Oleh: Tengku Zulkifli Usman
(Analis Politik)
Mewaspadai Tangan Kanan Istana & Istilah Nabok Nyilih Tangan di Pilgub Sumut 2018.
Salah satu pilkada yang masuk kategori berstatus "complicated" yaitu Pilgub Sumut 2018.
Munculnya nama Letnan jendral Edy Rahmayadi sebagai salah satu kandidatnya yaitu awal dari semua grand design rencana ini.
Pada dasarnya, Blok Jokowi yang diwakili oleh Golkar dan Nasdem hanya menunggu langkah PKS sebagai raja pilkada sumut dua periode belakangan.
Mereka sengaja menunda mengumumkan nama calon yang mereka usung, mereka menginginkan barang jadi alias menunggu siapa nama yang dimunculkan oleh PKS, Blok Jokowi kehilangan rasa percaya diri akhir selama ini kalah terus di sumut.
Begitu PKS firm berkoalisi dengan Gerindra dan PAN yang secara syarat jumlah dingklik sudah mrncukupi, Golkar-Nadem segera ancang-ancang.
Tidak tanggung tanggung, Golkar dan Nasdem kompak membuang kader mereka sendiri yang sama-sama merupakan ketua umum partai masing masing di sumut Tengku Erry dan Ngogesa Sitepu.
Keduanya dibuang begitu saja, dimentahkan di detik-detik terakhir, dan keduanya mendapatkan dengan "ikhlas" keputusan ini tanpa perlawanan.
Sikap mendapatkan ini tidak sanggup dibaca sebagai suatu perilaku sederhana, melainkan sebuah grand design memuluskan langkah koalisi joko widodo untuk mengganggu soliditas PKS-PAN-Gerindra.
Masalah nama Djarot dalam pilkada sumut, itu hanya sebagai pemecah fokus dan pengalihan pandangan, itu imbas frustasinya PDIP yang selama ini calon nya selalu kalah di sumut, padahal PDIP mengklaim provinsi sumut sebagai salah satu basis utama nya selain Jateng dan Bali.
Dalam aneka macam riset dan survei, nama Djarot tidak terkenal dan sanggup dikatakan "rejected" dan not eligible for sale.
Sedangkan kalau berbicara mesin politik, PDIP sumut mesinnya sudah usang mati minimal rusak parah, mesin politik yang paling sehat di sumut ketika ini milik PKS, Golkar dan Gerindra.
Nama tidak terkenal plus mesin tidak sehat, inilah mengapa aku katakan pencalonan Djarot yaitu upaya memecah fokus semata gak lebih.
Pilkada Sumut sanggup juga kita istilahkan dengan konspirasi segitiga bermuda yang berbahaya antara PDIP-Golkar dan Nasdem untuk menghabisi kedigdayaan PKS dkk nya di pilkada 2018 nanti.
Saya melihat, Letnan jendral Edy termasuk yang dimainkan oleh tim nya joko widodo secara rahasia, alasannya Sumut salah satu lumbung bunyi potensial untuk pilpres 2019, DPT nya gak kurang dari 9juta suara.
Bagaimana logikanya?
1. Izin yang diberikan panglima Tentara Nasional Indonesia Jendral Hadi yang terkenal sebagai orangnya Jokowi kepada Letnan jendral Edy yaitu bukan izin dan pemberian biasa.
2. Demokrat juga kemungkinan akan mengusung calonnya sendiri, tujuannya sama, semoga terkesan berbeda pandangan dengan PDIP dan Golkar, padahal terindikasi mereka satu tujuan, alasannya opsi Jokowi-AHY begitu berpengaruh untuk pilpres 2019.
3. Tanpa permainan ini, maka PDIP Demokrat dan Golkar akan sama-sama karam di Sumut, sebagai pemenang pemilu legislatif 2014 di sumut, Golkar-Demokrat-PDIP tidak mau ditelikung untuk ketiga kalinya.
4. Golkar-PDIP-Demokrat gengsi sama raja pilkada Sumut 2 periode belakangan yaitu PKS yang kini justru bukan raja di DPRD sumut. Kalau kalah 3 kali tentu tidak menyenangkan.
5. Nama Letnan jendral Edy yang awalnya tidak begitu diperhitungkan oleh lawan, tiba-tiba elektabilitas Edy eksklusif melejit sesudah resmi diusung oleh PKS-Gerindra dan PAN, fakta ini eksklusif mengubah konstelasi politik 90 derajat, ini sinyal, rakyat Sumut lebih respek terhadap PKS PAN dan Gerindra ketimbang Golkar, PDIP cs.
6. Meskipun begitu, Letnan jendral Edy bukanlah sosok yang jinak dan gampang diatur, ingat, belum usang ini, Letnan jendral Edy pernah berteriak Jokowi dua periode, dan Golkar juga sudah menekankan semoga semua calon yang didukung Golkar pada pilkada serentak 2018 wajib mendukung Jokowi pada pilpres 2019 include Edy Rahmayadi.
APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH "TUAN RUMAH" PKS GERINDRA & PAN?
1. Tetap berada satu atap dan satu rumah dengan Golkar dan Nasdem, tapi pakailah logika beda kamar, kamar pertama tetap PKS-Gerindra-PAN, kamar kedua untuk Golkar cs.
2. Sebisa mungkin menciptakan kontrak politik win win solution dengan calon gubernur Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah semoga tetap proporsional nanti pada pilpres 2019, minimal netral, kalau calon yang diusung PKS-Gerindra-PAN yang kemungkinan bukan Jokowi.
3. Tidak perlu berantem dan panas-panasan, mengingat deal politik yaitu seni bermanuver, ingat, energi PKS-Gerindra-PAN jangan dihabiskan semua di Sumut, Sumut hanya provinsi kategori penyangga bukan provinsi utama, status Sumut sama dengan Sumsel, Lampung dan Sulsel.
4. PKS, PAN dan Gerindra tetap fokus ke Jawa Barat, Jawa Tengah, ingat juga, Jakarta dan Banten sudah ditangan, jangan lengah dan jangan terjebak dan salah fokus.
5. Suasana dibentuk cair saja semoga tidak ada partai koalisi pendukung pasangan ERAMAS yang merasa sangat mempunyai Letnan jendral Edy terutama Golkar.
6. Jangan mau didikte oleh Golkar dan Nasdem, walaupun secara hitungan ketika ini, dua partai ini kekuatannya juga anggun di Sumut dengan adanya gubernur petahana Tengku Erry yang merupakan ketua Nasdem Sumut.
7. Mengingat posisi Letnan jendral Edy di Sumut diatas angin dibandingkan Djarot atau calon lain kalau muncul nantinya, PKS-PAN dan Gerindra tetap hening dan tetap banyak bermain di akar rumput.
8. Terus promosikan capres pilihan tiga partai ini nantinya, misalkan Prabowo atau Anies Baswedan misalkan untuk pilpres 2019, alasannya Golkar juga akan memperkenalkan Jokowi ke masyarakat Sumut sedini mungkin, disini harus ada perlawanan opini di akar rumput semoga tidak terjadi One Man Show Jokowi dengan tangan Golkar cs.
___
Sumber: fb penulis
Foto: Twitter @LawanPoLitikJKW