Terungkap! Inilah Lima Alasan Pencopotan Jenderal Gatot


[PORTAL-ISLAM.ID]  Para penentang Jenderal Gatot kesannya sanggup bernafas lega. Panglima Tentara Nasional Indonesia itu diberhentikan Presiden Jokowi sebelum waktunya. Secara normal, Gatot harusnya pensiun pada bulan Maret 2018, ketika usianya 58 tahun. Gatot lahir di Tegal, Jawa Tengah 13 Maret 1960.

Dengan begitu di Markas besar Tentara Nasional Indonesia dalam tiga bulan ke depan akan ada dua orang jenderal bintang empat aktif, yakni Panglima Tentara Nasional Indonesia yang gres Marsekal Tentara Nasional Indonesia Hadi Tjahjanto dan Jenderal Tentara Nasional Indonesia Gatot Nurmantyo.

Situasi ini mengingatkan kita pada fenomena di Mabes Polisi Republik Indonesia pada awal pemerintahan Jokowi (2015). Kapolri Jenderal Sutarman diberhentikan Jokowi 10 bulan sebelum masa pensiun. Jabatan Kapolri untuk sementara waktu dikosongkan.

Komjen Budi Gunawan batal dilantik menjadi Kapolri alasannya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Wakapolri Komjen Badrodin Haiti kemudian ditunjuk sebagai pelaksana kiprah (Plt) Kapolri.
Media kala itu menjuluki Sutarman sebagai jenderal “pengangguran.” Mudah-mudahan julukan yang sama tidak disematkan kepada Gatot.

Penggantian Jenderal Gatot tak pelak menimbulkan spekulasi politik yang kuat. Mengapa Jokowi tak sabar untuk menunggu tiga bulan lagi dan bersicepat mengganti Gatot? Apa ada yang sangat genting? Padahal jika melihat proses terpilihnya Gatot sebagai Panglima TNI, beliau ialah jenderal pilihan Jokowi.

Secara tradisi harusnya rotasi panglima Tentara Nasional Indonesia ketika itu jatuh ke tangan Tentara Nasional Indonesia AU, sesudah sebelumnya jabatan tersebut dipegang oleh Jenderal Tentara Nasional Indonesia Muldoko yang berasal dari matra darat. Namun Jokowi menetapkan melanggar tradisi dengan menentukan Gatot.

Bila kini beliau diganti ketika hampir berada di penghujung jalan, masuk akal jika kemudian muncul pertanyaan, “apa kesalahan Gatot?”

Prestasi dan kontroversi

Desakan untuk segera mengganti Gatot tolong-menolong sudah cukup usang bergema. Sikapnya yang dianggap terlalu bersahabat dengan kalangan ulama dan umat Islam menciptakan banyak kalangan tertentu merasa khawatir. Sebagai prajurit TNI, Gatot dinilai punya aktivitas politik dan mencoba membawa Tentara Nasional Indonesia terjun kembali ke dalam politik praktis.

Namun bagi kalangan lain, perilaku Gatot yang sering membela ulama dan umat Islam dinilai sebagai langkah yang tepat. Upaya kelompok tertentu yang mencoba mendesak dan meminggirkan umat Islam dari proses politik, berbangsa dan bernegara, akan sangat membahayakan kesatuan bangsa. Sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia perilaku Gatot dinilai correct.

Gatot juga menolak dengan tegas agresi 212 dan aneka macam unjukrasa yang dipicu penistaan agama oleh Ahok dinilai sebagai agresi makar sebagaimana dituduhkan Kapolri. Dalam sebuah apel pasukan di Tasikmalaya, Gatot juga tak segan menyerukan kepada prajuritnya untuk selalu bersama dan membela ulama.
Lepas dari aneka macam kontroversinya, Gatot ialah seorang perwira tinggi yang cukup berprestasi. Gatot bukan prajurit karbitan. Jenjang karirnya sangat runut. Dia bahkan sanggup disebut sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia paling menonjol pasca reformasi.

Prestasi prajurit Tentara Nasional Indonesia di bawah kepemimpinan Gatot juga cukup menonjol. Salah satunya ialah operasi pembebasan ratusan sandera di Papua yang sanggup dibebaskan dalam hitungan jam, tanpa korban jiwa. Menariknya lima perwira Tentara Nasional Indonesia menolak ketika diberi penghargaan kenaikan pangkat luar biasa.

Bagi sebagian besar kalangan prajurit Tentara Nasional Indonesia yang merasa kiprahnya semakin banyak dilucuti, Gatot itu “gue banget.” Profil Gatot mengingatkan publik kepada Menhankam/Pangab Jenderal Tentara Nasional Indonesia M Jusuf yang sering turun menyapa dan hadir bersama prajurit di lapangan.

Untuk kepentingan prajurit dan internal TNI, beliau berani “berkelahi” kendati harus berhadapan dengan para seniornya, termasuk dengan sejumlah pejabat yang nota bene secara hirarki lebih tinggi posisinya.

Sikap tersebut terlihat terang ketika Gatot memprotes pemangkasan kewenangan anggaran Tentara Nasional Indonesia oleh Dephan. Gatot juga berbeda pendapat dengan Menhan Ryamizard Ryacudu dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto soal informasi pembelian 5.000 pucuk senjata oleh institusi di luar TNI. Dia menilai ada institusi lain yang mencoba melangkahi dan mengambil alih kewenangan TNI.

Soal kedaulatan RI sikapnya juga sangat tegas. Gatot menghentikan kerjasama training militer dengan Australia, alasannya salah seorang pelatih militer Australia dinilai telah melecehkan lambang negara RI.

Dalam aneka macam kesempatan Gatot mengingatkan akan bahayanya perang assimetris dan proxy war. Sebuah perang non-konvensional yang memakai dan mengendalikan pemain drama non-negara.

Karena sikapnya itu sejumlah media absurd menjulukinya sebagai jenderal ultra nasionalis. Sebuah paham yang menempatkan kepentingan negaranya, di atas segala-galanya.

Kompetitor Jokowi

Dengan sikapnya yang sering tampil beda, Gatot menjadi figur yang sangat populer. Berbagai forum survei menempatkan Gatot sebagai salah satu figur yang potensial baik sebagai kandidat cawapres pendamping Jokowi, maupun sebagai kandidat capres.

Apakah Gatot akan menjadi cawapres atau capres? Hal ini banyak memunculkan spekulasi. Bagi sebagian penggerak pergerakan Islam, manuver Gatot dicurigai sebagai “penugasan” dari Jokowi untuk merangkul umat Islam perkotaan yang sangat kritis terhadap Jokowi. Sebagai imbalan, beliau akan digandeng menjadi cawapres. Apalagi dalam Rakernas Partai Nasdem Gatot dengan tegas menyatakan dukungannya semoga Jokowi meneruskan periode kedua, untuk kesinambungan pembangunan.

Namun bagi sebagian lainnya, pembelaan Gatot terhadap ulama dan umat, menjadikannya sebagai figur yang paling pantas diusung sebagai capres. Apalagi perpaduan antara tentara yang nasionalisme tidak perlu diragukan, dengan umat Islam merupakan komposisi yang sangat ideal. Perpaduan nasionalis-relijius sepertinya sudah menjadi semacam rumus baku di Indonesia.

Dengan mengganti Gatot sebelum waktunya, spekulasi bahwa Jokowi akan menggandengnya sebagai cawapres menjadi pupus. Bila Jokowi serius, maka beliau seharusnya menjaga kartu Gatot tetap hidup dan memainkan kiprah sebagai “good cop,” bagi kalangan umat Islam.

Sebagai Presiden, Jokowi punya hak dan kewenangan untuk memperpanjang usia pensiun seorang panglima TNI. Presiden SBY contohnya pernah memperpanjang masa jabatan Jenderal Endriartono Sutarto sebagai panglima Tentara Nasional Indonesia sebanyak dua kali.

Dalam konteks inilah keputusan Jokowi mengganti Gatot lebih awal, sanggup dilihat sebagai upaya untuk untuk meredam kemungkinan munculnya mata hari kembar. Pergantian Gatot diperlukan sanggup menutup ruang manuvernya. Jokowi tidak ingin, anak harimau yang dibesarkan, berbalik menerkamnya.

Setidaknya ada lima indikasi yang sanggup menjelaskan hal itu.
Pertama, pergantian Gatot dilakukan tak usang sesudah Reuni Alumni 212. Besarnya akseptor yang hadir dalam reuni tersebut sangat mengagetkan kelompok pendukung Jokowi. Hal itu menunjukkan konsolidasi umat Islam yang secara politik berseberangan dengan Jokowi masih sangat terjaga.

Gerakan ini berpotensi kian membesar dan semakin solid mendekati pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Kekuatan mereka tidak sanggup diremehkan sesudah menunjukkan kedigdayaan menumbangkan Ahok di Pilkada DKI.

Gatot dinilai sangat bersahabat dengan kelompok-kelompok ini bahkan digadang-gadang sebagai capres penantang Jokowi. Makara kekuatannya harus segera dilucuti.

Kedua, sejumlah survei yang dilansir oleh aneka macam forum menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi berkisar antara 35-40 persen. Kendati masih teratas, angka elektabilitas sebesar itu sangat rendah dan rawan bagi seorang incumbent yang terus menerus melaksanakan pencitraan (permanent campaign) menyerupai Jokowi.

Elektabilitas Jokowi sanggup kian tergerus jika kinerja ekonominya jeblok, dan aktivitas pembangunan infrastruktur yang menjadi andalannya tidak memenuhi target.

Ketiga, survei tersebut sanggup dibaca, bahwa lebih dari 60 persen pemilih tidak lagi menghendaki Jokowi. Sementara Prabowo sebagai penantang terkuat, angka elektabilitasnya cenderung stagnan. Publik sedang mencari figur alternatif.

Pasar pemilih menjadi flat dan terbuka, alasannya tidak ada figur kandidat yang dominan. Gatot bersama sejumlah figur lain menyerupai Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Mahdi, dan sejumlah tokoh lainnya digadang-gadang sanggup menjadi penantang Jokowi.

Keempat, banyak partai yang tidak mempunyai figur internal yang berpengaruh dan sanggup dijual sebagai capres. Dalam sistem pemilu pileg dan pilpres dilakukan secara bersamaan, jualan capres yang terkenal sanggup mendongkrak perolehan bunyi parpol. Jangan kaget jika sesudah resmi pensiun, Gatot segera dipinang parpol.

Kelima, percepatan pensiun Gatot jika dikapitalisasi sanggup menjadi modal berpengaruh bagi Gatot. Publik kita yang melo biasanya sangat bersimpati pada seorang tokoh yang didzalimi. Pengalaman SBY yang menentukan mengundurkan diri alasannya merasa kewenangannya sebagai Menko Polkam banyak diambil alih Presiden Megawati, menjadi salah satu contoh.

SBY yang semenjak awal telah menciptakan sekoci dengan mendirikan partai Demokrat kemudian menjadi penantang dan mengalahkan Megawati pada Pilpres 2004. Bukan mustahil skenario ini juga akan dijalani Gatot.

Inilah waktunya bagi Jenderal Gatot untuk menentukan posisinya dan memanfaatkan momentum. Meminjam nasehat Michael Korda seorang penulis Inggris terkenal, “If your posisition is anywhere, your momentum is zero.” 

Penulis: Hersubeno Arief
Share Artikel: