
Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Deddy Mizwar maju lagi. Kali ini bukan untuk nyalon wagub, tapi gubernur Jabar. Popularitasnya jangan ditanya. Sebagai artis senior dan petahana (wagub), Demiz tidak saja populer, tapi punya kemudahan kekuasaan dan kekuatan jaringan.
PKS masih jatuh cinta dan memasangkannya dengan Ahmad Syaikhu, kader PKS yang kini menjabat wakil walikota Bekasi. Didukung oleh PAN yang semenjak pilgub DKI 2017 menegaskan pilihannya bergabung dengan Gerindra dan PKS.
Semula Gerindra, sekutu PKS selama ini, ikut mengusung Demiz. Belakangan Gerindra keluar dari koalisi dan mengusung Jenderal (purn) Sudrajat. Kok bisa?
Kalau yang keluar masuk koalisi itu Golkar, PKB, Nasdem, Hanura, dan yang lain itu biasa. Mereka tidak terikat dengan koalisi permanen. Untung-rugi jadi ukuran. Pragmatisme kiblat dan ideologi hampir semua partai. Soal platform gampang dicocok-cocokkan. Istilah “partai terbuka” sering jadi alasan.
Tapi, kali ini PKS dan Gerindra, dua partai bukan sekedar kawan dan koalisi, tapi sekutu. Sekutu itu senasib seperjuangan. Sekutu itu permanen. Sekutu itu koalisi dengan kesediaan meninggalkan ego pragmatisme. Keduanya bersama dalam waktu usang melakoni “puasa oposisi”. Oposisi yang berhasil memenangkan pilgub di Banten dan DKI. Saat ini, di Jabar, keduanya (PKS-Gerindra) sedang diuji oleh tokoh berjulukan Demiz. Prabowo menolak Demiz. Demi persekutuan, apakah PKS akan meninggalkan Demiz? Lalu rasio apa yang akan dipakai PKS untuk meninggalkan Demiz?
Kendati belum final, pecahnya kongsi PKS-Gerindra di Jabar tidak saja menuai banyak pertanyaan, tapi juga kecaman dan kekecewaan. Kekecewaan terutama tiba dari mereka yang selama ini mendukung komplotan PKS-Gerindra. Gerbong sekutu ini ialah umat dan kelompok nasionalis yang anti Jokowi. Mereka ialah rakyat yang selama ini setia bersama menjalani puasa oposisi dalam koalisi PKS-Gerindra. Keteguhan dan konsistensi koalisi yang menjadi magnet bagi PAN untuk ikut bergabung.
Pecahnya dua partai koalisi ini kabarnya disebabkan oleh retaknya kekerabatan Prabowo dan Demiz. Rumornya, Prabowo berang lantaran Demiz dianggap sebagai calon istana. Setelah Ridwan Kamil diprediksi tidak terlalu kuat, Jokowi dikabarkan pindah bahtera ke Demiz. Mengapa? Selain faktor PDIP yang “emoh” dukung Emil, Demiz dianggap berhasil mendekati kelompok umat Islam yang berseberangan dengan istana. Bagi Jokowi, Jabar dihentikan lepas. Seperlima penduduk Indonesia ada di sana.
Jabar kantong bunyi terbesar, sekitar 34 juta pemilih ada di tanah pasundan ini. Tentu punya imbas signifikan buat pilpres 2019. Karenanya, Jokowi “all out” menggarap Jabar. Dari bulan September hingga Desember, sudah 16 kali Jokowi hadir di Jabar. Rata-rata 4 kali dalam sebulan Jokowi menyambangi masyarakat Jabar. Hasilnya signifikan; elektabilitas Jokowi naik dan sukses menyalib Prabowo.
Selain jumlah suara, ada proyek Meikarta yang nasibnya akan ditentukan siapa pemenang di pilgub Jabar. Meikarta sanggup menjadi sumber permodalan yang signifikan untuk pilpres 2019. Meikarta ialah proyek ekonomi-politik terbesar kedua sesudah reklamasi yang digagalkan Anies-Sandi. Taipan tidak mau gagal kedua kalinya. 84 ha sudah sanggup ijin. Sisanya, gak ada kejelasan hak tanah dan syarat administrasinya. Semua sanggup menjadi terperinci kalau pemenang pilgub Jabar ialah orang yang didukung pemilik proyek Meikarta.
Kecurigaan Demiz sebagai calon istana ini beralasan karena: pertama, Demiz sering dipanggil ke istana. Bahkan di beberapa event, Demiz tampak mendampingi Jokowi di luar aktivitas Jabar. Keakraban ini tentu menimbulkan kecurigaan sejumlah pihak, terutama Gerindra. Kedua, santer kabar Demiz dijadikan biro istana untuk melobi kubu Prabowo semoga bersedia mendampingi Jokowi di pilpres 2019. Kejadian ini yang menciptakan Prabowo berang. Jika ini benar, maka menjadi masuk kebijaksanaan kalau Prabowo “menolak untuk mengusung Demiz”. Sebab, ini menyangkut harga diri seorang mantan Komandan Kopassus yang teguh menentukan jadi oposisi dan rival politik Jokowi. Publik memahami perilaku ketua Partai Gerindra ini. Publik juga sanggup mengerti mengapa Prabowo terpaksa mengucapkan “sayonara” kepada PKS kalau tetap mengusung Demiz. Ketiga, masuknya Demokrat sebagai pengusung utama Demiz-Syaikhu yang belakangan mengajak PDIP untuk bergabung dalam koalisi.
Dengan masuknya Demokrat dalam koalisi berpotensi menenggelamkan tugas PKS sebagai inisiator koalisi Demiz-Syaikhu. Hal ini sanggup dilihat; pertama, belum usang sesudah koalisi Demiz-Syaikhu dideklarasikan, Partai Demokrat pribadi membujuk PDIP untuk bergabung. Khusus di Jabar, konstituen PKS dengan PDIP bertolak belakang. Jika PKS berkoalisi dengan PDIP, maka pemilih umat Islam yang selama ini setia menaruh suaranya ke PKS besar kemungkinan akan menarik diri. Dalam konteks ini, manuver Demokrat menciptakan PKS terjepit.
Apalagi Demiz secara historis merupakan salah satu pendiri Demokrat, maka kekerabatan Demiz dengan Demorat lebih besar lengan berkuasa secara emosional dan ideologis dibanding dengan PKS. Kedua, kabar adanya pakta Integritas Demiz dengan Demokrat yang berdasarkan bocoran isu berisi perihal kewajiban Demiz memenangkan Partai Demokrat di Jabar dan mendukung calon presiden yang diusung di 2019.
Situasi kontribusi PKS ke Demiz dari kalkulasi tersebut sangat tidak menguntungkan. Apalagi harus kehilangan kawan sekutu lamanya yaitu Gerindra.
Yang menarik, pasca Golkar menetapkan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum melalui “pemilihan aklamatif” di pleno, muncul keputusan “super cepat” dan “tergesa-gesa” menarik kontribusi dari Ridwan Kamil. Publik bertanya-tanya: apakah ini perintah istana? Mengingat ketum Golkar dikala ini dikenal publik sebagai pilihan dan rekomendasi istana. Apakah itu juga artinya Ridwan Kamil akan diparkirkan?
Menyusul PPP yang sedang “mencari logika” yang pas untuk menarik dukungannya dari RK, menguatkan indikasi bahwa peluang Demiz lebih besar untuk didukung istana dari pada Ridwan Kamil. Hal yang hampir seolah-olah terjadi pada Syaefullah Yusuf di Jawa Timur yang ditinggalkan oleh istana, lantaran lebih tertarik pada Khofifah.
Bagi Gerindra, menarik kontribusi dari Demiz itu harga mati. Pisah dari PKS ditempuh demi sebuah harga diri partai dan perilaku oposisi. Koalisi dan komplotan dengan PKS terpaksa dikorbankan, kecuali kalau PKS ikut menarik diri.
Saat ini, komplotan Gerindra-PKS sedang diuji. Keduanya dihadapkan pada pilihan: merawat dan melanjutkan komplotan atau menjaga hebat masing-masing yang diasumsikan punya potensi kemenangan.
Demiz-Syaikhu sudah dipromosikan. Elektabilitas merangkak naik, lantaran faktor popularitas Demiz dan jaringan yang dimiliki PKS. Sementara ini pasangan tersebut sudah kerja keras dan dianggap lebih potensial kalau dibanding pasangan Sudrajat-Syaikhu. Tapi, apakah ini cukup meyakinkan untuk meraih kemenangan? Politik bukan kalkulasi matematis. Banyak hal di luar nalar dan prediksi.
Belajar dari sejarah Jabar, Ahmad Heriawan dulunya ialah calon yang tidak populer. Kerja keras tim, terutama jaringan PKS yang besar lengan berkuasa dan militan di Jabar, Aher menang dua kali pilkada. Sejarah ini sanggup membuka peluang dan pertimbangan PKS kalau ingin menarik kontribusi dari Demiz dan beralih memperkuat koalisi dengan sekutunya Gerindra.
Jika Sudrajat-Syaikhu dianggap tidak cukup besar lengan berkuasa untuk malawan Demiz, PKS sanggup mengajukan Netty, istri Gubernur Ahmad Heriawan. Keuntungan mengajukan Netty; pertama, jaringan Aher, panggilan bersahabat Ahmad Heriawan, sanggup diaktifasi. Sepuluh tahun menjadi gubernur Jabar, Aher tentu punya jaringan yang besar lengan berkuasa dan mengakar. Jaringan Aher tidak saja berada di lapisan masyarakat, tapi juga birokrasi via kepala-kepala daerah. Menurut survey, tidak kurang dari 29% masyarakat Jabar “die heard” Kang Aher. Belum lagi jaringan Netty yang aktif merawat komunitas ibu-ibu PKK.
Kehadiran Netty akan sangat segnifikan menghadang dan mengambil jaringan Demiz. Di Jabar, jaringan Aher-Netty lebih besar lengan berkuasa dari Demiz. Soal cost politik, susukan yang dimiliki Aher niscaya lebih besar, terbukti Aher sanggup melanjutkan kepemimpinannya di Jabar untuk dua periode.
Dari kalkulasi realistis, baliknya PKS-Gerindra untuk merajut kembali komplotan sanggup lebih menguntungkan untuk kebutuhan politik bagi kedua partai, baik jangka pendek maupun panjang. “Peran oposisi” lebih seksi untuk menjadi magnet konstituen dibanding harus bergabung dengan kekuasaan.
Di Indonesia, partai “oposisi” selalu berhasil berinvestasi untuk meraih kekuatan pemilih di pileg dan pilpres berikutnya. PDIP telah berhasil membuktikannya ketika beroposisi terhadap SBY.
Sebaliknya, kalau PKS tetap berada dalam koalisi Demiz-Syaikhu yang indikatornya besar lengan berkuasa menerima kontribusi istana, maka “puasa oposisi PKS” selama ini sanggup jadi mubazir lantaran berpotensi ditinggalkan konstituennya. Berbeda masalahnya kalau PKS ternyata menjadi cuilan dari “partai tersandera”, maka pilihan itu akan menjadi semakin sulit.***
Sumber: Indopost