3 Vs 1, Pilkada Jabar
3 VS 1, Pilkada Jabar
Oleh: Goben Gusmiyadi*
(Aktivis Indonesia Bergerak)
Secara ideologis, Pilkada Jabar sebenarnya hanya menyuguhkan dua kontestan saja. Pasangan Asyik (Ajat Syaikhu) dan tiga kandidat lainnya. Tak perlu marah, galau atau uring-uringan, dengan gampang fakta itu kita temukan dengan cara menelusuri urat tunjangan politik antar kandidat.
Dalam konstelasi politik yang lebih besar, Asyik didukung oleh kekuatan partai oposisi. Sedangkan pasangan lainnya, mereka mempunyai irisan besar komplotan dengan partai pendukung pemerintah. Bahkan salah satu diantaranya ialah kader militan dari partai pemerintah (PDIP) yakni TB Hasanuddin yang berpasangan dengan Anton Charlyan.
Pasangan Dedi Mizwar - Dedi Mulyadi, Ridwan Kamil (RK) - Uu, TB Hasanuddin - Anton Charlyan merupakat paket calon kepala kawasan yang garis partainya ialah pendukung pemerintah. Kalaupun ada yang abu-abu ialah partai Demokrat. Partai ini belakangan hari kerap seiring sejalan dengan kebijakan Jokowi. Fakta yang gampang ditemukan ialah tunjangan Demokrat atas legalisasi UU Ormas yang tahun kemudian telah disahkan.
Di kubu pasangan Asyik, yang unik malah disandang oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Meskipun mengutus menteri untuk Jokowi, tapi PAN kerap sekali mengkritisi kebijakan pemerintahan. Sikap politik PAN tampak berseberangan dengan pemerintah dikala legalisasi UU Ormas. Padahal UU tersebut merupakan pertarungan marwah pemerintahan Jokowi.
Identifikasi kita terhadap blok oposisi atau pendukung pemerintah ini menjadi penting. Ini yang kemudian aku sebut sebagai representasi ideologi antar partai. Yakni cara pandang dan perilaku partai politik dalam menjalankan roda pemerintahan. Meskipun beberapa partai memakai lebel agama, tapi sebenarnya yang terpenting ialah praktek kongkrit dalam penerapan kebijakan politik dikala ini.
Dari awal pemerintahan Jokowi, sebagaimana yang kita ketahui telah menentukan jalan membuka kran liberalisasi yang sangat besar. Dominasi absurd nyaris tak terbendung. Paket-paket kebijakan ekonominya memperlihatkan banyak sekali akomodasi bagi absurd untuk menguasai sektor-sektor ekonomi yang bersentuhan eksklusif dengan hajat hidup orang banyak.
Lihat saja di Jakarta, pemerintahan Jokowi dengan sangat gagah pasang tubuh bagi pembangunan pulau reklamasi. Kasus di Jabar, dengan gampang kita sanggup menemukan jejak kepentingan blok pemerintahan ini melalui mega proyek Meikarta dan kereta api cepat yang menabrak banyak sekali hukum dan perundang-undangan.
Dengan demikian, siapapun dari tiga calon Gubernur Jabar yang memenangkan pertarungan diluar dari pasangan Asyik, sanggup dipastikan ia akan menjadi kepanjangan tangan dari pemerintahan Jokowi. Watak pembangunan di Jabar akan bersifat liberal. Ia akan menjadi fasilitator dan bab dari masuknya kepentingan modal negeri tirai bambu yang sekarang terasa sangat mayoritas dari hari kehari di republik ini.
Fakta ini tak sanggup ditolak. Ridwan Kamil misalnya, ia mendapatkan tunjangan Nasdem dengan melaksanakan kontrak politik yang poin pentingnya ialah tunjangan dua periode untuk Jokowi. Partai pendukung lainnya sama saja.
Setali tiga uang dengan RK, Dedi Mizwar risikonya berlabuh dengan Demokrat dan Golkar. Demokrat dalam banyak pandangan pengamat dikala ini sedang berupaya cari cela menempatkan AHY menjadi wakil Jokowi. Sedangkan Golkar warnanya lebih jelas. Partai ini dikunci semenjak perpecahan beberapa tahun yang lalu. Malah sebagian banyak orang menyebut partai ini sengaja dipecah biar koalisi merah putih bubar ditengah jalan. Demiz sendiri, terakhir ia tampak menjadi lunak dengan proyek Meikarta. Demiz dianggap masuk angin oleh banyak kalangan.
Hanya pasangan Asyik yang berbeda. Secara nasional Gerindra dan PKS sedari awal mempunyai garis tegas sebagai pembeda. Partai-partai ini menarik garis demarkasi yang tegas terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi - JK.
Selain kebijakan ekonomi, yang paling gampang diingat ialah momentum legalisasi UU Ormas. Ini bukan semata pertarungan legalisasi UU, tapi dibalik itu ada rangkaian insiden politik besar, yakni gelombang agresi massa mengatasnamakan agresi bela Islam yang secara politik dianggap berlawanan dengan kehendak kebijakan pemerintah dalam kasus Ahok. Peristiwa kala itu juga diikuti dengan penangkapan aktivis-aktivis islam yang dikenal dengan istilah kriminalisasi ulama.
Demikianlah..... Kontestan pada Pilkada Jabar sebenarnya bukan empat pasang, melainkan dua saja. Memilihnya menjadi lebih mudah; Pasangan Asyik yang didukung oleh Prabowo yang nasionalis, atau blok Jokowi sebagai representasi blok liberal di Indonesia.
*Sumber: fb penulis
Pic: Kumparan.com