Mantan Wagub Dki Prijanto Bongkar 5 Aksara Kepemimpinan Anies-Sandi


[PORTAL-ISLAM.ID]  Momentum pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala kawasan (pilkada) secara eksklusif kerap melahirkan perbedaan pendapat tajam bahkan dendam politik yang terus terbawa hingga pesta berikutnya digelar. Sikap suka, tidak suka, netral, atau apatis terhadap pejabat terpilih ialah bentuk lisan yang sering ditampakkan publik.

Indikasi ini juga tampak dikala publik menyikapi pemaparan 100 hari masa pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno di program “Mata Najwa” pada salah satu stasiun TV swasta, Rabu 24 Januari 2018. Beragam komentar mengenai materi, tutur kata, baik oleh Anies-Sandi maupun Najwa, mencuat di media. Suka tidak suka, respons publik ibarat itu ialah efek jelek dari sistem pilpres dan pilkada eksklusif yang sulit dicegah selama kita tidak kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 orisinil untuk disempurnakan.

Terlepas dari pro-kontra publik, saya punya penilaian sendiri terkait huruf kepemimpinan Anies-Sandi. Hal ini sudah saya tegaskan dikala menjadi pembicara pada program Indonesia Lawyers Club (ILC) bertema “Proyek Pulau Reklamasi, Tak Terbendung?” di salah satu TV swasta pada 17 Oktober 2017. Di situ saya menegaskan bahwa reklamasi akan terbendung jikalau Anies-Sandi menawarkan huruf kepemimpinannya, yakni jujur, berpihak kepada rakyat kecil, tidak gampang terkooptasi, taat aturan dan taat asas, dan memegang teguh tugas, wewenang, serta tanggung jawab.

Saya melihat melalui program talkshow “Mata Najwa” tersebut terkuaklah huruf kepemimpinan Anies-Sandi pada 100 hari kerjanya.

Karakter Kepemimpinan

Pertama, soal kejujuran. Jujur ialah satunya kata dengan perbuatan. Dalam konteks kepemimpinan, jujur ialah ketika janji-janji politik dan kontrak politik yang ditandatangani dikala kampanye dilaksanakan sehabis menjabat. Kejujuran inilah yang utama dalam kepemimpinan. Dalam animo pilkada dan pilpres, huruf calon pemimpin, terutama petahana, sanggup diukur pada sejauh mana beliau jujur terhadap kesepakatan kampanyenya.

Tentu belum banyak hasil yang sanggup dilihat dan diukur dari seorang pemimpin pada 100 hari masa kerjanya. Namun, saya melihat apa yang terucap dan ditandatangani Anies-Sandi pada kontrak politik dikala kampanye Pilkada DKI Jakarta kemudian sebagian telah dilaksanakan. Misalnya, menghentikan reklamasi Teluk Jakarta, Rumah DP 0 Rupiah, menutup Hotel Alexis, meluncurkan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, Kartu Jakarta Lansia, Kartu Pangan dan Pekerja untuk buruh, membentuk sekretariat OK OCE di setiap kecamatan, dan pembangunan shelter Kampung Aquarium. Artinya, pada titik ini Anies-Sandi patut dinilai sudah mencoba jujur dan menepati janji.

Kedua, keberpihakan kepada rakyat kecil. Anies-Sandi dikenal kerap tampil sederhana, ramah, dan murah senyum. Baju yang dikenakan dan cara berpakaiannya juga proporsional sesuai program yang dihadiri. Sisi ini sering menciptakan sebagian orang sinis apakah mereka berdua sanggup tegas? Bagi saya, sejauh ini tampilan itu bukan polesan pencitraan alasannya ialah terlihat keberpihakan mereka kepada rakyat; memperlakukan warga terutama kalangan bawah sebagai manusia, sebagai bab rakyat Jakarta yang menjadi tanggung jawabnya. Itu antara lain terlihat pada kebijakan penataan PKL Tanah Abang, mengembalikan becak, membantu pendidikan anak putus sekolah dan guru PAUD. Dari kebijakan ini, Anies-Sandi terlihat tidak saja ingin membangun infrastruktur, tetapi juga insan dan kesejahteraannya. Terlihat ada upaya keras untuk tidak melihat ada rakyat Jakarta yang kekurangan gizi, busung lapar, atau mati kelaparan di tengah gedung-gedung glamor dan hiruk-pikuk pembangunan infrastruktur Ibu Kota. Mereka tidak ingin memperlakukan orang miskin dengan kasar, melainkan sebaliknya, dibantu dan ditata, bukan digusur dan disingkirkan kolam orang kaya membuang perabot usangnya.

Ketiga, tidak gampang terkooptasi. Kebijakan Anies-Sandi menghentikan reklamasi Teluk Jakarta, menata PKL Tanah Abang, menata Kampung Aquarium, semuanya bersinggungan dengan kekuatan dan kekuasaan. Namun, tampaknya Anies-Sandi mencoba tetap berpikir jernih, cerdas, akomodatif, dengan menentang pendapat pihak-pihak yang seakan-akan mereka itulah paling tahu dan paling benar. Fokus kebijakannya untuk kepentingan rakyat yang dipimpin dalam arti luas. Semua pemangku kepentingan dilibatkan dan diajak bicara. Tahap demi tahap kebijakan dievaluasi untuk perbaikan.

Keempat, taat aturan dan taat asas. Mengapa Anies-Sandi saya sebut tidak gampang terkooptasi? Alasannya, mereka taat aturan dan taat asas. Kesangsian sebagian orang atas ketegasan Anies-Sandi perlahan menjadi pudar alasannya ialah apa yang dipertontonkan bukanlah kemarahan dan omong berangasan dalam rapat yang diunggah di YouTube, tetapi melalui penegakan hukum.

Proyek reklamasi, sekali lagi, walaupun berhadapan banyak kepentingan dan kekuatan, alasannya ialah diduga cacat aturan dalam prosesnya, Anies tetap berani menghentikan. Penataan PKL Tanah Abang walau dituding melanggar UU kemudian lintas, tetap dilakukan dengan terus dikaji alasannya ialah pada dikala yang sama gubernur juga menerima amanat undang-undang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan melakukan kehidupan demokrasi, di wilayahnya.

Kelima, memegang teguh tugas, wewenang dan tanggung jawab. Dalam program ILC beberapa waktu kemudian saya juga menaruh cita-cita biar Anies tidak ragu dan takut kepada siapa pun yang akan memengaruhi, bahkan mengambil kiprah dan wewenang dan tanggung jawabnya sebagai gubernur yang dipilih rakyat. Harapan itu menjadi kenyataan. Keteguhan Anies terlihat dalam kasus reklamasi.

Pada program “Mata Najwa” Anies membaca Keputusan Presiden Nomor 52/1995 Pasal 4: “Wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur DKI Jakarta” dan Perda Nomor 8/1995 Pasal 33: “Penyelenggaraan reklamasi dilakukan oleh Badan Pelaksana”. Sangat gamblang sehingga pupuslah bagi siapa saja yang akan ikut campur urusan reklamasi pantura. DPRD pun bukan pada kewenangan untuk memaksa gubernur untuk segera olok-olokan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura dan Raperda Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Rekomendasi

Selama kita belum kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 orisinil untuk disempurnakan secara adendum, artinya pilpres dan pilkada masih dilaksanakan secara langsung, maka rakyat harus diberikan edukasi dan seruan untuk menentukan pemimpin yang Pancasilais, sebagaimana misi pertama Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI). Sebagai gerakan moral dan intelektual, GKI yang diprakarsai beberapa sosok ibarat Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky dan Dr. Hariman Siregar tampaknya menjadi penting bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara.

Salah satu ciri pemimpin Pancasilais ialah sosoknya yang teguh dalam beragama, dalam wujud kejujuran. Keterukuran kejujuran dalam arti luas sangatlah penting. Karakter, kapasitas, dan penampilan dilakukan secara wajar, bukan polesan atau pencitraan yang diciptakan oleh konsultan politiknya. Janji politik dan kontrak politik tidak pernah diingkari menjadi tolok ukur paling sederhana terhadap petahana dalam pilpres dan pilkada. Semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu diselamatkan Yang Mahakuasa Yang Maha Esa biar tidak punah. Amin.

Penulis: Prijanto (Wakil Gubernur DKI Jakarta 2007-2012)
Share Artikel:

Related Posts :