Batalkan Reklamasi, Blunder Terbesar Anies-Sandi


Batalkan Reklamasi, "Blunder" Terbesar Anies-Sandi

Oleh: Hersubeno Arief
(Konsultan Media)

Seperti sudah diduga, pasangan Anies-Sandi menciptakan “blunder” lagi. Kali ini “blundernya,” sudah tidak ketulungan. Melalui surat tertanggal 29 Desember 2017 Pemprov DKI Jakarta meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) membatalkan akta untuk tiga pulau reklamasi.

Implikasi dari surat Anies tersebut tidak main-main. Pemprov harus mengembalikan dana bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dari pengembang untuk Pulau C, D dan G sebesar Rp 483 miliar.

"Berapapun yang menjadi konsekuensi itu tentunya kami siap hadapi. Dan sebagai pemerintah, negara kami dihentikan kalah dengan pengembang," kata Sandi.

Tahukah Anies-Sandi berapa besar kerugian yang akan timbul akhir abolisi akta tersebut, dan tahukah mereka sedang berhadapan dengan siapa?

Angka Rp 483 miliar tadi hanyalah angka resmi. Berapa ratus miliar, atau bahkan berapa triliun dana-dana tidak resmi yang telah dikeluarkan oleh pengembang.

Sudah menjadi diam-diam umum, setiap proyek yang memerlukan perizinan dari pemerintah membutuhkan dana di bawah meja (under table cost) yang sangat besar. Apalagi untuk proyek-proyek besar yang memerlukan izin dari pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat.

Untuk proyek dengan nilai ratusan triliun menyerupai reklamasi Pantai Utara Jakarta, dana di bawah meja yang diharapkan tentulah sangat besar. Apalagi proyek tersebut ditentang oleh para nelayan dan para pegiat lingkungan, termasuk alumni puluhan perguruan tinggi tinggi di Indonesia.

Dana besar diperlukan, mulai dari pengamanan perizinan pemerintah, persetujuan DPRD, penggalangan publik opini berupa sumbangan dari sejumlah LSM dan pemberitaan di media. Yang sudah terungkap dalam kasus ini ialah suap yang diberikan oleh Presiden Direktur PT Agung Podomoro Ariesman Widjaya untuk pembahasan Raperda. PT Agung Podomoro ialah salah satu pengembang di proyek reklamasi.

Bambang Widjajanto yang ketika itu menjadi Wakil Ketua Komisi Pemberantatasan Korupsi (KPK) menyebut kasus suap Sanusi sebagai well organized crime. Artinya kasus Sanusi itu hanya bab kecil dari sebuah kejahatan besar. Sudah tahu bahwa itu sebuah kejahatan yang teroganisir, kok masih juga dilawan?

Ini namanya Anies-Sandi mencari gara-gara. Apa Bambang Wijayanto yang sekarang ditunjuk menjadi Ketua Komite Pencegahan Korupsi (KPK) Ibukota tidak memberi tahu Anies-Sandi dengan siapa mereka berhadapan?

Apakah mereka tidak tahu bahwa para pengembang besar ini kalau dihambat apalagi digagalkan keinginannya, bisa menggerakkan tangan-tangan kekuasaan yang tidak terlihat?

Apakah Anies-Sandi tidak ingat bahwa Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan berani pasang badan, biar proyek ini jalan terus. Luhut juga hingga menantang ada data, dengan para penentang reklamasi.

Apakah Anies-Sandi tidak tahu, tidak ingat, atau barangkali lupa bahwa akta pengelolaan Pulau C dan D eksklusif diserahkan oleh Presiden Jokowi kepada Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat? Penyerahan dilakukan kurang dari dua bulan sebelum Anies-Sandi dilantik.

Apa artinya semua itu? Proyek ini harus terus jalan. Tidak boleh ada yang menentang, apalagi menghambat. Termasuk Anies-Sandi.

Untuk apa “hanya” gara-gara membela segelintir nelayan dan para pegiat lingkungan yang kurang kerjaan, Anies-Sandi harus berhadapan dengan para pengembang besar, bahkan termasuk para penguasa di sentra kekuasaan?

Risikonya terlalu besar. Apa sudah dihitung kalkulasi politiknya. Benar bahwa abolisi reklamasi ialah salah satu kesepakatan kampanye Anies-Sandi. Tapi toh kita semua juga memahami, kesepakatan kampanye dibentuk untuk tidak dilaksanakan. Sedikit rileks lah. Jangan terlalu kaku.

Ini merupakan “blunder” Anies-Sandi terbesar yang pernah dilakukan selama empat bulan menjabat sebagai Gubernur/Wakil Gubernur DKI. Entah “blunder” apalagi yang akan mereka lakukan?

Barangkali inilah yang disebut oleh Anies bahwa “nyali itu beda dengan nyaring.” Tanpa banyak bicara, atau berteriak kasar, memaki kanan kiri, namun tindakannya menciptakan banyak orang bisa terkena serangan jantung, alias kejang-kejang.

Tidak mengagetkan

Pembatalan akta Pulau Reklamasi itu kalau kita mencermati banyak sekali kebijakan Anis-Sandi tidaklah terlalu mengagetkan. Banyak “blunder” lain yang telah dilakukan mereka.

Blunder pertama, hanya sehari sehabis dilantik pasangan ini membatalkan izin Hotel Alexis. Tempat hiburan yang pernah disebut oleh Ahok sebagai nirwana dunia itu, tanpa ampun eksklusif tutup. Padahal Ahok yang satria pun tidak berani melakukannya.

Sebagai sebuah tempat hiburan yang menyediakan “bidadari” dari dalam dan luar negeri, termasuk dari sejumlah negara Eropa Timur, Alexis menjadi sumber pendapatan tidak resmi sejumlah kalangan. Mulai dari preman, organisasi kepemudaan, hingga para penegak hukum. Seorang jenderal disebut-sebut menjadi backing Alexis.

Dengan senyum dikulum Anies mengumumkan penutupan Alexis. Kok tega benar Anies mengganggu kesenangan banyak orang?

Pengacara eksentrik Hotman Paris menyebutkan sebagian besar pejabat daerah yang berkunjung ke Jakarta menghabiskan uang perjalanan dinas di Alexis. Kemana mereka harus menghibur diri sehabis lelah menjalankan dinas di Jakarta? Kemana mereka harus menghilangkan suntuknya, alasannya jauh dari istri dan keluarga?

Blunder kedua, abolisi pembelian lahan RS Sumber Waras. Berdasarkan temuan BPK, pembelian lahan oleh Pemprov DKI di kala Ahok itu merugikan negara sebesar Rp 191 miliar. Sandi menuntut RS Sumber Waras untuk mengembalikan dana tersebut. Ketika ditolak, Sandi kesudahannya mengambil jalan keras dengan membatalkan pembelian lahan tersebut. Dengan abolisi tersebut berarti RS Sumber Waras harus mengembalikan dana pembelian sebesar Rp 800 miliar.

Kasus RS Sumber Waras ini sempat menyeret Ahok dan istrinya Veronica Tan. Namun secara absurd KPK menolak menangani kasus tersebut dengan alasan tidak ada unsur pidananya.

Kalau KPK yang berani menangkap orang sekelas Setya Novanto, tapi tidak berani menangani kasus RS Sumber Waras, niscaya kasus ini ada apa-apanya. Makara Sandi harusnya super hati-hati dalam menanganinya.

Blunder ketiga, membentuk Komite Pencegahan Korupsi (KPK) Ibukota. Pembentukan komite ini hanya menciptakan Anies-Sandi dimusuhi banyak pihak, terutama mereka yang selama ini leluasa memainkan anggaran dan proyek APBD.

Masih banyak “blunder-blunder” kebijakan lain Anies-Sandi termasuk soal pembelaannya terhadap pedagang kali lima (PKL) di Tanah Abang dan pencabutan larangan pengendara sepeda motor di daerah jalan Sudirman dan M.H. Thamrin.

Dua kebijakan itu semakin menawarkan Anies-Sandi lebih berpihak kepada rakyat kelas bawah, ketimbang kelompok kelas menengah ke atas yang terganggu kenikmatannya.

Baru beberapa bulan menjabat Anies-Sandi sudah menciptakan banyak sekali kebijakan yang “mengecewakan,” apalagi kalau dibiarkan hingga lima tahun.

Khusus untuk Anies, dosa terbesarnya ialah mengecewakan para pengamat. Sejak awal mereka telah menciptakan framing bahwa Anies tidak akan bisa mengurus Jakarta. Anies bukan figur yang tegas dan berani menyerupai Ahok.

Kesalahan ini sangat sulit dimaafkan.

10/1/18


Share Artikel: